Teror Solo: Antara Dendam & Keadilan (Sambutan Selamat Datang Untuk Hillary)

Teror Solo: Antara Dendam & Keadilan (Sambutan Selamat Datang Untuk Hillary)

Oleh: Harits Abu Ulya

Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)

Voa-Khilafah.co.cc - Di hari Rabu,27 Agustus 2012 saya hadir dalam sebuah acara terbatas review buku dengan judul “Jejaring Radikalisme di Indonesia-Jejak Sang Penganten Bom Bunuh Diri” karya Bilveer Singh yang diselenggarakan oleh Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Salah satu narasumbernya adalah Prof. Ridwan Lubis (guru besar Ushuludin UIN Jakarta), buku ini mendedah relevansi radikalisme dengan aksi terorisme.Yang menarik untuk saya tanggapi saat itu diantaranya rekomendasi sang Profesor, pemerintah Indonesia harus lebih berani dan represif menangani kasus terorisme tegas sang Profesor. Saya katakan, saya tidak berangkat dari kajian pustaka tapi dari kajian empirik dan investigasi yang saya lakukan selama ini. Pemerintah dalam hal ini BNPT bersama Densus88 bukan tidak berani, justru menurut saya sudah over acting. Fakta dan data menunjukkan lebih dari 55 orang terduga teroris tewas dengan katagori extra judicial killing, dan ini pelanggaran serius terhadap HAM. Belum lagi menyangkut perlakuan terhadap keluarga mereka, banyak aduan yang menggambarkan betapa arogansinya aparat Densus88. Justru kritik saya untuk kontra-terorisme yang ditangani oleh BNPT perlu adanya evaluasi dan mereka sendiri mau legowo untuk otokritik dengan strategi yang di lakukan.Kenapa demikian? Sekarang kasus teror Solo sedikit memberi jawaban dan mengkonfirmasi kritik saya selama ini.

Dengan anggaran ratusan miliar, BNPT menggelar proyek deradikalisasi sebagai strategi soft power untuk membabat terorisme sampai akarnya. Karena logika BNPT, radikalisme keagamaan menjadi hulu dari terorisme.Berbagai forum digelar dengan beragam title, intinya langkah sosialisasi dan revisi pemikiran keagamaan dengan substansi Islam ala BNPT yakni Islam Rahmatan Lil’aalamin. Hakikatnya sebuah penghalusan dari narasi tipis Islam liberal dan moderat. Dengan bahasa sedikit berbeda seperti yang direkomendasikan Bilveer Singh dalam bukunya, perlunya sosialisasi “Islam Otentik Humanis”. Dilihat dari sasaran proyek deradikalisasi juga kontraproduktif, BNPT menjangkau semua segmen masyarakat khususnya dari kalangan ulama, da’I dan pengurus masjid atau mushola. Termasuk lembaga pendidikan formal dan non formal (pesantren) juga jadi sasaran.Upaya indoktrinasi untuk membangun imunitas agar tidak terkontaminasi oleh kelompok radikal atau teroris yang selama ini dikalkulasi hanya dalam jumlah yang sangat kecil.

Fakta dilapangan langkah BNPT menunjukkan blunder, karena narasi Islam Rahmatan Lil’alamin justru melahirkan bantahan dengan argumentasi yang BNPT sendiri tidak sanggup mengcounter balik. Dan berikutnya, BNPT justru terlihat tidak maksimal melakukan deradikalisasi terhadap kelompok yang selama ini terpetakan oleh BNPT. Scaning BNPT saya rasa sudah demikian detil tentang landscap orang-orang atau kelompok yang dilabeli “teroris” selama ini, kenapa BNPT tidak fokus melakukan deradikalisasi terhadap mereka termasuk keluarga dan lingkungan mereka. Demikian juga terhadap keluarga korban yang tewas dengan status terduga atau tersangka terorisme.

Demikian juga, bicara peralatan senjata dan bahan-bahan lainnya BNPT juga punya gambaran jalur lalulintas distribusi senjata ilegal tersebut. Kenapa tidak maksimal menutup semua pintu akses yang rawan penyelundupan? Fenomena ini beririsan dengan strategi hard power kontra-terorisme yang dilakukan Densus88. Law enforcement (penegakan hukum) telah melahir trauma dan kebencian yang luar biasa bagi korban yang hidup dan sebagian keluarga korban atau orang-orang disekelilig mereka. Fakta dilapangan, saya beberapa kali harus mendorong beberapa orang untuk sabar ketika mereka hendak melakukan tindakan nekat terhadap aparat kepolisian karena faktor dendam dan kebencian. Seperti yang saya nyatakan dalam review buku diatas, BNPT sadar atau tidak justru merajut dan menjadi stimulator kekerasan yang tidak berujung. Semakin keras mengenalkan Islam liberal, Islam Moderat maka akan melahirkan kutub yang makin “radikal” dan “fundamentalisme”. Makin arogan tindakan Densus88 dengan tindakan extra judicial killing dan tindakan-tindakan brutal lainya, maka makin menyemai dendam kusumat yang tak berkesudahan. Karena itu, jangan dengan mudahnya BNPT menebar lebel “teroris” dihadapan publik sementara BNPT sendiri sebenarnya ikut andil munculnya kekerasan-kekerasan bersenjata yang oleh BNPT di klaim sebagai tindakan terorisme.

Fenomena dendam kusumat, kebencian lebih dominan tampak menjadi spirit beberapa aksi “hero” dari orang-orang yang di cap teroris. Kita bisa lihat stasiun televisi TVOne mendedah teror Solo dengan mengawali tayangan berita “terorisme” versi TVOne. Mulai dari penyerangan Polsek Hamparan Perak di Sumut, kemudian bom di Kalimalang Bekasi, Bom di Mapolres Cirebon hingga kasus terakhir teror tanggal 17, 18 dan 30 Agustus di wilayah Solo. Investigasi yang saya lakukan justru menjelaskan fakta empirik yang sesunggunya, dendam menjadi faktor utama yang memicu peristiwa penyerangan polsek Hamparan Perak. Dimana sebelumnya Densus88 dengan cara yang brutal mengeksekusi seorang yang bernama Iwan (Ridwan) di daerah Hamparan Perak karena diduga terlibat perampokan CIMB. Dan sebelumnya Densus88 juga sudah mengobrak-abrik dan menangkap ustad Khoirul Gozhali. Seorang Taufiq Hidayat yang memimpin aksi balas dendam itu tidak lagi bergerak karena faktor “politik:mendirikan negara Islam” seperti yang dituduhkan oleh BNPT kepada kelompok Taufiq. Karena klaim BNPT perampokan adalah aksi terorisme karena hasil rampokannya untuk mendirikan Negara Islam.

Begitu juga seorang Hayyat pemuda canggung meledakkan bom (petasan) di Kalimalang Bekasi yang diletakkan di sepeta ontelnya. Ia bukan bagian dari jaringan manapun, hanya seseorang yang masih melek pikiran dan perasaannya sebagai pemuda muslim. Melihat berita yang dirasakan sebagai ketidakadilan yang menimpa orang-orang muslim tertentu maka memicu rasa pembelaan pada dirinya, dan kemudian secara mandiri berinisiatif melakukan tindakan yang akhirnya dibuat heboh oleh BNPT bersama TVone tersebut.

Tidak jauh beda dengan tindakan Hidayat di Cirebon dan Yosepha di Keponten Solo. Sangat naïf rasanya kalau aksi-aksi “hero” mereka dilabeli terorisme. Tindakan teror mereka sudah tercerabut dari definisi sebuah aksi terorisme yang sesungguhnya. Bahkan orang bisa menyaksikan rencana aksi bom serpong seorang Peppy Fernando justru motif bisnis (uang) yang mendorong ia merekayasa drama “terorisme”.Spektrum kekerasan dan tindakan teror diatas tidak relevan kalau distempel dengan tindakan “terorisme”. Tidak ada satupun evident yang bisa menjelaskan dan dipertanggungjawabkan bahwa langkah mereka semua karena kepentingan politik mendirikan Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah. Jika BNPT tetap ngotot kerangka politik dipakai untuk memvonis fenomena teror segelintir orang terhadap aparat keamanan maka ini sudah keluar dari konteks (jajanan basi) dan tidak berangkat dari TKP dan fakta hukum yang ada. Bahkan terkesan paranoid karena selalu mengkaitkan dengan gerakan Islam tertentu, apakah itu MMI atau JAT pimpinan ustad Abu Bakar Ba’asyir.

Jikapun betul pelaku teror Solo kali ini masih satu jaringan dengan Abu sayyaf atau lainya, tetap saja bahwa tidak logis membuat kesimpulan gegabah bahwa ini bagian dari upaya mendirikan negara Islam. Jika Farhan yang tewas pernah di kamp Abu Sayyaf tentu keterlibatan mereka disana dengan aksi dia di Solo dalam konteks yang sangat jauh berbeda. Di Filipina adalah zona konflik, zona perang sementara di Solo hanya home bast mereka. Karenanya jika BNPT memahami betul psikologi mereka, sebenarnya tindakan mereka adalah tindakan dari orang-orang yang marah karena dendam.Dan betul kalau pos-pos polisi itu lemah untuk melakukan counter attack atas serangan-serangan mendadak. Dan bagi orang yang marah dan merasa “jagoan” bukan hal yang menakutkan untuk melakukan aksi brutal tersebut.Tapi sekali lagi pola yang tidak well -plant, well-prepared, well organized menjadi kesan langkah tersebut adalah emosional dan faktornya adalah kemarahan. Orang marah karena ada pemicunya, diantaranya dendam atau ada sesuatu yang dianggap tidak adil dan ia harus menuntut balas dengan caranya untuk membuat keadilan dan membayar lunas sebuah dendam.

BNPT dengan Densus88 yang dimiliki sebelum melakukan penindakan tentu ada intelijen analisis tentang siapa mereka. Nah, yang menggelitik jika selama ini peta jaringan mereka demikian detil di miliki oleh BNPT kenapa intelijen analisis tidak melahirkan tindakan yang sama seperti yang pernah dilakukan terhadap kelompok 5 di Bali beberapa bulan yang lalu? Dan tidak perlu menunggu tewasnya aparat karena diberondong oleh Farhan cs. Orang 5 tewas di Bali hanya karena diduga hendak merompok dan dari hasil perampokan akan digunakan tindak pidana terorisme. Kenapa pre-emptif tidak juga dilakukan kepada Farhan atau Muhsin sebelum mereka beraksi membuat terror? Toh melalui Abu Omar yang diketahui sebagai ayah tiri Farhan yang sudah ditangkap beberapa bulan lalu di Jakarta juga bisa di korek informasi mengenai jaringan mereka dan kemungkinan puzzle kekerasan muncul dari orang-orang di sekiling mereka. Dan kemudian fakta dilapangan juga mengindikasikan tidak sulit bagi aparat intelijen Densus88 melacak jejak mereka dari sejak aksinya tanggal 17, 18, 30 Agustus. Dalam hitungan jam Densus88 bisa mengunci gerak mereka yang berakhir dengan baku tembak penyergapan.

Dari peristiwa diatas akhirnya banyak melahirkan pertanyaan, apakah mungkin ini produk intelijen hitam yang memprovokasi anak-anak muda yang darah heroismenya menggelegak? Kenapa juga peristiwa kali ini berketepatan jelang kunjungan tamu “penting” Menlu AS Hillary Clinton? Mengingat setiap ada kunjungan tamu “penting” dari Amerika selalu disambut dengan penangkapan dan eksekusi orang-orang dengan lebel teroris.Termasuk ustad Abu Bakar Ba’asyir menjadi “tumbal” sebelum Obama mendarat di Jakarta.Sekalipun aksi teror di Solo adalah sebuah fakta yang tidak direkayasa, tapi stimulant lahirnya tindakan adalah sesuatu yang sangat mudah direkayasa.

Yang jelas, peristiwa Solo telah menjelaskan invalidnya label terorisme yang gembor-gemborkan oleh BNPT. Demikian juga akan makin menjelaskan motif politik yang menjadi spirit para follower dari peristiwa teror Solo ini dari pihak aparat pemerintah. Karena tidak menutup kemungkinan dari kasus Solo akan melahirkan keputusan-keputusan politik; revisi UU Terorisme (UU No. 15 tahun 2003) segera gol, UU Kamnas, Revisi UU Ormas, atau ajuan anggaran baru untuk BNPT dengan Densusnya, atau anggaran untuk aparat kepolisian.

Begitu juga, teror Solo telah berkontribusi melegakan nafas institusi Polri yang sedang dihajar dan didera kasus korupsi di Korlantas. Begitu juga kasus-kasus mega korupsi lainya tidak lagi begitu santer jadi pembicaraan kalangan media seperti TVone. Bahkan peristiwa premanisme yang menggila juga tidak mendapat sorotan dan perhatian secara proporsional. Bahkan kematian 900 orang lebih selama mudik hari raya 2012 juga dianggap biasa dan tidak perlu menjadi tragedi nasional karena buruknya infrastruktur dan buruknya layanan pemerintah atas fasilitas publik. Begitu juga langkah renegosiasi PT. Freeport yang bernafsu mengeksploitasi hingga tahun 2041 di tanah Papua tidak dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan energi dan potensi disintegrasi NKRI. Malah tuan Hillary yang hendak datang disambut dengan “drama terorisme” dengan tumbal beberapa nyawa yang menghilang. Atau mungkin karena ada skenario lain dalam isu terorisme kali ini, karena sebulan sebelum masuk Ramadhan (puasa) saya sudah dapatkan informasi rencana “bersih-bersih” di kawasan Solo dan sekitarnya di bulan Agustus dan September.Dan sekarang saya melihat sedikit demi sedikit “bersih-bersih” itu dilakukan.Dan saya yakin target politik dibalik kontra-terorisme pelan tapi pasti akan terbongkar juga. Dan kembali ke cerita review buku, saya sampaikan dihadapan profesor bahwa topik “dendam dan keadilan” menjadi kata kunci yang melahirkan tindakan teror yang datang silih berganti. Dan pemerintah dalam hal ini BNPT harus melakukan otokritik dengan jujur.Wallahu a’lam bisshowab.[]
Kedatangan Hillary Clinton Dinilai Merugikan Indonesia

Kedatangan Hillary Clinton Dinilai Merugikan Indonesia

Voa-Khilafah.co.cc - Ratusan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menolak kedatangan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton. Aksi penolakan dilakukan dengan berunjuk rasa di depan kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta Pusat, Senin (3/9).

Mereka menolak kedatangan Hillary yang akan memperpanjang kontrak pertambangan PT Freeport di Papua. Menurut mereka, kepentingan itu akan merugikan Indonesia. Sebelumnya, kontrak Freeport berakhir pada 2021. Namun, Hillary datang untuk memperpanjang kontrak hingga 2041.

Selain memperpanjang kontrak Freeport, Hillary juga mengagendakan kedatangannya untuk membangun kantor baru Kedubes AS di Jakarta. Bangunan tersebut menjadi kantor terbesar ketiga Kedubes AS di seluruh dunia.

HTI menilai kedatangan Hillary yang mendarat pada Senin (3/9) sore itu hanya untuk mementingkan kepentingan AS. Lantaran itu, HTI menyerukan penolakan setiap agenda kepentingan AS yang mengakibatkan kerugian bagi Indonesia.

Aksi tersebut berlangsung tertib di Jalan Medan Merdeka Selatan. Namun, sejumlah polisi tetap bersiaga mengantisipasi gangguan keamanan di lokasi unjuk rasa. (metrotvnews.com, 3/9/2012)
Masya Allah... Biksu Myanmar Desak Muslim Rohingya Diusir

Masya Allah... Biksu Myanmar Desak Muslim Rohingya Diusir

Voa-Khilafah.co.cc - Tekanan kepada Muslim Rohingya belum berakhir. Teranyar, ratusan Biksu Budha Myanmar menggelar demonstrasi menentang keberadaan etnis Muslim Rohingya di negeri tersebut.

Mereka mendukung rencana Presiden Myanmar, Thein Sein mengusir etnis muslim minoritas tersebut keluar dari Myanmar. Aksi itu rencananya akan berlangsung selama tiga hari di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar.

Aksi yang dimulai pada Ahad (2/9) itu semakin memperburuk upaya sentimen antiRohingya pascakerusuhan antaretnis di negara bagian Arakan, akhir Juni lalu. Dalam aksinya, para biksu memajang spanduk bertuliskan ‘Selamatkan tanah airmu Myanmar dengan mendukung Presiden’.

Para demonstran juga mengecam utusan PBB Tomas Ojea Quintana yang dituding lebih membela Muslim Rohingya dalam penyelesaian konflik di Arakan. Kordinator aksi, Wirathu, menyatakan demonstrasi ini merupakan pernyataan tegas para biksu menolak keberadaan etnis Rohingya di Myanmar.

“Biarkan dunia tahu Rohingya tidaklah termasuk dalam kelompok etnis Myanmar sama sekali,” kata dia kepada kantor berita AFP.

Wirathu dijebloskan ke penjara pada 2003 karena mengedarkan literatur antimuslim. Ia divonis 25 tahun penjara, namun segera dibebaskan Januari lalu setelah mendapat amnesti. (republika.co.id, 2/9/2012)
Sunni-Syiah Dalam Naungan Khilafah

Sunni-Syiah Dalam Naungan Khilafah

Sekilas Tentang Sunni dan Syiah

Voa-Khilafah.com - Salah satu upaya kaum kafir memecah-belah kesatuan dan persatuan umat Islam adalah mengadu domba kaum Muslim melalui isu perbedaan mazhab, aliran kalam, kelompok dan golongan. Melalui agen-agennya, kaum kafir terus menanamkan fanatisme dan sentimen mazhab, kelompok dan golongan agar kaum Muslim sibuk memusuhi saudara-saudaranya sendiri dan melupakan musuh sejati mereka, yakni orang-orang kafir yang terus memerangi Islam dan kaum Muslim siang dan malam. Kaum kafir juga tidak segan-segan membentuk faksi-faksi di tubuh kaum Muslim untuk menimbulkan kesesatan, perselisihan dan permusuhan.

Di antara isu sentimen kelompok yang terus dieksploitasi untuk menghancurkan kesatuan kaum Muslim adalah isu Sunni-Syiah. Isu ini secara efektif digunakan oleh Amerika Serikat, pasca invasi di Irak, untuk memecah-belah kekuatan kaum Muslim serta mengalihkan medan pertempuran sebenarnya, yakni berperang melawan tentara Amerika Serikat, ke arah perang antara kelompok Sunni dan Syiah. Amerika Serikat juga mempersenjatai dan mendanai kelompok-kelompok di Irak untuk menimbulkan konflik internal di tubuh kaum Muslim. Dengan cara seperti itu, perlawanan kaum Muslim menjadi lemah, dan eksistensi penjajahan Amerika Serikat di Irak bisa tetap bertahan hingga sekarang.

Padahal kaum Sunni dan Syiah di Irak dan juga negeri-negeri Islam yang lain sejak ribuan tahun yang lalu bisa hidup harmonis dan berdampingan satu dengan yang lain. Tidak hanya itu saja, di sepanjang lintasan sejarah Khilafah Islamiyah, kelompok Sunni dan Syiah, mendapatkan perlakuan yang sama, baik di depan hukum maupun politik. Dalam batas-batas tertentu, pemikiran hukum dan kalam Sunni dan Syiah berkembang dan diakomodasi dengan baik oleh penguasa-penguasa Islam pada saat itu. Hal ini bisa dimengerti, karena Negara Khilafah adalah institusi politik yang bertugas mengatur urusan rakyat dengan syariah Islam, tanpa memandang lagi latar belakang agama, mazhab, golongan, suku, ras dan lain sebagainya; dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Dalam konteks ri’ayah, Negara Khilafah berdiri di atas semua kelompok, golongan dan agama serta memperlakukan kelompok-kelompok tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan syariah yang dilegalisasinya. Negara Khilafah bukanlah negara milik kelompok tertentu, mazhab tertentu, atau untuk agama tertentu; tetapi ia adalah institusi yang menaungi dan mengatur seluruh entitas yang ada di dalam Daulah Khilafah Islamiyah tanpa terkecuali, berdasarkan syariah Islam.

Adapun konflik-konflik bersenjata yang terjadi pada masa Kekhilafahan jarang sekali disebabkan karena faktor perbedaan pendapat dalam bidang fikih, mazhab, maupun kelompok; tetapi lebih diakibatkan karena intrik-intrik politik di pusat-pusat kekuasaan, riddah dan bughat.

Perkembangan Sunni dan Syiah

1. Syiah.

Kemunculan Sunni dan Syiah dapat ditelusuri dari intrik politik seputar siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi saw. sebagai kepala Negara. Pada awalnya, persoalan ini tidak pernah menyulut pertikaian di antara para Sahabat, kecuali hanya percikan-percikan belaka. Bahkan para Sahabat tidak pernah menjadikan masalah tersebut sebagai alat untuk menikam maupun menyerang Sahabat yang lain. Hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib pun, persoalan siapa yang paling berhak menjadi khalifah atau imam, bukanlah penyebab yang menyulut terjadinya Perang Jamal maupun Perang Shiffin. Namun, persoalan ini kemudian dieksploitasi sekelompok orang untuk memecah belah kesatuan dan persatuan kaum Muslim.

Sumber-sumber terpercaya dari kalangan Sunni dan Syiah sepakat bahwa pihak yang menyebarkan benih-benih fitnah di kalangan kaum Muslim adalah orang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam, yakni Abdullah bin Saba’1. Dialah orang pertama yang menyebarkan pemikiran-pemikiran beracun, seperti kedustaan atas nama Ahlul Bait; pendiskreditan terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman ra.2; pengkultusan terhadap Ali dan seruan untuk hanya berpihak kepadanya; penentangan terhadap Khalifah Utsman bin Affan ra.3; dan lain sebagainya.

Menurut Dr. Amir an-Najjar, Abdullah bin Saba’ jualah yang memiliki andil dalam mengobarkan Perang Jamal dan Perang Shiffin. Propaganda-propaganda sesat Abdullah bin Saba’ menemukan momentumnya setelah majelis tahkîm (Ramadhan, 37 H/657 Masehi) gagal menyelesaikan pertikaian antara Khalifah Ali ra. dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Kegagalan ini menyebabkan lahirnya kelompok Syiah (pendukung Ali) dan Khawarij, kelompok yang memisahkan diri dari kelompok ‘Ali maupun Muawiyah.4

Di kemudian hari, perselisihan tersebut tidak hanya berpengaruh dalam membentuk sikap politik kelompok Syiah dan Khawarij, tetapi juga memberikan andil dalam pembentukan pemikiran-pemikiran keagamaan mereka. Intrik ini telah bergeser sedemikian jauh dari persoalan politik ke arah persoalan ideologis. Lahirlah kelompok-kelompok yang mengembangkan ajaran-ajaran ekstrem yang tidak pernah dikenal oleh kaum Muslim sebelumnya.

Kelompok Syiah terus berkembang dan tetap eksis hingga sekarang. Yang paling menonjol adalah Syiah Itsnai ‘Asyarah (Syiah 12). Ada pula kelompok Syiah Imamiyah (Syiah 6), Syiah Zaidiyah, Kaisaniyah, Ismailiyah, Fathimiyah dan lain sebagainya. Hampir seluruh kelompok Syiah menyakini sepenuhnya bahwa hak Imamah telah ditetapkan oleh nash syariah kepada Ali ra. dan keturunannya. Hanya saja, di antara kelompok-kelompok Syiah tersebut terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan siapa keturunan Ali ra. yang berhak memegang tampuk Imamah. Dari sisi fikih dan akidah, kelompok Zaidiyah sangat dekat dengan Ahlus Sunnah. Oleh karena itu, karya ulama Zaidiyah juga sering dijadikan rujukan kalangan Sunni. Kelompok Zaidiyah juga tidak sampai mencela atau mencerca para Sahabat besar seperti halnya kelompok-kelompok Syiah lainnya. Kelompok Zaidiyyah memperlakukan para Sahabat sebagaimana kelompok Sunni.

2. Sunni.

Terkait dengan kelompok Sunni, keragaman pendapat dalam kelompok ini di bidang fikih, ushul fikih, kalam dan bidang-bidang lain juga sangatlah kaya. Di bidang fikih, berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Zhahiri, dan lain sebagainya. Di bidang ilmu tauhid berkembang pemikiran Imam Asy’ari, Maturidi, Thahawi, Bazdawi, Asnawi, Isyfiraini, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Walaupun dalam banyak persoalan mereka berbeda pendapat, para ulama Sunni telah menggariskan pokok-pokok keimanan yang tidak boleh diselisihi oleh kaum Muslim; yakni iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat serta qadla dan qadar. Pandangan mereka terhadap persoalan Imamah atau Khilafah juga beragam. Hanya saja, seluruh ulama Sunni mengakui legalitas tiga khalifah sebelum Ali ra. serta mengakui keadilan para Sahabat Nabi saw. dan hak Kekhilafahan tidak hanya di tangan Ali ra. dan keturunannya saja meski sebagian mazhab Syafii berpandangan bahwa khalifah harus dijabat oleh suku Quraisy.

Dalam konteks kalam, pandangan Imam Asy’ari dalam menyikapi ayat-ayat shifat berbeda dengan pandangan Imam Maturidi. Selain itu, pandangan dan perlakuan ulama-ulama Sunni terhadap Ahlul Bait selalu bersandarkan pada wasiat dan pesan Nabi saw. Dalam pandangan ulama Sunni, Ahlul Bait tidaklah terjaga dari dosa alias ma’shûm sebagaimana Rasulullah saw. Hanya saja, Ahlul Bait mendapatkan kedudukan dan tempat yang sangat mulia di sisi kelompok Sunni, sebagaimana para Sahabat besar Nabi saw. yang lain.

Dalam lintasan sejarahnya yang panjang, keragaman pendapat yang terdapat pada kelompok Sunni dan Syiah pada batas-batas tertentu tidak pernah menyulut terjadinya konflik yang pelik, kecuali setelah isu Sunni-Syiah ini dipolitisasi sedemikian rupa untuk menimbulkan perpecahan di tengah-tengah kaum Muslim serta untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Namun, dari sisi pemikiran hukum maupun politik, kalangan Sunni dan Syiah sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat. Kedua kelompok ini bisa hidup berdampingan dan saling menghormati satu sama lain. Kenyataan ini bisa dilihat dari sikap para ulama kalangan Sunni terhadap ulama Syiah dan sebaliknya. Ulama-ulama mu’tabar dari kalangan Sunni menempatkan Ahlul Bait [yang oleh kalangan Syiah dijadikan sebagai panutan dan pemimpin mereka] pada kedudukan yang tinggi dan mulia.

Ibnu Syihab az-Zuhri (50-123 H), misalnya, seorang ulama besar dari kalangan Sunni, memberikan komentar terhadap Ali Zainal Abidin dengan ungkapan, “Saya belum menyaksikan seseorang yang lebih ahli dalam bidang hukum daripada Ali bin al-Husain. Hanya saja, beliau ini sedikit berhadis.”

Ibnu Musayyab, ulama besar Sunni yang lain melukiskan kepribadian Ali bin al-Husain, “Saya belum menyaksikan orang yang lebih wara’ daripada beliau.”

Simak juga bagaimana penilaian Muhammad bin Ali atau Abu Ja’far al-Baqir (w. 133 H) terhadap Abdullah bin Umar (w. 73 H), “Di antara para Sahabat Rasulullah, tak seorang pun jika mendengarkan sabda Rasulullah saw. bersikap lebih hati-hati untuk tidak menambahi atau mengurangi daripada Abdullah bin Umar.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqât, II/125).

Di sisi lain, Imam Ja’far bin ash-Shadiq pernah menjadi guru Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Malik bin Anas ra (w. 179 H).

Dari kalangan Syiah Zaidiyah, kaum Muslim juga mengenal Zaid bin Ali ra. Pandangan-pandangan beliau mengenai syariah, hadis dan para Sahabat besar tidak ada bedanya dengan pandangan kaum Sunni, kecuali dalam bidang Imamah (kepemimpinan). Zaid bin Ali (w. 122 H) lahir di Madinah al-Munawarah. Beliau banyak belajar dari ulama-ulama Sunni terkemuka seperti Said ibn Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman, Urwah bin Zubair, Ubaidillah bin Abdillah dan ulama-ulama besar Madinah lainnya.

Bukti lain yang menunjukkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan Sunni dan Syiah adalah kaum Muslim dari kalangan Sunni dan Syiah yang hidup di daerah Kufah, Yaman dan negeri-negeri Islam lain; mereka bisa hidup berdampingan dengan damai dan harmonis. Adanya konflik-konflik bersenjata yang terjadi di dalam sejarah Kekhilafahan lebih diakibatkan karena alasan-alasan yang bersifat politis, semacam perebutan kekuasaan dan intrik-intrik politik.

Kebijakan Khilafah Mempersatukan Sunni-Syiah

Pada dasarnya, untuk menciptakan stabilitas negara dan persatuan umat Islam yang sangat mejemuk dan beragam tersebut, sikap resmi Negara Khilafah dapat dijabarkan sebagai berikut;

1. Mengakomodasi pendapat dan pendirian mereka selama pendapat tersebut belum dianggap menyimpang dari akidah dan syariah Islam. Kelompok-kelompok seperti ini tetap dianggap sebagai bagian dari kaum Muslim dan diperlakukan layaknya kaum Mukmin. Mereka diberi hak untuk menyebarkan pendapat dan pendiriannya di wilayah Khilafah Islamiah tanpa ada larangan sedikit pun. Mereka juga diberi hak untuk mengakses jabatan-jabatan penting Negara Khilafah.

2. Kelompok-kelompok yang telah menyimpang dari akidah Islam, atau terjatuh pada penakwilan-penakwilan yang sesat. Mereka dihukumi sebagai kelompok yang telah keluar dari Islam (murtad). Kebijakan Negara Khilafah dalam masalah ini sangat jelas: menasihati mereka agar kembali pada jalan yang lurus, menjelaskan kesesatan pendirian mereka dan memberi tenggat waktu untuk bertobat. Jika mereka menolak dan tetap dalam pendiriannya barulah mereka diperangi.

3. Kelompok-kelompok pemikiran maupun politik yang membangkang (bughat), melakukan tindak kerusakan (hirâbah), memecah-belah persatuan dan kesatuan jamaah kaum Muslim, atau melakukan persekongkolan dengan kafir harbi. Mereka ini akan ditindak dan diperlakukan sesuai dengan ketentuan syariah Islam atas pelanggaran yang mereka lakukan.

4. Selain menegakkan sanksi yang tegas atas kelompok-kelompok yang hendak merusak kesatuan kaum Muslim dan instabilitas negara, Khilafah juga melakukan upaya-upaya edukasi yang terus-menerus mengenai pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan kaum Muslim serta meninggalkan fanatisme kelompok yang berlebihan.

Kebijakan-kebijakan di atas telah dipraktikkan oleh para khalifah pada masa keemasan Islam. Misalnya, terhadap kelompok Khawarij, Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. tidak melarang mereka shalat di masjid. Mereka juga diberi bagian rampasan perang sebagaimana kaum Muslim yang lain. Beliau juga tidak melancarkan peperangan terhadap mereka, kecuali jika mereka menyerang terlebih dulu. Ketika kelompok Khawarij kalah dalam peperangan, mereka tidak dikejar-kejar untuk dibinasakan. Mereka dibiarkan kembali ke rumah masing-masing, mendapatkan perlakuan layaknya kaum Muslim dan tetap mendapatkan keamanan dari beliau.5

Sikap seperti ini juga ditempuh oleh Umar bin Abdul Aziz terhadap kelompok Khawarij pada masanya. Beliau berdiskusi dengan mereka untuk memahamkan dan menasihati mereka agar kembali kepada jalan yang benar. Saat mereka menolak serta melakukan pembangkangan barulah beliau mengirim pasukan perang.6

Pada masa Kekhilafahan Bani Umayah, tepatnya pada masa pemerintahan Mughirah bin Syu’bah, beliau tidak menggunakan kekuatan militer karena adanya perbedaan pendapat di tengah-tengah masyarakat. Jika ada orang berkata kepadanya bahwa seseorang beraliran Syiah atau Khawarij, ia pun menjawab, “Allah membiarkan mereka saling berbeda dan Allah pun akan menghukumi para hambanya yang bersalah.”7 Namun, ketika kelompok Khawarij bergerak di Kufah, membuat kerusakan dan mengobarkan pembangkangan, beliau pun bersiap memerangi mereka.8

Kebijakan serupa juga ditempuh oleh para khalifah dari Bani Abbasiyah. Khalifah al-Muktafi pernah berkirim surat kepada Abu Said al-Janabi (seorang panglima perang dari Syiah Qaramithah) yang berisi penjelasan mengenai kesesatan kelompok mereka dan ajakan untuk menghilangkan perpecahan di antara umat Islam. Khalifah Malik Syah juga pernah mengirim surat kepada kelompok Ismailiyah untuk mengajak mereka kembali pada ajaran Islam yang benar.

Akhirnya, dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesatuan dan persatuan kaum Muslim hanya bisa ditegakkan secara hakiki jika di tengah-tengah mereka ada khalifah (Khilafah) yang mengatur urusan mereka dengan syariah Islam. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

Catatan kaki:

1 Untuk literatur Syiah, bisa dibaca karya-karya Imam al-Kasyi, an-Nubakhti dan lain-lain. Untuk literatur Sunni dapat dibaca karya Imam ath-Thabari dan lain sebagainya. Lihat: Imam al-Kasyi, Rijâl al-Kasyi, hlm. 100-101; Imam atth-Thabari, Târîkh al-Mulûk wa al-Umam, V/90.

2 Lihat: an-Nubakhti, Firqah aasy-Syî’ah, hlm. 43-44, Cet. Haidariyyah, Najaf, Iraq, 1959.

3 Tarikh Syi’ah, Rawdhah ash-Shafâ, II/292.

4 Dr Amir An Najjar, Al-Khawârij: ‘Aqîdat[an] wa Fikr[an] wa Falsafat[an] (Aliran Khawarij; Mengungkap Akar Perselisihan Umat [Terjemahan]), Penerbit Lentera, 1993, Jakarta.

5 Lihat: Ibnu Atsir, Al-Kâmil, III/169 dan 173; Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatawa, XXVIII/468.

6 Lihat diskusi antara Umar bin Abdul Aziz dengan mereka dalam Ibnu Atsir, Al-Kâmil, IV/155-156. Pada masa Abu Bakar ra., beliau bertindak tegas terhadap kelompok yang menolak pensyariatan zakat serta kaum murtad yang bermunculan di jazirah Arab. Sebagaimana ketentuan syariah, orang-orang yang murtad dari Islam harus dinasehati dan diberi tenggat waktu untuk bertobat (kembali pada Islam); mereka baru diperangi jika setelah itu mereka masih tetap membangkang.

7 Ibnu Atsir, Al-Kâmil, III/210.

8 Ibid, III/212.

Kedudukan Syi'ah di Tengah-Tengah Umat Islam

Kedudukan Syi'ah di Tengah-Tengah Umat Islam

Pasca Revolusi Iran, kaum syi'ah banyak menganut golongan Itsna'asyariyyah. yaitu sekte terbesar syi'ah yang eksis sampai saat ini. menyusul setelahnya Isma'iliyyah dan Yazidiyyah.
A. Pengertian Syî’ah Secara Umum
Syî’ah: asalnya adalah mereka yang mendukung Ali bin Abi Thalib ra, kemudian menjadi kelompok tersendiri diantara kelompok-kelompok kaum muslimin, dengan keyakinan bahwa khilafah adalah hak Ali bin Abi Thalib ra dan para keturunannya, kemudian mereka terbagi menjadi banyak kelompok dimana setiap kelompok memiliki paham-paham yang khas, yang dengannya mereka berbeda dari paham Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.[1]

B. Sejarah Kemunculan
Kelompok Syî’ah terbentuk setelah rentetan peristiwa sejak akhir masa kekhilafahan ‘Utsman bin Affan ra. sampai khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Semuanya bermuara pada sosok bernama Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang mengaku muslim, meninggal tahun 40 H. Dia melakukan makar jahat di masa khalifah ‘Utsman, memutus hubungan kaum muslim Kufah, Bashrah, dan Mesir dengan pemimpin mereka, menggunakan politik belah bambu, mengangkat Sahabat Ali bin Abi Thalib ra. dan menjatuhkan sahabat lain (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman ra.). Dengan meyebarkan beberapa ajaran menyesatkan, diantaranya: (a) bahwa Nabi Muhammad saw bisa dan akan kembali sebagaimana Nabi Isa as., (b) bahwa Ali bin Abi Thalib ra adalah wasiat Nabi saw sebagai khalifah setelah beliau, dan (c) mencela Abu Bakar, ‘Umar bin Khaththab, dan ‘Utsman bin ‘Affan ra. karana dianggap telah merampas hak khilafah dari Ali bin Abi Thalib ra. Hingga kemudian terjadi peristiwa pengepungan dan pembunuhan terhadap Khalifah ‘Utsman pada tahun 35 H[2]. Setelah itu, muncullah dua kubu: Syi’ah ‘Utsmaniyyah dan Syi’ah ‘Alawiyyah[3]. Dua kubu besar ini berakhir dengan kemenangan di kubu ‘Utsman, ditandai dengan kekuasaan yang berada di tangan Mu’awiyah. Sedangkan kubu Ali terpecah lagi menjadi dua: pendukung Ali dan Khawarij (penentangnya saat peristiwa tahkim). Pendukung Ali pun ada dua macam, yang adil dari kalangan keturunannya dan sahabat Nabi, mereka diterima periwayatannya, dan al-ghulat (yang berlebihan) dari orang-orang yang tercemari paham bawaan Abdullah bin Saba’[4]. Macam kedua ini lah yang dikemudian hari bernama Syi’ah, dan terpecah lagi menjadi banyak kelompok dan turun-temurun sampai saat ini.

C. Macam-macam kelompok Syî’ah
Menurut Imam Abu Manshur Al-Baghdadi (w. 429 H) dalam Al-Farq bayna Al-Firaq, Syî’ah terbagi menjadi 20 kelompok, masing-masing kelompok merupakan cabang dari tiga kelompok besar berikut.
1. Al-Kaisaniyyah, oleh Al-Mukhtar bin Abu ‘Ubaid Ats-Tsaqafi (m. 67 H).
(Al-Harbiyyah dan Al-Bayaniyya)
2. Az-Zaidiyyah, oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain ra (w. 122 H).
(Al-Jarudiyyah, As-Sulaimaniyyah, dan Ash-Shalihiyyah)
3. Ar-Rafidhah/Al-Imamiyyah, oleh Abdullah bin Saba’ (m. 40 H).
(Al-Kamiliyyah, Al-Muhammadiyyah, Al-Baqiriyyah, An-Nawusiyyah, Asy-Syumaithiyyah, Al-‘Ammariyyah, Al-Ismai’iliyyah/Al-Bathiniyyah, Al-Mubarakiyyah, Al-Musawiyyah, Al-Qathi’iyyah, Al-Itsna’asyariyyah, Al-Hisyamiyyah, Az-Zarariyyah, Al-Yunusiyyah, dan Asy-Syaithaniyyah).
Asy-Syahrastani (w. 548 H) dalam Al-Milal wa An-Nihal, menyebutkan secara tersendiri kelompok-kelompok Syi’ah yang melampaui batas dengan sebutan: Al-Ghaliyyah[5] (mereka adalah: As-Sabaiyyah, Al-Kamiliyyah, Al-‘Ilya’iyyah, Al-Mughiriyyah, Al-Manshuriyyah, Al-Khaththabiyyah, Al-Kayyaliyyah, Al-Hisyamiyyah, An-Nu’maniyyah, Al-Yunusiyyah, dan An-Nashiriyyah), dan Al-Isma’iliyyah atau lebih dikenal dengan Al-Bathiniyyah.

D. Diantara Ajaran Pokok Syî’ah dan Perbedaannya dengan Ahlussunnah
1. Sumber Syari’at
Syi’ah: Al-Qur’an telah mengalami distorsi kecuali mushhaf Ali[6], hanya menerima Al-Hadits yang diriwayatkan ahlul-bayt[7], hanya mengakui Ijma’ ahlul-bayt [8], fatwa para Imam ma’shum[9], dan tidak mengakui qiyas. Ahlussunnah: Al-Qur’an yang ada adalah asli, mengakui hadits yang diriwayatkan semua sahabat[10], mengakui ijma’ sahabat, tidak mengakui fatwa Imam yang dianggap ma’shum, dan mengakui qiyas.
2. Al-Imâmah
Syi’ah: keberadaan Imam adalah wajib dan masuk dalam wilayah keimanan, diangkat berdasarkan nash atau wasiat Imam sebelumnya[11]. Ahlussunnah: keberadaan Imam adalah wajib namun masuk wilayah syari’ah, dan pengangkatannya dengan metode bai’at.
3. Al-‘Ishmah
Syi’ah: para Imam adalah ma’shum terbebas dari kesalahan dan dosa[12]. Ahlussunnah: sifat al-‘ishmah hanya dimiliki oleh para Nabi dan Rasul.

E. Pandangan HT terhadap Syî’ah
“Adapun Syî’ah, pertentangannya dengan ushul Syafi’i amat besar. Mereka telah menjadikan (menganggap) seluruh perkataan Imam (mereka) sebagai dalil syara’, sama seperti al-Kitab dan Sunnah. Paling tidak perkataan-perkataan para Imam dianggap sebagai hujjah setelah hujjah al-Kitab dan Sunnah. Mereka menjadikan perkataan para Imam sebagai takhsish terhadap Sunnah. … Syî’ah Imamiyah meletakkan Imam-imam mereka sejajar dengan Sunnah. Dan ijtihad menurut mereka terkait dengan mazhab, sehingga tidak boleh seorang mujtahid bertentangan pendapat-pendapat mazhabnya. Artinya seorang mujtahid tidak boleh berijtihad dengan sesuatu yang bertentangan dengan perkataan-perkataan seorang Imam yang shadiq (benar). Dan mereka menolak hadits kecuali yang melalui jalur para Imam mereka. Mereka juga tidak mengambil qiyas. Imam-imam mereka sepakat sebagaimana yang mereka riwayatkan dalam kitab-kitabnya bahwa syariat apabila diqiyaskan akan melenyapkan agama.”[13]
“Kemudian muncul kelompok lain dari kaum Muslim yang menyukai Ali bin Abi Thalib ra dan mencintai keturunannya. Mereka menganggap bahwa Ali beserta keturunannya lebih berhak memegang kekhilafahan dari pada yang lainnya. Ali adalah orang yang diberi wasiat oleh Rasul untuk menjadi Khalifah setelah beliau. Mereka menolak banyak hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh jumhur sahabat. Mereka tidak menyandarkan kepada pendapat-pendapat dan fatwa para sahabat. Mereka hanya bersandar kepada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam-imam mereka dari ahlul bait dan fatwa-fatwa yang bersumber dari mereka. Mereka memiliki fiqih tersendiri. Mereka ini adalah kaum Syî’ah.” [14]
Dua maqâlah Syaikh Taqyuddin di atas, yang pertama menerangkan Syi’ah sebagai madzhab fiqh, dan kedua sebagai kelompok politik. Beliau juga mengkritik nash-nash yang digunakan Syi’ah dalam penetapan Imam sepeninggal Nabi saw[15], dan dalam menetapkan sumber-sumber hukum syara’[16]. Dari sisi akidah, dalam kitab Muqaddimah Ad-Dustur, Syaikh Taqyuddin menyebutkan kelompok Syi’ah Ad-Duruz sebagai kafir[17], dan dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum menyebut kelompok Syi’ah yang menuhankan Ali sebagai kafir.
“Adapun individu-individu atau kelompok-kelompok yang awalnya berislam kemudian mereka murtad, dan mereka ada sampai saat ini, maka dilihat terlebih dahulu fakta keberadaan mereka yang ada. Apabila mereka dilahirkan oleh murtad dan bukan kemauan mereka sendiri (untuk murtad), melainkan orang-tua atau nenekmoyang mereka yang murtad, seperti golongan Syi’ah Ad-Duruz, pengikut Al-Bahaiyyah, Al-Ismailiyyah, An-Nashiriyyah, yang menuhankan Ali bin Abi Thalib, maka mereka tidak diperlakukan sebagai murtad, akan tetapi mereka diperlakukan sebagaimana perlakuan terhadap Majusi dan Shabi’ah. Ditarik dari mereka jizyah, sembelihan mereka tidak dimakan, wanita-wanita mereka tidak dinikahi, kecuali jika mereka mau memperbaharui keislaman mereka, dan mengulangi masuk Islam, maka berlaku bagi mereka hukum terhadap kaum muslimin.”[18]
F. Batasan Millah Islamiyyah
Imam Abu Manshur Al-Baghdadi (w. 429 H): “Dan pendapat yang benar menurut kami, bahwa Umat Islam adalah sekumpulan mereka yang menetapkan adanya penciptaan alam, ke-esa-an penciptanya, ke-qadiman-Nya, sifat-sifat-Nya, keadilan-Nya, kebijaksanaan-Nya, menafikan penyerupaan terhadap-Nya, mengakui kenabian Muhammad dan kerasulan Beliau untuk semua manusia, mendukung syariatnya dan bahwa semua yang dibawanya adalah kebenaran, al-qur’an adalah sumber hukum syara’, dan bahwa ka’bah adalah kiblat shalat. Maka siapa saja yang menetapkan hal itu semua dan tidak mencampurkan bid’ah yang bisa mengantarkan pada kekufuran maka ia adalah orang sunni yang bertauhid. Dan apabila ditambahkan ke dalam perkataan-perkataan tersebut apa yang kami sebut sebagai bid’ah yang buruk, maka dilihat terlebih dahulu. Jika berupa bid’ah al-bathiniyyah, al-bayaniyyah, al-mughirah, atau al-khaththabiyyah yang meyakini ketuhanan para imam atau ketuhanan sebagian imam mereka, atau berupa madzhab al-hulul, penganut reinkarnasi, atau berupa madzhab al-maymunah dari kalangan khawarij yang membolehkan menikahi cucu perempuan dari anak perempuan dan cucu perempuan dari anak laki-laki, atau berupa madzhab al-yaziidiyyah dari al-ibaadhiyyah mengenai perkataannya bahwa syari’at islam dihapus di akhir zaman, menganggap mubah apa saja yang diharamkan dan mengharamkan apa saja yang dibolehkan oleh nash al-qur’an yang tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan ta’wil, maka dia bukan tergolong umat islam dan ia tidak memiliki kemuliaan. Adapun jika bid’ahnya termasuk jenis bid’ah al-mu’tazilah, al-khawarij, ar-rafidhah al-imaamiyyah, az-zaidiyyah, atau bid’ah yang termasuk pada bid’ah al-bukhariyyah, al-jahmiyyah, adh-dhirariyyah, al-mujassimah maka dia masih tergolong umat islam pada sebagian hukum, dan dia boleh dikuburkan di pemakaman kaum muslimin dan tidak dihalangi bagiannya dari harta fai dan ghanimah jika ia berperang bersama kaum muslimin, dia tidak dilarang shalat di masjid-masjid. Namun dia tidak termasuk golongan kaum muslimin dalam hukum-hukum selain itu, yaitu dia tidak boleh dishalati, tidak boleh menjadi makmumnya, tidak halal hewan sembelihannya, tidak boleh menikahi wanita sunniyyah, demikian juga tidak halal bagi laki-laki sunni menikahi wanita dari kalangan mereka jika wanita-wanita itu masih dengan keyakinan mereka. Ali bin Abi Thalib ra. telah berkata kepada kaum khawarij, “Atas kami bagi kalian ada tiga hal, yaitu kami tidak akan memulai perang melawan kalian, kami tidak akan melarang kalian memasuki masjid-masjid Allah untuk berdzikir menyebut nama Allah, dan kami tidak akan menghalangi kalian dari harta fai selama kalian berjuang bersama kami”. Wallahu a’lam”.[19]

G. Kesimpulan
Berdasarkan riwayat, sejarah, dan fakta di atas, maka penyikapan terhadap Syi’ah adalah sebagai berikut.
1. Secara individu, perlakuan terhadap penganut Syî’ah adalah perlakuan terhadap mubtadi’ (pelaku bid’ah) sebagaimana halnya penganut mu’tazilah dan khawarij, berdasarkan Al-An’am [6]: 68. Imam Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan dalam kitab tafsirnya: “Di dalam ayat ini terdapat pesan yang sangat agung bagi siapa yang membolehkan bergaul dengan ahli bid’ah yang mendistorsi firman Allah, mempermainkan kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya, menundukkannya pada hawa nafsu mereka yang sesat dan bid’ah mereka yang rusak. Jika dia tidak mampu mengingkari dan mengubah apa yang ada pada mereka, maka paling tidak dia meninggalkan bergaul dengan mereka, dan itu mudah baginya tidak sulit.”[20]
2. Sebagai rakyat Negara Khilafah, mereka diperlakukan layaknya umat Islam lainnya, tidak dipungut dari mereka jizyah, mendapat bagian dari fay’ dan ghanimah jika ikut berperang bersama kaum muslimin yang lain. Sebagaimana Imam Ali bin Abi Thalib ra memperlakukan Al-Haruriyyah pada masa pemerintahan beliau.
3. Sebagian golongan Syî’ah yang penyimpangannya menjadikan mereka keluar dari Islam. Seperti; yang menganggap Ali bin Abi Thalib ra sebagai tuhan, menganggap Syari’at Islam telah dihapus, malaikat jibril “salah orang” dalam menyampaikan wahyu, dll, maka mereka dihukumi kafir/murtad oleh Negara, sikap serupa juga terhadap Ahmadiyah, Ingkar Sunnah, dll. Hal ini sebagaimana sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq ra terhadap mereka yang murtad sebab menolak kewajiban Zakat sepeningga Nabi saw[21].
WaLlâhu ta’âlâ a’lam []

------------------------------------------------
[1] Prof. Dr. Rowwas Qol’ahji, Mu’jam Lughatil Fuqaha, hlm 268

[2] Lihat Ibn Al-Atsir (w. 630 H), Al-Kamil fi At-Tarikh, vol II, hlm 8

[3] Syi’ah di sini belum berupa kelompok, melainkan sebatas pendukung. Masing-masing kubu didukung sejumlah sahabat, misalnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Aisyah, Thalhah bin ‘Ubaidillah, dan Zubair bin ‘Awwam di kubu ‘Utsman, sedangkan Abu Dzar Al-Ghifari, Miqdad bin Aswad, Jabir bin Abdillah, ‘Ubay bin Ka’ab, dan Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah di kubu ‘Ali.

[4] Dari Abu Hibrah berkata: aku mendengar Ali bin Abi Thalib berkata: “dua macam orang akan binasa, yang berlebihan dalam mencintaiku dan berlebihan dalam membenciku.” (mushannaf Ibn Abi Syaibah, vol XII, hlm 84).

[5] Penyimpangan kelompok-kelompok ini berkisar seputar; pengakuan At-Tasybih (penyerupaan tuhan), Al-Bida’ (perubahan ilmu Allah), Ar-Raj’ah (kebangkitan sebelum kiamat), dan At-Tanasukh (reinkarnasi).

[6] Disebut juga mushhaf Fathimah yang tebalnya tiga kali tebal dari mushhaf ‘Utsmani, namun faktanya mushhaf tersebut tidak dijumpai. Mereka mengatakan mushhaf tersebut akan muncul bersama Al-Imam Al-Mahdi di akhir zaman. Untuk sementara boleh membaca dan mengamalkan isi Al-Qur’an yang ada sekarang.

[7] Sedangkan hadits yang diriwayatkan melalui jalan para sahabat Rasulullah saw (selain Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi), mereka sama sekali menolaknya. Berdasarkan riwayat dari Imam ke-enam mereka:
Dari Abu Ja’far: “seluruh kaum muslimin menjadi murtad setelah wafatnya Nabi saw, kecuali tiga orang.” Dikatakan kepadanya: siapa tiga orang tersebut?, dia menjawab: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” (Al-Kulaini, Al-Kafi, hlm 115)
Perlu diketahui juga bahwa kalangan Syi’ah Rafidhah sering memalsukan hadits.
Dari Hammad bin Abi Salamah, berkata kepadaku salah seorang Syaikh mereka –yakni kaum Ar-Rafidhah– yang telah bertaubat: “Jika kami sedang berkumpul dan menganggap baik sesuatu, maka kami menjadikannya sebagai hadits Nabi.” (Al-Jami’ li Akhlaq Ar-Rawi, vol I, hlm 138)

[8] Az-Zaidiyyah, karya Ash-Shahib bin ‘Abbad (w. 385 H), hlm 247. Syaikh Taqyuddin membantah dengan baik ijma’ macam ini dalam Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, vol III, hlm 300.

[9] Adapun wilayah ijtihad bagi syi’ah, tidak boleh dalam perkara yang menyelisihi fatwa Imam ma’shum. Sedangkan kelompok Zaidiyyah memandang boleh ijtihad bagi yang mampu, bagi yang tidak mampu maka mengikuti pendapat madzhab lebih utama.

[10] Imam Ibnu Abdil Barr: Jika tentang para sahabat Nabi ra. (sebagai rowi) maka kami cukupkan pembahasan terkait kondisi-kondisi mereka, dikarenakan ijma’ para ‘ulama daiantara kaum muslimin, mereka adalah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, bahwa mereka semuanya adil.” (Ibn Abdil Barr, Al-Isti’ab fi Ma’rifati Al-Ashhab, vol I, hlm 7)

[11] Jika tidak ada wasiat dari Imam sebelumnya, maka penetapan Imam berdasarkan bukti berupa khawariqul-‘adat (perkara-perkara luar-biasa/ajaib semacam mu’jizat), kecuali kelompok Zaidiyyah, mereka hanya mengakui metode bai’at.

[12] Berdasarkan keyakinan bahwa wahyu tidak putus sampai hari akhir dan bahwa Imam adalah penerus Rasulullah dalam menyampaikan ajaran Islam berdasarkan ilmu laduni. Namun perlu diketahui, bahwa keyakinan ini baru muncul di masa Ja’far Shadiq berdasarkan keterangan Ibnu Nadim (w. 438 H) dalam kitabnya Al-Fihrisit, hlm 239. Adapun Syi’ah Zaidiyyah tidak mengakui hal tersebut.

[13] Taqyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2003), vol I, hlm 362

[14] Ibid, vol I hlm 376

[15] Lihat Taqyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2003), vol II, hlm 35, 54-95

[16] Lihat Taqyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2005), vol III, hlm 64

[17] Lihat Taqyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur (thab’ah mu’tamadah – 2009), hlm 34. Penjelasan untuk pasal ke-7.

[18] Abdul Qadi Zallum, Amwal fi Daulah Al-Khilafah (thab’ah mu’tamadah – 2004), hlm 64.

[19] Abu Manshur Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq, hlm. 10

[20] Asy-Syaukani, Fath Al-Qadir, vol II, hlm 429

[21] Setiap kekufuran yang tampak setelah (keberadaan) daulah Islam maka tidak boleh ditarik jizyah dari pelakunya. (Al-farq baynal-Firaq, hlm 347).

Beginilah kaum syi'ah memperingati wafatnya Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau dibunuh seorang gubernur di masa Abu Mu'awiyah Yazid bin Mu'awiyah bin Abi Sufyan.
by Azizi Fathoni

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers

SEPUTAR RAMADHAN

TSAQOFAH ISLAM

FIKIH

HADITS

TAFSIR AL QUR'AN

NAFSIYAH

HIKMAH

NASYID

HIZBUT TAHRIR INDONESIA

AL-ISLAM

DAKWAH

ULAMA

SEJARAH

DOWNLOAD

ARTIKEL