Jalan Utopia Menuju Khilafah

Jalan Utopia Menuju Khilafah

Voa-Khilafah.co.cc - Pada tahun 1516 terbit sebuah buku berjudul Utopia karya Sir Thomas More, seorang filosof dan penulis Inggris. Buku yang masuk kategori karya fiksi dalam filsafat politik ini menggambarkan sebuah masyarakat pulau yang serba tertib dan teratur baik dalam kehidupan sosial, politik maupun agama; bebas dari berbagai kelemahan dan kekurangan. Padahal masyarakat yang nyata tak mungkin seindah itu. Pasti ada kejahatan, korupsi, dan berbagai penyimpangan dalam praktik kehidupan (en.wikipedia.org). Sejak itulah, kata utopia masyhur digunakan untuk menyebut suatu visi yang khayal, non aplikatif, atau paling tidak sulit diwujudkan dalam realitas (Munir Ba’albaki, Kamus Al-Mawrid, hlm.1020).
Kalau kata utopia dikaitkan dengan perjuangan mendirikan Khilafah, pertanyaannya adalah: apakah perjuangan ini utopia atau tidak? Jawabannya bisa ya bisa tidak, bergantung pada jalan mana yang ditempuh. Jika jalan yang ditempuh memang benar dan tidak utopis, berarti mendirikan Khilafah bukan utopia, melainkan jalan yang cukup masuk akal, aplikatif, dan realistis meski tentu bukan pula jalan yang gampang. Namun, kalau jalannya saja sudah utopis, mendirikan Khilafah jelas utopis pula.

Jalan Demokrasi
Banyak harakah Islam yang mencoba menempuh jalan demokrasi untuk mencapai kekuasaan seperti FIS (Front Islamic Salvation) di Aljazair, Partai Refah di Turki dan Hammas di Palestina. Pada Revolusi Timur Tengah yang berhembus sejak Pebruari 2011 lalu, ada Hizbun Nur di Mesir, Hizbun Nahdhah di Tunisia, dan sebagainya. Mereka membentuk partai politik formal, mengikuti Pemilu, lalu jika meraih suara yang cukup, sebagian anggotanya dapat menduduki posisi strategis, seperti perdana menteri atau anggota parlemen.
Apakah dengan jalan demokrasi ini mereka berhasil? Jawabannya ya, jika yang dimaksud adalah sekadar duduk dalam kekuasaan, misalnya menjadi menteri dalam sebuah departemen. Namun, apakah kekuasaan itu kemudian didedikasikan untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam institusi negara Khilafah? Jawabnya tegas: tidak.
Sesungguhnya jalan demokrasi itu memang bermasalah dalam dua aspek. Pertama: secara normatif, jalan demokrasi bertentangan dengan hukum syariah. Demokrasi adalah sistem kufur, bukan karena mengajarkan kekuasaan itu milik rakyat, melainkan karena mengajarkan bahwa kedaulatan (siyadah, sovereignty) ada di tangan rakyat. Ini berarti manusia—bukan Allah SWT—adalah satu-satunya pihak yang sah dan berhak membuat hukum. Allah SWT dianggap tidak perlu eksis dalam pengaturan kehidupan. Padahal Akidah Islam menegaskan hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum (lihat misalnya QS al-An’am [6]: 57). Konsep kedaulatan yang kufur inilah yang mendasari seluruh kekuasaan dalam sistem demokrasi baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif.
Maka dari itu, seluruh jalan menuju sistem kufur ini juga bertentangan dengan syariah, termasuk misalnya mengikuti Pemilu dan duduk dalam kekuasaan. Perlu dipahami hukum asal Pemilu sebenarnya mubah, karena Pemilu hanyalah sarana untuk memilih wakil (uslub tawkil) atau sarana untuk memilih penguasa (uslub intikhab al-hakim).
Maka dari itu, hukum Pemilu sangat bergantung pada misi dalam wakalah tersebut (al-muwakkal fihi) dan dengan tugas penguasa (amal al-hakim) dalam kekuasaan. Dalam sistem demokrasi, misi yang diwakilkan dalam pemilihan anggota parlemen adalah misi yang haram, karena akan menjalankan fungsi-fungsi lembaga legislatif, utamanya melegislasikan hukum buatan manusia, bukan hukum Allah SWT. Tugas seorang penguasa dalam sistem demokrasi juga haram, karena menjalankan undang-undang kehendak rakyat, bukan undang-undang syariah Islam (Hukmu Musyarakah al-Muslimin al-Mawjudin fi al-‘Alami al-Gharbi fi al-Hayah as-Siyasiyah fihi, Hizbut Tahrir Eropa, 2002, hlm. 33-34).
Kedua: secara faktual, jalan demokrasi sebenarnya penuh dengan permainan politik yang menipu dan destruktif terhadap visi politik Islam (Muhammad Dawud, Limadza Akhfaqat al-Harakat al-Islamiyah fi al-Wushul aw al-Muhafazhah ‘Ala al-Hukm, hlm. 20-21).
Penganut demokrasi sering melakukan kecurangan untuk meraih kemenangan dalam Pemilu. Kalaupun kalah, mereka akan pura-pura sportif menghormati hasil Pemilu yang berhasil dimenangkan oleh harakah Islam. Namun kemudian, mereka akan bermain dengan licik di balik layar, berkonspirasi secara jahat, untuk menghancurkan atau melumpuhkan keme-nangan tersebut. Inilah pengalaman amat pahit yang pernah dirasakan oleh FIS (Front Islamic Salvation) di Aljazair tahun 1991-1992, Partai Refah di Turki sekitar tahun 1995 dan Hammas di Palestina tahun 2006.
Walhasil, dari sudut pandang normatif dan fakta empiris, demokrasi terbukti secara meyakinkan merupakan jalan utopia untuk menegakkan Khilafah.

Jalan Kudeta
Kata kudeta berasal dari bahasa Prancis coup d’etat yang secara bahasa berarti tindakan yang tiba-tiba dan tegas. Dalam istilah politik, kudeta berarti sebuah gerakan/operasi yang bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan dengan kekuatan (militer) atau dengan jalan yang inkonstitusional (Munir Ba’albaki, Kamus Al-Mawrid, hlm.224). Dalam literatur bahasa Arab, kudeta disebut revolusi militer (al-inqilab al-‘askari) yang didefinisikan sebagai penggunaan senjata untuk memperoleh kekuasaan (istikhdam as-silah li al-wushul ila al-hukm) (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah Asy-Syar’iyah, I/302).
Kudeta bukanlah jalan (thariqah) yang syar’i untuk mendirikan Khilafah. Mengapa? Pertama: karena ketika Rasululullah saw. berdakwah di Makkah, yaitu sebelum hijrah dan berdirinya Daulah Islamiyah, belum disyariatkan perang atau penggunaan senjata. Pada peristiwa Baiat Aqabah II, kaum Anshar yang membaiat Rasulullah saw. meminta izin kepada beliau untuk memerangi penduduk Mina. Rasulullah saw. menjawab, “Kita belum diperintahkan untuk itu [berperang].” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqat al-Kubra; Ta’rif Hizb at-Tahrir, 2010, hlm. 44; Ahmad Al-Mahmud, Ad-Da’wah Ila Al-Islam, hlm. 36).
Kedua: karena kudeta bertentangan dengan metode yang dicontohkan Rasulullah saw. untuk menegakkan Daulah Islamiyah, yaitu thalabun-nushrah (mencari dukungan dan perlindungan) dari ahlun-nushrah atau ahlul-quwwah, yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan dakwah dan memperoleh kekuasaan. Aktivitas thalabun-nushrah bukan aktivitas yang berdiri sendiri tanpa pendahu-luan, melainkan aktivitas yang dilakukan pada ujung tahapan interaksi dengan masyarakat (ta’faul ma’a al-ummah). Jadi thalabun-nushrah didahului oleh aktivitas pembinaan masyarakat (tatsqif), perjuangan politik (kifah siyasi) dan perang pemikiran (shira’ fikri) (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital, I/314; Hizbut Tahrir: Fikratuhu wa Thariqatuhu wa Sayruhu, hlm. 23; Hazim Ied Badar, Thariqah Hizb at-Tahrir fi at-Taghyir Thariqah Hashriyah la Yujadu Ghayruha la Syar’[an] wa la Waqi’[an], hlm.9).
Aspek itulah yang menegaskan perbedaan kudeta dengan thalabun-nushrah. Kudeta semata-mata bersandar pada kekuatan militer dan paksaan, kurang memperhatikan aspek dukungan dan kesadaran masyarakat. Sebaliknya, metode yang dicontohkan Rasulullah saw., yakni thalabun-nushrah, mensyaratkan dukungan dan kesadaran masyarakat. Singkatnya, upaya thalabun-nushrah wajib didahului oleh terbentuknya opini umum (al-ra‘yu al-‘am) yang merupakan hasil dari proses pembinaan masyarakat (tatsqif), perjuangan politik (kifah siyasi) dan perang pemikiran (shira’ fikri). Jadi, dalam metode thalabun-nushrah yang dicontohkan Rasulullah saw. tidak terjadi pemaksaan atas masyarakat, karena masyarakat telah sadar sendiri akan perlunya Khilafah.
Dengan demikian, kudeta bukanlah jalan yang sahih untuk mendirikan Khilafah. Selain menyalahi metode Rasulullah saw., kudeta juga dapat berbahaya karena mengabaikan aspek dukungan dan kesadaran masyarakat. Pemimpin yang tidak didukung oleh masyarakat mungkin dalam jangka pendek masih bisa berkuasa dengan tangan besi. Namun, cepat atau lambat, pemimpin seperti itu akan diturunkan sendiri oleh rakyatnya secara paksa. Kisah tragis diktator Muammar Khadafi yang kejam adalah contoh untuk itu.

Jalan People Power
People power disebut juga revolusi rakyat (tsawrah sya’biyah). Ini adalah demonstrasi massal tanpa kekerasan yang dilakukan oleh rakyat dari pelbagai elemen untuk menumbangkan kekuasaan seorang pemimpin. Contoh people power ialah demonstrasi massal saat pelengseran Presiden Filipina Ferdinand Marcos (1986), Presiden Soeharto (1998), Presiden Mesir Hosni Mubarak (2012), dan sebagainya.
People power banyak diminati para aktivis karena umumnya efektif untuk menurunkan seorang penguasa, meski keberhasilannya tak hanya ditentukan oleh banyaknya kekuatan massa. Dalam banyak kasus, keberhasilannya juga ditentukan oleh sikap militernya. Militer yang mengambil sikap netral sudah cukup untuk menumbangkan seorang penguasa di tengah gelombang people power.
Namun demikian, people power bukan jalan yang sahih untuk menegakkan Khilafah. Sebab, selain tidak sesuai dengan metode Rasulullah saw. (thalabun-nushrah), people power juga mempunyai aspek-aspek kelemahan. Paling tidak ada 2 (dua) kelemahan. Pertama: secara alamiah kekuatan people power tidak akan terbentuk dari satu kelompok saja, melainkan dari berbagai kelompok masyarakat. Di Mesir, misalnya, para demonstran yang menurunkan Mubarak terdiri dari banyak partai politik, ada yang islami, ada yang sekular; ada kelompok mahasiswa, para profesional, seniman, dan seterusnya. Adanya koalisi pelangi ini mengakibatkan tidak adanya satu visi politik tunggal yang solid dan jelas, katakanlah misalnya visi tegaknya Daulah Islamiyah. Jadi meski mempunyai kesamaan tujuan untuk menurunkan presiden, masing-masing kelompok mempunyai visi politik sendiri-sendiri.
Kedua: tidak terbentuknya opini umum yang kuat yang berbasis visi politik tunggal. Di Mesir, misalnya, selain ada opini yang pro Daulah Islamiyah, ternyata ada juga yang menginginkan Daulah Madaniyah (negara sipil) alias negara sekular. Opini yang terpecah dan tidak solid ini adalah konsekuensi logis dari karakter people power yang terbentuk dari koalisi pelangi tadi. Padahal opini umum sangat penting untuk mendorong terjadinya perubahan ke arah yang diinginkan. Jadi, people power memang jalan utopia untuk mendirikan Khilafah. (Al-Waie [Arab], No 291, Rabiul Akhir 1432/ Maret 2011, hlm. 4).

Jalan Sosial-Ekonomi
Sebagian orang berpendapat bahwa tegaknya Islam dapat ditempuh melalui jalur sosial-ekonomi. Misalnya dengan cara membangun masjid, sekolah, rumah sakit, panti asuhan, madrasah, pesantren, dan rumah jompo; atau dengan cara membentuk berbagai lembaga keuangan syariah (LKS) seperti BMT (Baitul Mal wa Tamwil), BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah), dan sebagainya.
Tak diragukan lagi, aktivitas-aktivitas itu bukan perbuatan buruk (syarr), melainkan tergolong perbuatan baik (al-khayr) yang dianjurkan Islam. Namun demikian, semua aktivitas sosial-ekonomi tersebut bukanlah jalan untuk mendirikan Khilafah dan tak ada relevansinya dengan pendirian negara Khilafah. Apalagi jika aktivitas yang ada sudah dibatasi hanya pada aksi sosial-ekonomi saja. Ini berarti aktivitas sosial-ekonomi tersebut akan dapat mengabaikan tugas suci yang seharusnya lebih diutamakan, yaitu mengembalikan Khilafah yang akan menerapkan hukum yang diturunkan Allah (Manhaj Hizb at-Tahrir, 2009, hlm. 15-16).
Perlu diberi catatan, bahwa aktivitas sosial-ekonomi seperti membangun masjid, sekolah, rumah sakit, merupakan aktivitas pengaturan urusan rakyat (ri’ayah asy-syu’un) yang berlangsung secara terus-menerus. Padahal mengatur urusan rakyat (ri’ayah asy-syu’un) secara terus-menerus sebenarnya adalah kewajiban negara, bukan kewajiban individu ataupun kelompok (Manhaj Hizb at-Tahrir, 2009, hlm. 15-16).

Jalan Perbaikan Individu
Ada yang berpendapat, negara atau masyarakat itu bergantung pada individunya. Kalau individunya baik, dalam arti mempunyai kesalihan pribadi, seperti akhlak atau ibadah yang baik, maka negara atau masyarakat pun otomatis akan baik pula. Karena itu, mereka yang berpendapat demikian membatasi atau memfokuskan perjuangannya pada perbaikan akhlak individu.
Tentu usaha perbaikan akhlak atau ibadah individu ini adalah amal salih, bukan amal yang salah. Namun, jika dikaitkan dengan jalan mendirikan Khilafah, dapat dipastikan perbaikan individu ini tidak akan mengantarkan pada berdirinya Khilafah. Mengapa? Sebab, Khilafah hakikatnya bukanlah semata-mata sistem pemerintahan atau kekuasaan, melainkan wadah bagi masyarakat Islam itu sendiri. Adapun masyarakat itu tidak hanya terbentuk dari kumpulan individu, melainkan juga terbentuk dari tiga unsur pembentuk masyarakat lainnya, yaitu : (1) pemikiran yang hidup dan diyakini di tengah masyarakat; (2) perasaan umum yang menggambarkan senang bencinya masyarakat; dan (3) peraturan yang mengatur segenap interaksi antaranggota masyarakat.
Maka dari itu, membangun masyarakat Islam dalam institusi negara Khilafah tentu wajib dengan memperbaiki seluruh unsur-unsur pembentuk masyarakat Islam itu. Tak hanya memperbaiki individunya, melainkan juga memperbaiki pemikiran, perasaan dan peraturan yang diterapkan agar sesuai dengan Islam. (Manhaj Hizb at-Tahrir, 2009, hlm. 23).

Penutup
Inilah paparan ringkas berbagai jalan atau cara yang utopis dan keliru dalam menegakkan Khilafah. Persoalan jalan yang ditempuh ini sangatlah penting bagi mereka yang serius berjuang. Jangan sampai kita menyesal di akhir, karena setelah mati-matian berpegang pada suatu jalan, ternyata tujuan tidak tercapai. Terkait ini, Imam asy-Syafii, rahimahullah, pernah menggubah sebuah bait puisi begini: Kamu bilang ingin selamat/padahal kamu tak menempuh jalannya/Ketahuilah perahu itu/tak akan bisa berjalan di atas daratan.
WalLahu a’lam. [hizbut-tahrir.or.id/voa-khilafah.co.cc]
Kebijakan Khilafah Terhadap Kejahatan Warga Asing

Kebijakan Khilafah Terhadap Kejahatan Warga Asing

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin Husain al-Farra’ al-Hanbali (w 458 H) dalam kitabnya, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, menjelaskan batasan kejahatan atau tindak kriminal (jarimah), sebagai mahdhurat bi as-syar’i zajara-Llahu ‘anha bi haddin aw ta’zirin (larangan yang ditetapkan syara’, yang dicegah oleh Allah dengan sanksi had atau ta’zir) (al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 257).

Sedangkan al-Muhami Abdurrahman al-Maliki, dalam kitabnya, Nidzam al-Uqubat, menyatakan bahwa kejahatan atau tindak kriminal (jarimah) adalah perbuatan keji, yaitu perbuatan yang dinyatakan keji oleh syara’. Maka, tidak semua perbuatan disebut kriminal (jarimah), kecuali jika dinyatakan oleh nash syariah bahwa perbuatan tersebut keji. Pada saat itu, barulah perbuatan tersebut dinyatakan kriminal (jarimah). Tanpa melihat lagi tingkat kekejiannya atau tingkat besar dan kecilnya kriminalnya. Jadi, syara’ telah menetapkan perbuatan keji sebagai dosa yang akan dikenai sanksi. Dengan demikian, perbuatan dosa itu sendiri pada dasarnya adalah tindak kriminal (jarimah) (al-Maliki, Nidzam al-Uqubat, hal. 11).

Dari kedua batasan di atas, batasan kedualah yang mencakup semua bentuk pelanggaran, baik yang dikenai sanksi hudud, ta’zir, jinayat maupun mukhalafat. Karena itu, batasan yang kedua lebih komprehensif, dibanding batasan yang dikemukakan oleh al-Qadhi al-Farra’ di atas.

Adapun wilayah hukum tindak kriminal yang dikenai sanksi hudud, ta’zir, jinayat maupun mukhalafat tersebut adalah tindak kriminal yang dilakukan di wilayah Darul Islam, atau Negara Khilafah. Karena hukum yang berlaku di wilayah tersebut adalah hukum Islam, bukan yang lain. Baik yang melakukan tindak kejahatan tersebut adalah Muslim maupun non-Muslim, termasuk berlaku bagi warga negara Khilafah maupun warga asing yang berada di wilayah hukum negara Khilafah.

Jika tindak kriminal (jarimah) ini dilakukan oleh warga asing, yaitu bukan warga Negara Khilafah, maka pelakunya bisa dibedakan menjadi dua: Pertama, warga negara Kafir Harbi hukman, baik yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah, yaitu Daulah Mu’ahadah, maupun yang tidak terikat perjanjian dengan Negara Khilafah, atau Ghaira Mu’ahadah. Kedua, warga negara Kafir Harbi fi’lan, yaitu negara kafir yang memusuhi Negara Khilafah dan kaum Muslim secara nyata.

Warga negara Daulah Mu’ahadah bisa berada di wilayah Negara Khilafah adalah perjanjian antara Khilafah dengan negaranya, sehingga setiap warga negara Daulah Mu’ahadah bisa keluar masuk wilayah Negara Khilafah tanpa visa. Berbeda dengan warga negara Daulah Ghaira Mu’ahadah, maka dia membutuhkan visa (aman). Demikian juga dengan warga negara Daulah Muharibah fi’lan, bisa memasuki wilayah Negara Khilafah dengan visa.

Di kalangan fuqaha’ juga terjadi perbedaan pendapat: Imam Abu Yusuf dan Imam Abu Hanifah, yang sama-sama dari mazhab Hanafi sendiri berbeda. Imam Abu Yusuf menyatakan, bahwa hukum Islam berlaku umum di wilayah hukum Negara Khilafah, baik terhadap kaum Muslim, Ahli Dzimmah maupun Mua’hadin. Sementara Abu Hanifah menyatakan, bahwa hukum Islam hanya berlaku untuk kaum Muslim dan Ahli Dzimmah. Ini artinya, jika warga negara asing, baik kafir Mu’ahad maupun Musta’min melakukan tindak kriminal di wilayah hukum Negara Khilafah, menurut Abu Hanifah, tidak bisa dijatuhi sanksi hukum Islam (al-Kasani, Bada’i as-Shana’i, V/132-134).

Pendapat Abu Yusuf ini tidak sendiri, tetapi juga didukung oleh al-Khiraqi dan Ibn Qudamah dari mazhab Hanbali. Memang pendapat inilah yang paling kuat. Ini didasarkan pada kebijakan yang pernah diterapkan di masa Khalifah Umar bin al-Khatthab. Dalam suratnya kepada Abdurrahman bin Ghanam terkait dengan kasus penduduk Madain Syam, jelas sekali telah ditegaskan, bahwa syarat perjanjian mereka dengan negara Khilafah mengharuskan mereka terikat dengan semua hukum Islam. Jika tidak, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal (Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 2352-2353).

Dengan demikian, warga asing yang masuk di wilayah hukum Negara Khilafah, bisa dibedakan menjadi dua: Mu’ahad atau Musta’min. Keduanya wajib terikat dengan hukum Islam, kecuali apa yang menjadi pengecualian dalam agama mereka, seperti kebolehan mengonsumsi khamer, daging babi dan sejenisnya. Namun, Iyad Hilal memberi batasan, “Tidak boleh diperdagangkan di tengah-tengah kaum Muslim.” (Iyad Hilal, al-Mu’ahadat ad-Duwaliyyah, hal. 184). 

Jika mereka melanggar syarat perjanjian atau jaminan keamanan yang diberikan oleh negara Khilafah, maka perjanjian atau jaminan keamanan tersebut dinyatakan batal. Tindakan kriminal (jarimah) yang mereka lakukan, dan dianggap bisa membatalkan perjanjian atau jaminan keamanan adalah:
· Tidak bersedia membayar jizyah. Mazhab Hanbali, menyatakan, bahwa ketika Mu’ahad atau Musta’min menetap lebih dari satu tahun di Negara Khilafah, mereka wajib membayar jizyah, sebagaimana layaknya Ahli Dzimmah. Jika mereka tidak mau, maka perjanjian atau jaminan keamanan mereka dinyatakan batal.
  • · Menolak melaksanakan hukum-hukum Islam, jika hukum-hukum tersebut diputuskan dan diadopsi oleh    hakim/penguasa;
  • · Bersekongkol membunuh kaum Muslim;
  • · Mezinahi perempuan Muslimah;
  • · Menghasut seorang Muslim agar meninggalkan agamanya;
  • · Membegal kaum Muslim di jalan;
  • · Membunuh kaum Muslim;
  • · Menjadi mata-mata kaum kafir atau musyrik;
  • · Bekerjasama dengan kaum kafir atau musyrik untuk membongkar rahasia kaum Muslim;
  • · Menistakan Allah, kitab-Nya, agama atau rasul-Nya;
Siapa saja yang dinyatakan telah melakukan tindak kriminal sebagaimana dinyatakan di atas, maka dianggap batal perjanjian dan jaminan keamanannya. Bagi orang seperti ini, menurut Ibn Qudamah, diserahkan kepada Khalifah. Khalifah bisa memilih satu dari empat tindakan: (1) Menjatuhi hukuman mati (al-qatl); (2) Dijadikan budak (al-istirqaq); (3) Dijadikan tebusan (al-fida’); dan (4) Dilepaskan (al-mann) sebagaimana layaknya musuh yang dijadikan tawanan perang (Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 2353). 

Ketika Umar bin Khatthab menjadi kepala negara, ada seorang pria Mu’ahad diajukan kepadanya dengan tuduhan hendak memperkosa wanita Muslimah. “Kami mengikat kalian dengan perjanjian damai untuk mencegah hal-hal ini.” Kata Umar kepada pria itu. Ia pun memerintahkan agar pria itu disalib di Baitul Maqdis. Karena tindakan kriminal seperti ini dianggap membahayakan keselamatan dan kehormatan kaum Muslim (Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 2352).

Begitulah Islam diterapkan, dan begitulah Khilafah akan memberlakukan sanksi kepada siapapun, termasuk warga negara asing yang melakukan tindak kriminal di wilayahnya. Wallahu a’lam. 

(hizbut-tahrir.or.id/voa-khilafah.co.cc)
Saat Hidup Menguji Siswa, Gambaran Sistem Pendidikan era Khilafah

Saat Hidup Menguji Siswa, Gambaran Sistem Pendidikan era Khilafah

Dr. Fahmi Amhar

Berapakah angka kelulusan Ujian Nasional (UN) di daerah Anda? Di atas 90 persen? Percayakah Anda bahwa semuanya didapat dengan kejujuran? Prof Dr Ir Indra Djati Sidi, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah pernah di suatu acara di Direktorat Pembinaan SMP tahun 2009 menyampaikan bahwa indeks objektivitas UN SMA bidang Matematika IPA hanya 0,383 (dari maksimum 1), sedang untuk Bahasa Inggris cuma 0,411. Jadi meski angka lulus nasional waktu itu mencapai 93,5 persen, dan dengan rerata nilai 7,31, tetapi sudah rahasia umum, bahwa itu hasil bohong-bohongan, yang sayangnya dilakukan sistemik oleh pemerintah daerah, dinas pendidikan setempat dan para guru! Hasilnya adalah “lulusan dodol”, hasil didikan “guru dodol” yang diurus oleh “penguasa dodol”.

Semula, UN diadakan untuk memetakan kualitas sekolah. Sekolah yang hasil UN-nya masih rendah, perlu lebih diperhatikan kelengkapan sarananya, mungkin gurunya perlu diberikan diklat penyegaran, bahkan ekonomi orang tua siswa perlu ditingkatkan. Namun ketika UN dijadikan alat ukur kelulusan siswa dan alat ukur keberhasilan daerah, maka penguasa daerah menghalalkan segala cara agar daerahnya tampak kinclong, minimal pada nilai UN.

Padahal sekalipun UN didapatkan dengan jujur dan bermartabat, tetap saja UN baru mengukur sedikit dari kompetensi anak didik. Terlalu banyak hal yang masih belum terukur dengan UN, misalnya kreativitas, integritas, kemampuan menaklukkan tantangan dan sebagainya.

Jika pendidikan terus dengan sistem yang membiarkan terjadinya “kedodolan” ini, maka tak perlu heran bahwa 25 tahun mendatang, boleh jadi tingkat butu huruf sekunder di Indonesia mencapai 30-40 persen. Seperti apa negara seperti itu? Seperti Eropa!

Eropa abad 9 - 12 M memiliki tingkat buta huruf 95 persen! Bahkan Kaisar Karl dari Aachen di usia tuanya konon masih berusaha mempelajari “ketrampilan yang sulit dan langka” itu! Di biara-biara hanya sedikit pendeta yang mampu membaca. Di biara St Gallen Swiss pada 1291 bahkan tak ada seorangpun dapat membaca dan menulis. Pada saat yang sama, jutaan anak-anak di desa dan kota Daulah Khilafah duduk di atas karpet dan mengeja huruf-huruf Alquran, menulisnya, hingga menghafal surat-surat itu, lalu memulai mempelajari dasar-dasar gramatika bahasa Arab (nahwu dan sharaf).

Keinginan seorang Muslim untuk menjadi Muslim yang baik, adalah awal semua ini. Karena setiap Muslim mesti mampu membaca Alquran. Di sinilah jurang antara Timur dan Barat. Untuk kitab suci Nasrani, hanya pendeta yang memiliki akses, membaca dan mengerti bahasa kitab suci. Namun sejak 800 M, para pengkhutbah dalam bahasa Latin sudah susah dimengerti orang kebanyakan, sampai-sampai sinode gereja memerintahkan menggunakan idiom awam, karena yang menikmati sekolah (berbahasa Latin) hanya selapis tipis rohaniwan.

Ini berbeda dengan Daulah Khilafah yang sangat berkepentingan agar rakyatnya cerdas. Pendidikan benar-benar menjadi urusannya. Anak-anak semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar, dengan biaya yang terjangkau semua orang. Karena negara membayar para gurunya, orang-orang miskin mendapat tempat cuma-cuma. Di banyak tempat malah sekolah sama sekali gratis, misalnya di Spanyol. Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan al-Hakam-II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus untuk anak-anak miskin. Di Kairo, al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah untuk anak yatim, dan menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup dan satu stel baju untuk musim dingin dan satu stel baju untuk musim panas. Bahkan untuk orang-orang Badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya. Tak ada lagi celah dalam jejaring sekolah seperti ini.

Namun pendidikan di Daulah Khilafah tidak terbatas pada pendidikan dasar. Para mahasiswa tinggal di kamar-kamar lantai atas gedung kampus. Mereka juga mendapat makanan lengkap cuma-cuma, bahkan uang saku. Di bawah tanah terdapat dapur, gudang dan tempat mandi. Di lantai dasar ada ruang-ruang belajar dan perpustakaan. Di situlah dipelajari Alquran, hadits, bahasa Arab, sejarah, sosiologi, geografi, logika, matematika dan astronomi. Melalui pertanyaan dan debat, mahasiswa dilibatkan dalam proses pembelajaran. Para mahasiswa tingkat lanjut dan alumni membantu mereka belajar. Mereka seperti “lebah yang sedang meracik madu ilmu dari ribuan bunga pengetahuan”, tulis Sigrid Hunke, sejarawan Jerman dalam Allah Sonne ueber dem Abendland.

Sebagian petani dari desa menitipkan anak mereka ke seorang guru di kota, bersama uang atau hasil bumi untuk biaya hidupnya. Mereka berharap anaknya akan tumbuh menjadi seorang faqih yang kelak diterima sebagai qadhi atau bahkan syukur-syukur menjadi mujtahid Khalifah. Anak-anak titipan ini akan menjadi “ajudan” dari sang guru. Sebagai balas jasa, sang guru akan merawatnya jika si anak sakit, bahkan siap menjual keledai satu-satunya jika dia perlu membeli obat.

Namun jalan umum untuk belajar adalah di masjid-masjid. Siapa saja boleh datang dan pergi, laki ataupun perempuan. Dan siapa saja boleh menginterupsi para guru untuk bertanya atau membantah. Ini memaksa para guru untuk mempersiapkan materinya dengan seksama. Sebenarnya, siapapun yang merasa mampu boleh mengajar. Namun audiennya yang selalu siap mengkritik, mencegah orang-orang yang belum matang atau baru setengah matang dalam ilmu untuk memimpin kalimat.

Di masjid-masjid juga biasa didengarkan kalimat dari para ulama yang sedang dalam perjalanan yang singgah di kota itu, terutama ketika musim haji. Dengan demikian para mahasiswa selalu mendapatkan masukan. Bahkan juga cepat tahu bila ada karya yang “dicuri” mentah-mentah (plagiarisme). Untuk mengungkap karya orang lain, sanad atau rawi wajib disebutkan. Dan untuk itu perlu ada ijazah (lisensi) tertulis dari gurunya, bahwa dia layak untuk menjadi sanad dari pengetahuan tersebut. Inilah mengapa gelar sarjana di timur tengah adalah Lc. dari kata Licentiate – berlisensi untuk menyampaikan.
Dunia Islam memberi inspirasi seluruh manusia untuk belajar, karena belajar adalah satu-satunya jalan untuk mengenal Tuhan dan mendapatkan hikmah kehidupan.
(hizbut-tahrir.or.id/voa-khilafah.co.cc)
Kapitalisme Biang Kerok Kebobrokan Sistem Pendidikan

Kapitalisme Biang Kerok Kebobrokan Sistem Pendidikan

Voa-Khilafah.co.cc - Hajatan tahunan pemerintah dalam bidang pendidikan, yakni Ujian Nasional (UN) tingkat SD hingga SLTA, baru saja usai. Penyelenggaraan UN tahun 2012 menelan biaya hingga Rp. 600 milyar lebih.

Tujuan penyelenggaraan UN itu untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: 1. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan. 2. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. 3. Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; dan 4. Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Penyelenggaraan Pendidikan: Sarat Masalah

Pelaksanaan UN itu sejak awal telah menimbulkan pro dan kontra. Pengadopsian UN sendiri lebih terlihat mengikuti pola evaluasi pendidikan ala barat, khususnya AS. Kepentingan UN dan pendidikan lebih banyak dilihat dari kaca mata makro secara rata-rata bukan melihat prestasi individu siswa. Selain itu, UN tidak fair, sebab, nasib siswa hanya diukur melalui ujian selama 4 hari dengan beberapa mata pelajaran tertentu saja. Akibatnya, mata pelajaran yang tidak masuk Ujian Nasional seperti dianak-tirikan dan dianggap tidak begitu penting.

Pengukuran kompetensi ala UN (termasuk UTS, UAS, dan ulangan harian) memang dapat mengetahui tingkat kemampuan siswa terhadap penguasaan materi pelajaran yang diberikan. Namun ternyata akibat dari adanya UN yang disertai pemberlakuan standar tertentu dan dijadikan penentu pokok kelulusan dan kenaikan kelas/tingkat membuat capaian nilai menjadi tujuan. Celakanya hal itu tidak hanya menimpa siswa tapi juga para guru dan pihak sekolah. Apalagi ketika prestasi bahkan pemberian bantuan dana dan prasarana dikaitkan dengan pencapaian nilai UN. Seolah-olah UN menjadi tujuan akhir dari proses pembelajaran. Segala cara pun dilakukan tanpa mengindahkan kejujuran, moral dan nilai-nilai luhur demi nilai UN dan ulangan yang tinggi.

Padahal seharusnya pembelajaran membuat siswa menguasai pengetahuan dan keahlian sehingga menjadi kompetensi yang melekat dan bisa dia aplikasikan dalam kehidupan dan dia kembangkan. Hal itu dibarengi dengan pendidikan yang diarahkan untuk merubah pola pikir dan perilaku siswa dan membentuknya kearah yang lebih baik. Sayangnya kurikulum yang ada belum bahkan tidak mengarah ke sana. Kurikulum yang ada lebih menekankan pada transfer pengetahuan. Tidak ada misi membentuk moral, karakter apalagi kepribadian siswa.

Rendahnya kualitas pembelajaran dan pendidikan itu juga diindikasikan oleh hasil laporan UNDP. Menurut laporan UNDP tahun 2011, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia turun dari peringkat ke-108 pada 2010 menjadi peringkat ke-124 pada tahun 2011. Meskipun angkanya naik dari 0,600 (2010) menjadi 0,617 (2011), namun secara peringkat Indonesia turun 16 peringkat.

Semua masalah itu masih diperparah oleh masalah buruknya sarana prasarana pendidikan. Data Kemendikbud menyebutkan, ada sekitar 161 ribu sekolah rusak. Sekitar 45% dari gedung sekolah rusak tersebut mengalami rusak berat, dengan kemiringan lebih dari tujuh derajat dan mendekati 90 derajat, alias hampir rubuh.

Selain itu keberadaan guru juga belum merata. Rasio antara guru dan siswa sebenarnya sudah memadai, yaitu satu banding dua puluh (1:20). Tetapi, sebagian besar guru menumpuk di kota. Ada sekolah yang kelebihan jumlah gurunya dan ada sekolah yang hanya memiliki satu orang guru saja.(lihat, republika.co.id,15/4/2012).

Anggaran pendidikan yang mengalami peningkatan fantastis, terutama setelah UU menetapkan anggaran pendidikan 20% dari APBN, ternyata tidak serta merta problem pendidikan tuntas. Anggaran pendidikan di APBN-P 2011 Rp 266,9 triliun, jumlah itu sudah separuh dari total APBN tahun 2005, lalu naik menjadi Rp 289 triliun di APBN 2012 dan menjadi Rp 303 triliun di APBN-P 2012. Hanya saja jumlah itu tidak semuanya dikelola oleh Kemendikbud, tetapi jumlah itu didistribusikan ke belasan kementerian dan lembaga. Dari jumlah itu Rp 137 triliun lebih untuk gaji dan Rp 100 triliun lebih ditransfer ke daerah diantaranya untuk dana BOS. Jumlah dana BOS yang sudah ada sejak tahun 2005 itu, naik dari Rp 16 triliun (2011) menjadi 23 triliun (2012).

Dengan dana sebesar itu, nyatanya masih banyak anak yang tidak bisa menyelesaikan wajib belajar 9 tahun. Menurut anggota DPR RI Raihan Iskandar (26/12/12) dalam data tahun 2011 ada 10,268 juta siswa usia wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak menyelesaikan wajib belajar 9 tahun. Juga ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA. Sebabnya adalah karena kemiskinan sehingga tidak punya biaya untuk sekolah.

Biang Keroknya: Kapitalisme
Semua problem itu bermuara pada diterapkan kapitalisme dengan prinsip 4 kebebasan (perilaku, pendapat, beragama dan kepemilikan). Kapitalisme berlandaskan akidah sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya pelajaran agama dan moral diajarkan di sekolah sekedar sebagai ilmu, bukan untuk dipedomani dan dijadikan panduan. Konon itu demi menjamin kebebasan.

Pendidikan dalam sistem kapitalisme tidak ditujukan membentuk kepribadian. Pendidikan justru dijadikan penopang mesin kapitalisme dengan diarahkan untuk menyediakan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keahlian. Akibatnya kurikulum disusun lebih menekankan pada pengetahuan dan keahlian tapi kosong dari nilai-nilai agama dan moral. Pendidikan akhirnya hanya melahirkan manusia robotik, pintar dan terampil tapi tidak religius dan tak jarang culas.

Demi menjamin kebebasan maka penyelenggaraan pendidikan tidak boleh diatur secara sentralistik dan harus sebanyak mungkin bersifat otonom. Disinilah kita bisa tahu kenapa kurikulum nasional “dibonsai” dan penentuan materi serta muatan program makin banyak diserahkan kepada pihak sekolah. Sekolah yang menentukan buku materi pengajaran yang digunakan, yang dalam prakteknya banyak terjadi perselingkuhan dengan penerbit dengan imbalan tertentu.

Otonomi yang diberikan juga mencakup pendanaan. Akibat kapitalisme, peran pendanaan oleh pemerintah harus makin berkurang dan sebaliknya pendanaan oleh masyarakat (orang tua siswa) makin besar. Sekolah berkualitas pun menjadi mahal. Akibatnya, terjadinya ‘lingkaran setan’ kemiskinan. Orang miksin tidak bisa mendapat pendidikan berkualitas. Mereka tidak bisa mengembangkan potensi dirinya dan tetap terperangkap dalam kemiskinan. Masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Hanya orang menengah keatas yang bisa mengakses pendidikan berkualitas. Padahal sekolah seharusnya dapat menjadi pintu perbaikan taraf hidup bagi si miskin. Selain itu juga akan melanggengkan penjajahan.
Karena itu harus dilakukan reorientasi dan penataan kembali pendidikan mulai dari filosofi, tujuan dan kurikulum sampai ke manajemen pendidikan, metode pembelajaran, substansi pengajaran, pendanaan pendidikan, dan sebagainya. Pendidikan harus dibebaskan dari kapitalisme.

Islam Mengatur Pendidikan

Dalam Islam, hubungan Pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung jawab. Negara (Khalifah) bertanggung jawab penuh dalam memelihara urusan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda:
ุงَู„ุฅِู…َุงู…ُ ุฑَุงุนٍ ูˆَ ู‡ُูˆَ ู…َุณْุคُูˆْู„ٌ ุนَู†ْ ุฑَุนِูŠَุชِู‡ِ
Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sebagai bagian dari ri’ayah itu maka pendidikan harus diatur sepenuhnya oleh negara berdasarkan akidah Islam. Pendidikan itu harus ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam dan membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan dalam kehidupan. Hasilnya adalah orang-orang yang pintar, trampil dan berkemampuan sekaligus berkepribadian Islam dan berakhlak.

Islam menentukan penyediaan pendidikan bermutu untuk semua rakyat sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Dasarnya karena Rasul saw menetapkan tebusan tawanan perang dari orang kafir adalah mengajari sepuluh orang dari anak-anak kaum muslim. Tebusan tawanan merupakan ghanimah yang menjadi hak seluruh kaum muslim. Diperuntukkannya ghanimah untuk menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis itu menunjukkan bahwa penyediaan pendidikan oleh negara untuk rakyat adalah wajib. Ijmak sahabat atas pemberian gaji kepada para pengajar/guru dari harta baitul mal lebih menegaskan hal itu.

Sumber dana untuk semua itu adalah dari pemasukan harta milik negara dan hasil pengelolaan harta milik umum, seperti tambang mineral, migas, hutan, laut, dsb. Rasulullah saw. bersabda:
«ุงู„ْู…ُุณْู„ِู…ُูˆู†َ ุดُุฑَูƒَุงุกُ ูِูŠ ุซَู„ุงَุซٍ ูِูŠ ุงู„ْูƒَู„ุฅِ ูˆَุงู„ْู…َุงุกِ ูˆَุงู„ู†َّุงุฑِ»
Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: padang, air dan api (energi). (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).

Dengan itu, maka pendidikan bermutu dengan gratis atau biaya sangat rendah bisa disediakan dan dapat diakses oleh seluruh rakyat. Hal itu memang menjadi hak mereka semua tanpa kecuali dan menjadi kewajiban negara.

Wahai Kaum Muslim

Dunia pendidikan yang sarat masalah saat ini hanya bisa dituntaskan dengan mencampakkan kapitalisme dan menerapkan syariah Islam secara total. Hanya dengan penerapan syariah dalam bingkai Khilafah Rasyidah saja, pendidikan bermutu bisa dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali baik kaya atau miskin, muslim atau non muslim. Karena itu saatnya dilipatgandakan upaya dan perjuangan untuk menerakan syariah dan menegakkan Khilafah Rasyidah. Wallรขh a’lam bi ash-shawรขb. [Al Islam 610]

Komentar:
Pada Juli Kemendikbud akan menggelar uji ulang bagi guru yang sudah bersertifikasi atau lulus sertifikasi. Uji ulang ini untuk mendorong peningkatan kualitas guru dan mendorong guru untuk terus meningkatkan kualitas dirinya (kompas, 5/6)
  1. Evaluasi kinerja guru dilakukan seperti ala UN bagi siswa. Ini menunjukkan pemerintah hanya mementingkan nilai dan kurang memperhatikan proses.
  2. Sertifikasi sudah berlangsung sejak 2005, tapi belum terbukti kualitas pendidikan naik. Mestinya peningkatan kesejahteraan guru diikuti oleh perhatian atas peningkatan kualitas proses pembelajaran dan pendidikan.
Amerika Perlihatkan Ketakutannya Pada Hizbut Tahrir Dan Khilafah

Amerika Perlihatkan Ketakutannya Pada Hizbut Tahrir Dan Khilafah

Voa-Khilafah.co.cc - Situs “Doc’s Talk” mempublikasikan sebuah artikel berjudul “Caliphate Conference Coming to Chicago Area, Konferensi Khilafah Akan Datang ke Daerah Chicago”.

Hizbut Tahrir adalah organisasi Islam internasional yang secara terbuka menyerukan pembentukan Khilafah, yang berarti penyatuan dunia Islam di bawah satu negara syariah yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Ini artinya bahwa Hizbut Tahrir telah mendedikasikan seluruh tenaganya untuk menumbangkan semua pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Islam. Karena itu, Hizbut Tahrir dilarang di banyak negara. Namun di Amerika Serikat, Hizbut Tahrir tidak dilarang, karena Hizbut Tahrir tidak menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan tegaknya syariah. Hizbut Tahrir datang lagi ke daerah Chicago untuk menggelar Konferensi Khilafah pada tanggal 17 Juni 2012.

Perlu untuk diketahui bahwa para pemimpin kaum Muslim di Amerika Serikat yang menyebut dirinya dengan “kaum moderat” tidak akan pernah membebaskan Hizbut Tahrir dan tujuannya.
Perlu diketahui juga bahwa tidak ada masalah bagi Hizbut Tahrir untuk mendapatkan tempat di hotel guna menggelar konferensinya yang bertujuan mempromosikan sistem politik yang akan melenyapkan kebebasan berekspresi, kebebasan berkeyakinan dan kesemaan hak di antara manusia di depan hukum. Namun kelompok pembela kebebasan yang berusaha untuk menolak syariah dan Islamisasi masyarakat, justru mereka ini terus-menerus diusir dari setiap aksinya di tempat-tempat umum.

*** *** ***

Dalam hal ini, Maha Benar Allah dengan firman-Nya: “Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat , jika kamu memahaminya.” (TQS. Ali Imran [3] : 118). Sumber: pal-tahrir.info, 2/6/2012. [htipress/syabab/voa-khilafah.co.cc]
Melarang Aspirasi Penegakkan Syariat dan Khilafah Adalah Menentang Karya Agung Para Ulama dan Melestarikan Kerusakan Sistem Demokrasi

Melarang Aspirasi Penegakkan Syariat dan Khilafah Adalah Menentang Karya Agung Para Ulama dan Melestarikan Kerusakan Sistem Demokrasi

Dalam pidato memperingati Hari Lahir Pancasila, Jumat lalu (1/6) Said Aqil Siraj meminta agar tidak ada lagi wacana negara Islam di Indonesia. Said bahkan meminta agar orang-orang yang masih menginginkan membentuk negara Islam keluar dari Indonesia dan pergi ke Afghanistan. “Tidak perlu lagi ada wacana negara Islam maupun kekerasan yang mengatasnamakan Islam,” kata Said dalam pidato memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945, Jumat (1/6).
Said Aqil juga menyatakan bahwa ideologi yang bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia adalah subversif yang tidak boleh leluasa hidup mengembangkan ajarannya dinegara Pancasila ini.

Mengherankan
Pernyataan itu jelas sesuatu yang mengherankan. Pernyataan itu bertolak belakang dengan pandangan para imam madzhab, mujtahidin dan para fuqoha. Mayoritas imam madzhab, mujtahidin dan fuqoha sepakat ihwal kewajiban menegakkan khilafah. Hanya golongan sempalan yang  mengingkari kewajiban yang mulia ini. Apalagi jumhur ahlus sunnah telah menyatakan kewajibannya. Berikut kami kutipkan sebagian kecil saja perkataan para ulama salaf mengenai kewajiban menegakkan khilafah.
Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahรฎh Muslim, XII/205).
Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat. (Imam al-Mawardi, Al-Ahkรขm as-Sulthรขniyyah, hlm. 5).
Sungguh mengherankan bila ada seorang yang mengaku alim namun mengingkari pendapat para ulama madzhab. Apalagi mereka yang mengaku-aku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah semestinya mengetahui bahwa perkara ini adalah bagian dari ma’lumun min ad-din bi adl-dlarurah. Perkara yang telah diketahui urgensitasnya. Para pecinta ahlus sunnah seharusnya berada di garda terdepan dalam perjuangan penegakkan khilafah dan syariat, karena para ulama ahlus sunnah memang telah mewajibkan hal demikian.
Imam Ibnu Hazm mengatakan, “Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw.” (Ibnu Hazm, Al-Fashl fรฎ al-Milal wa al-Ahwรข’ wa an-Nihal, IV/87).
Demikian pula Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: “Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.” Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: “Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah).”
Pernyataan di atas sekaligus menolak realitas bahwa khilafah Islamiyyah dan penerapan syariat Islam telah lama hadir di Nusantara, sebelum dihancurkan kolonial Kristen Portugis dan Belanda, lalu mereka menggantikannya dengan sekulerisme dan demokrasi. Kesultanan Islam seperti Sriwijaya Islam, Mataram Islam, Samudera Pasai hingga Jayakarta yang diperintah oleh Fatahillah adalah realitas sejarah kegemilangan Islam di tanah air.
Juga bagaimana para alim ulama rela menjadi martir syuhada melawan penjajahan Barat yang menyebarkan sekulerisme dan misi zending Kristen ke seantero Nusantara. Sosok Pangeran Diponegoro yang menobatkan dirinya sebagai Sultan Abdulhamid Erucakra Sayidin Panatagama Khalifat Rasulullah Sayidin Panatagama, menunjukkan jati dirinya sebagai pemimpin yang berjiwa Islam dan memperjuangkan pelaksanaan syariat Islam melawan VOC Belanda.
Sikap ini juga bertentangan dengan pendiri Nahdlatul Ulama KH Wahab Hasbullah yang turut berpartisipasi dalam Kongres Khilafah pada bulan Febuari 1926. Sayangnya acara tersebut disabotase oleh kolonial Inggris melalui antek mereka Ibnu Saud, penguasa Hijaz.
Satu-satunya alasan mengapa muncul pernyataan yang kontradiksi dengan pendapat para ulama salafush sholeh, adalah motif politik tidak terpuji dari pembicara untuk mendiskreditkan ajaran Islam dan para pejuang syariah. Motif ini adalah mata rantai imperialisme Barat terhadap dunia Islam yang memanfaatkan sejumlah tokoh Islam dan politisi muslim untuk melawan arus kebangkitan Islam.
Barat telah memahami sejak lama bahwa upaya menghancurkan Islam tidak bisa dilakukan melalui jalur militer, akan tetapi harus dimulai dari akar perjuangannya, yakni ajaran Islam. Maka bermunculanlah studi-studi orientalisme yang bertujuan menghujamkan pisau beracun berupa perang pemikiran dan peradaban terhadap kaum muslimin yang telah meninggalkan dien mereka.
Di antara serangan berbahaya yang mereka lakukan adalah mendidik kaki tangan mereka dari kalangan pemikir dan politisi muslim untuk mengkampanyekan sekulerisme. Bila pemikiran sekulerisme dapat diinduksikan ke dalam pemikiran umat, maka agama dan kehidupan akan terpisah. Selanjutnya akan terjadi pemisahan agama dari negara dan aturan politik. Berikutnya sistem kenegaraan dan sistem politik dunia Islam akan digantikan dengan ajaran demokrasi yang memiliki beragam derivatnya. Seperti di tanah air, pemikiran demokrasi disulap menjadi demokrasi ala Indonesia sebagaimana ajaran sesat HAM pun dimodifikasi agar dapat diterima oleh rakyat Indonesia.
Demokrasi memang mensyaratkan sekulerisme secara mutlak. Luthfie asy-Syaukanie dalam situsnya menulis artikel bertajuk Berkah Sekulerisme. Di dalamnya terdapat pernyataan sebagai berikut, “Sebuah demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu menerapkan prinsip-prinsip sekularisme dengan benar. Sebaliknya, demokrasi yang gagal atau buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip sekularisme secara benar.”
Andaipun tidak disingkirkan, maka agama akan dipaksa untuk ditafsirkan ulang agar sesuai dengan keinginan demokrasi. Seperti yang ditulis Nader Hashemi seorang Asisten Profesor dalam bidang kajian Timur Tengah dan Politik Islam, University of Denver. Dalam bukunya Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal ia menyatakan bahwa “reinterpretasi ide-ide keagamaan menjadi amat penting bagi kehidupan demokrasi liberal yang kondusif”.  Apa yang disampaikan Said Aqil hanyalah riak kecil dari gelombang westernisasi dan depolitisasi Islam.
Pernyataan di atas bisa diniai bukan hanya depolitisasi Islam, tetapi lebih dari itu bisa dinilai sebagai deislamisasi.  Sayangnya pernyataan seperti itu keluar dari lisan orang yang dianggap tokoh dan ulama.  Pernyataan demikian sangat berbahaya dan potensi daya rusaknya sangat besar.  Rasulullah saw memperingatkan dari keburukan yang berasal dari ulama dan menyebutnya sebagai seburuk-buruk keburukan.  Imam ad-Darimi meriwayatkan dari al-Akhwas bin Hakim dari bapaknya :
ุณَุฃَู„َ ุฑَุฌُู„ٌ ุงู„ู†َّุจِู‰َّ -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…- ุนَู†ِ ุงู„ุดَّุฑِّ ูَู‚َุงู„َ :« ู„ุงَ ุชَุณْุฃَู„ُูˆู†ِู‰ ุนَู†ِ ุงู„ุดَّุฑِّ ูˆَุณَู„ُูˆู†ِู‰ ุนَู†ِ ุงู„ْุฎَูŠْุฑِ ». ูŠَู‚ُูˆู„ُู‡َุง ุซَู„ุงَุซุงً ، ุซُู…َّ ู‚َุงู„َ :« ุฃَู„ุงَ ุฅِู†َّ ุดَุฑَّ ุงู„ุดَّุฑِّ ุดِุฑَุงุฑُ ุงู„ْุนُู„َู…َุงุกِ ، ูˆَุฅِู†َّ ุฎَูŠْุฑَ ุงู„ْุฎَูŠْุฑِ ุฎِูŠَุงุฑُ ุงู„ْุนُู„َู…َุงุกِ »
Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw tentang keburukan.  Rasul bersabda: “jangan kamu tanya aku tentang keburukan dan tanyai aku tentang kebaikan”.  Beliau mengatakannya tiga klai.  Kemudian beliau bersabda: “ingatlah, sesungguhnya seburuk-seburuk keburukan adalah keburukan ualam dan sesungguhnya sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama”.
Imam al-Ghazali di dalam Ihyรข’Ulรปmuddรฎn menjelaskan: “ulama itu ada tiga golongan.  (Golongan) Ulama yang mencelakakan dirinya sendiri dan orang lain, dan mereka adalah yang terang-terangan mencari dunia dan mencurahkan perhatian terhadap dunia.  Atau (golongan) ulama yang membahagiakan dirinya dan orang lain.  Mereka adalah yang menyeru makhluk kepada Allah baik secara zahir maupun batin. Atau (golongan) ulama yang mencelakakan dirinya sendiri tapi menyenangkan orang lain dan dia adalah yang mengajak kepada akhirat dan bisa jadi ia menolak dunia pada zahirnya sementara maksudnya pada batin adalah (mencari) penerimaan makhluk dan mencari kedudukan.  Maka perhatikan termasuk golongan manakah kamu …”.
Imam al-Ghazali juga mengingatkan: ” … inilah jejak langkah para ulama dan tradisi mereka dalam melakukan amar makruf nahi mungkar dan minimnya atensi mereka kepada kekuasaan penguasa.  Akan tetapi mereka menyandarkan diri pada karunia Allah agar Allah menjaga mereka.  Mereka rela dengan keputusan Allah SWT agar Allah memberi mereka rezki kesyahidan.  Maka ketika mereka memurnikan niyat kepada Allah, ucapan mereka pun membekas di dalam hati yang keras sehingga melunakkannya dan menghilangkan kekerasan hati itu.  Adapun sekarang, ketamakan telah membelenggu lisan ulama sehingga mereka diam.  Jika pun mereka berbicara, perikeadaan mereka tidak bsia membantu ucapan mereka, maka mereka pun tidak berhasil.  Andai mereka benar (jujur) dan memaksudkan hak ilmu niscaya mereka beruntung.  Jadi rusaknya rakyat karena rusaknya penguasa dan rusaknya penguasa adalah karena rusaknya ulama.  Dan rusaknya ulama adalah karena dikuasai cinta harta dan kedudukan.  Siapa saja yang dikuasai oleh kecintaan kepada dunia maka dia tidak akan mampu meluruskan hal-hal yang remeh sekalipun, lalu bagaimana mungkin akan bisa meluruskan para raja (penguasa) dan orang-orang besar.  Dan Allah adalah tempat meminta bantuan atas segala keadaan” (Ihyรข’ Ulรปmuddรฎn, jus 7 hal 92).
Syaikh Abdul Aziz al-Badri, seorang ulama dari Baghdad yang syahid dalam rangka amar makruf nahi mungkar kepada Saddam Husain, dalam bukunya al-Islรขm bayna al-‘Ulamรข wa al-Hukkรขm hal 62 mengatakan: “disini harus dikatakan, bahwa standar dan timbangan untuk mengetahui keberadaan seorang alim sebagai orang fasid atau shalih dan keberadaan penguasa apakah seorang zalim atau adil, adalah Islam dan bukan yang lain dan tidak ada yang lain yang bersama Islam.
Aktifitas ulama dan perbuatan penguasa, tindakan dan perilaku mereka di dalam kehidupan dan terhadap masyarakat dan penentuan sikap sebagian mereka kepada sebagian yang lain, semua itu ditimbang dengan timbangan Islam dan distandarisasi dengan standar syara’.  Maka sampai tingkat maka mereka terikat kepada Islam dan menerapkannya, mengemban dakwahnya, pemeliharaan mereka terhadap hukum-hukumnya dan pelayanan mereka kepada para pengikut Islam maka setingkat itulah ia menjadi orang yang shalih dan adil.  Dan dengan sebaliknya tampaklah kerusakan mereka dan sejauh mana mereka dituntun oleh kezaliman, meskipun orang ‘alim itu seorang filsuf dan penguasa itu seorang yang jenius”. Wallรขh a’lam bi ash-shawรขb. [Iwan Januar dan Yahya Abdurrahman - LS HTI]
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers

SEPUTAR RAMADHAN

TSAQOFAH ISLAM

FIKIH

HADITS

TAFSIR AL QUR'AN

NAFSIYAH

HIKMAH

NASYID

HIZBUT TAHRIR INDONESIA

AL-ISLAM

DAKWAH

ULAMA

SEJARAH

DOWNLOAD

ARTIKEL