Voice of Al Khilafah - Dalam hadis Rasulullah s.a.w. bersabda; “Setiap anak yang lahir adalah lahir dalam fitrah. Dua ibu-bapaknyalah yang menjadikannya yahudi atau nasrani atau majusi”. (Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.).
Maksud fitrah di dalam hadis di atas menurut ulama' ialah Islam. Hadis ini menjelaskan bahwa bayi yang lahir asalnya adalah Islam, cuma dengan pengaruh ibu/bapaknya maka ia berubah mengikut agama ibu/bapaknya. Maka jika ibu/bapaknya memeluk Islam, maka ia otomatik akan kembali kepada fitrahnya (Islam) dengan mengikuti ibu/bapaknya yang memeluk Islam.
Hadis di atas juga menjelaskan pengaruh ibu/bapak ke atas anak. Oleh itu, tidak harus mana-mana individu menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh isteri/suaminya yang bukan Islam kerana nanti anaknya itu akan dipengaruhi untuk menganut agama bukan Islam. Ia wajib memelihara masa depan agama anaknya dan kewajipan ini termasuk dalam arahan Allah;
“Wahai orang-orang beriman! Peliharalah diri kamu dan ahli keluarga kamu dari neraka” (at-Tahrim; 6)
Ibnu ‘Abbas (semasa kecilnya) tinggal bersama ibunya (yang Islam) berserta golongan mustadh’afin (yang menganut Islam) dan beliau tidak tinggal bersama bapaknya yang masih menganut agama kaumnya (yakni agama musyrik). Dan beliau (yakni Ibnu ‘Abbas) menegaskan;
“Islam adalah tinggi dan tidak ada yang boleh mengatasi ketinggian Islam”. (Soheh al-Bukhari, kitab al-Janaiz, bab Iza Aslama as-Sobiyyi Fa Ma-ta..).
Imam al-Khattabi menjelas; “Anak yang masih kecil jika ia berada di antara seorang muslim dan seorang bukan Islam , maka yang muslim lebih berhak terhadapnya” (Ibanatul-Ahkam Syarah Bulughul-Maram, jil. 3, kitab al-Hadhonah, hlm. 467).
Menurut jumhur ulama'; hak penjaaan anak (hadhonah) tidak harus diberikan kepada ibu/bapak yang tidak Islam karena hadhonah adalah wilayah (penguasaan) dan Allah tidak membenarkan penguasaan orang tidak Islam ke atas orang beriman (yakni orang beriman tidak harus perjalanan hidupnya dikuasai atau ditentukan oleh orang bukan islam ). Ini sebagaimana firman Allah;
“Allah tidak sekali-kali akan memberi jalan kepada orang-orang bukan Islam untuk membinasakan orang-orang yang beriman. (an-Nisa’; 141).
Ia sama seperti larangan wanita muslim dinikahi lelaki bukan Islam kerana perkawinan tersebut menyebabkan wanita muslim berada di bawah penguasaan orang bukan Islam .
Menyerahkan anak untuk dijaga dan diasuh oleh orang bukan Islam akan menimbulkan kebimbangan terhadap masa depan agama anak tersebut karena ibu atau bapak yang bukan Islam sudah tentu cenderung untuk mendidik anak itu agar mengikut agamanya apabila besar nanti.
KEUTAMAAN MENIKAHI JANDA SYUHADA
Dalam firmannya Alloh berfirman: ”Kalian sungguh sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu. Dan juga kalian sungguh sungguh akan mendengar ejekan yang menyakitkan hati dari orang orang ahli kitab sebelum kalian dan dari orang orang musrik. Jika kalian bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut di utamakan.”[Q.S.3:186]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya". [Ath-Thalaaq : 2-3]
Ada tiga golongan yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya (HR. Ahmad 2:251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majjah hadits nomor 2518, dan Hakim 2:160)
Nabi menikahi Zainab binti Khuzaimah (janda syuhada perang Uhud, Ubaidah al-Harits), demikian pula menikahi Ummu Habibah binti Abu Sufyan, Saudah binti Zum'ah janda dari As-Sukran bin Amral Al-Anshari yang menemui syahid keran menjadikan dirinya perisai hidup bagi Rasulullah di medan perang.
"Dan siapa yang menanggung keluarga orang yang sedang berjihad, maka ia telah ikut berjihad" HR Muslim
Beberapa tujuan mulia untuk menikahi Janda terutama janda syuhada adalah:
1. Menjaga Kehormatan
Artinya: Perumpamaan orang-orang mukmin yang saling mencintai dan saling menyayangi serta saling mengasihi adalah bagaikan satu tubuh, apabila sebagian anggota tubuh itu sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakit. (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw. bersabda, “Orang yang menyantuni janda dan yatim seperti mujahid di jalan Allah.”
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
, “Wanita itu dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah agamanya, (kalau tidak) engkau akan celaka.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulullah bersabda,”Siapa saja yang mendanai seorang pejuang untuk berjuang di jalan Allah, sudah melakukan jihad.” (Majma’ al Zawa’id).
Siapa saja dari kalian yang mengurus keluarga dan harta seorang mujahid akan menerima pahala setengah dari pahala berjihad (HR Muslim)
Mereka yang gugur syahid telah berjuang untuk Islam dan umat Islam. Mereka mengorbankan jiwa dan raga untuk saya dan untuk Anda. Itulah sebabnya keluarga para mujahidin gugur harus dilayani dan dihormati. Ketika Ja’far bin Abu Talib gugur dalam perang Mut’ah, Rasulullah saw berkata pada isteri-isterinya,”Siapkan makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka telah menunaikan urusan mereka”, kemudia Rasulullah datang ke rumah Ja’far. (HR Abu Dawud dan al-Tarmidzi).
Imam Ahmad meriwayatkan, ketika Rasulullah saw menerima kabar bahwa Ja’far gugur syahid, Rasulullah datang ke rumah Ja’far dan menyuruh isteri Ja’far agar memanggil anak-anaknya. Ketika anak-anak itu datang ke hadapan Rasulullah, Rasulullah saw memeluk dan mencium anak-anak Ja’far sambil meneteskan air mata. Asma, isteri Ja’far bertanya pada Rasulullah “apakah terjadi sesuatu?” Rasulullah berkata,” Ya, Ja’far gugur hari ini.” Asma berkata, ketika ia mendengar berita itu, ia menangis dan menjerit-jerit. Rasulullah pergi meninggalkannya dan meminta isteri-isterinya agar jangan lupa menyiapkan makanan untuk keluarga Ja’far karena keluarga Ja’far kesusahan karena urusan-urusannya.
Anak-anak para mujahid yang gugur membutuhkan para lelaki untuk menjaga dan mengurus mereka. Para istri mujahid yang gugur harus diberi kesempatan untuk menikah lagi, jika memang menginginkannya.Hal ini kata Awlaki, membutuhkan perubahan pada dua kebiasaan di kalangan umat Islam.
Umat Islam harus mengubah pandangan negatifnya terhadap kaum perempuan yang bercerai dan janda. Stigma negatif terhadap kaum perempuan yang bercerai atau menjadi janda harus dihapus dari komunitas Muslim. Kedua, bersikap lebih toleran dengan isu poligami. Karena ini menjadi kebutuhan, apalagi di saat terjadi peperangan. Pada masa sahabat Rasulullah, tidak ada perempuan yang dibiarkan tanpa suami.
Umar bin Khattab pernah mendengar salah seorang perempuan yang sedang mendendangkan syair-syair kerinduan. Sang Khalifah memperhatikan syair-syair yang didendangkan. Sampai pada akhirnya beliau bertanya kenapa ia menyanyikan lagu-lagu itu?
Ternyata, perempuan tersebut menjawab bahwa suaminya sudah beberapa lama ikut pasukan perang kaum muslimin di medan perang. Dan akhirnya Umar tahu bahwa ia merindukan sang suami yang sudah lama meninggalkannya. Sang Umar cepat-cepat tanggap dengan kondisi perempuan itu.
Ia segera bertanya kepada Aisyah anaknya, bagaimana sebenarnya perasaan seorang perempuan jika lama ditinggal suami? Dan kira-kira berapa batas waktu yang normal untuk ukuran seseorang meninggalkan pasangannya?
Awalnya sang anak malu-malu menjawab, tapi sebagai sosok teladan bagi umat, apalagi Aisyah adalah figur 'ummahatul mukminin', perempuan itu akhirnya memberi jawaban. Bahwa waktu empat bulan adalah jarak yang termasuk lama untuk menimbulkan sebuah rasa kerinduan.
Sejak itu, Umar memutuskan, jika memberangkatkan pasukan perang untuk berjihad, maka dalam waktu empat bulan sekali diadakan rukir, atau bergantian dengan tentara yang lain. Semua itu tentu saja untuk menghormati hak pribadi seorang anak manusia.
Demikian pula syariat Allah yang Maha Mulia telah memberikan tuntutannya hakikat menjaga kehormatannya “Arti : Kepada orang-orang yg meng-ilaa’ istri diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kpd istrinya), maka sesungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Baqarah : 226]
Demikian pula seorang janda yang memiliki anak-anak yang belum dewasa (sehingga menjadikan anak-anaknya sebagai mahram), maka hal tersebut lebih utama. Sabda Rasul saw, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki masuk menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Keluarlah bersama istrimu (menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini oleh Muslim dan Ahmad)
Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak-anak (laki-laki) bisa dijadikan mahram?” Beliau menjawab : “Tidak, hingga ia mencapai usia baligh karena ia belum dapat mengurus dirinya sendiri maka bagaimana ia dipercaya keluar mengantar seorang wanita. Hal itu karena mahram berfungsi sebagai penjaga bagi wanita tersebut dan ini tidak didapatkan kecuali dari orang yang baligh dan berakal.”
Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi mengomentari pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa ucapan yang mengatakan disyaratkannya lelaki yang baligh dan berakal sebagai mahram bagi wanita di dalam safar, alangkah baiknya jika disempurnakan dengan menambahkan syarat berikutnya yaitu memiliki bashirah (ilmu dien), sehingga jadilah syarat itu : Baligh, berakal, dan memiliki bashirah. (Untuk pembahasan lebih lanjut tentang mahram, lihat Salafy Muslimah edisi XIV dalam Rubrik Kajian Kali Ini).
2. Menjaga Aqidah dan Semangat Jihad anak syuhada
musuh musuh Allah dari golongan kafir dan munafiqin senantiasa menganggap hina dan remeh perjuangan mujahidin di seluruh dunia. Merontokkan semangat dan pemahaman ummat akan Syariah dan Jihad, dan memberikan label yang buruk terhadap gelar para mujahid dan syuhada.
Syaikh Anwar al Awlaki dalam Risalah Mendukung Mujahidin poin ke 30 mengungkapkan bahwa Meski jihad berhubungan dengan masalah fisik yang menjadi domain kaum pria, kaum perempuan juga perlu menjalankan “kehidupan para mujahidin” seperti yang dijalani suami-suami mereka.
Para istri harus memberikan dukungan bagi suami yang akan pergi berjihad, bersyukur jika sang suami mati syahid dan bersabar jika suaminya menjadi tawanan perang. Seorang perempuan yang berjihad posisinya sama dengan perempuan dari kaum Ansor. Kaum perempuan itu melihat bagaimana Islam mengambil ayah, saudara lelaki, suami dan anak-anak lelaki mereka, tapi kaum perempuan itu tetap membuka pintu-pintu rumah mereka untuk para mujahidin, mengorbankan harta mereka untuk para mujahidin, karena mereka tahu pahala yang mereka dapatkan dari tindakan mereka.
Anak anak syuhada adalah penerus perjuangan orangtuanya, selayaknyalah aqidah dan semangat jihad (tarbiyah jihadiyyahnya) terjaga. Dimotivasi dalam keseharian dan dididik untuk meraih gelar terbaik dari Robbul semesta 'alam. Bagaimana khansa binti amr mampu menorehkan sejarah sebagai Ibu para syuhada. "Wahai anak-anakku, bila kalian bangun di esok hari dalam keadaan selamat Insya Allah, maka bersiaplah untuk memerangi musuh-musuh kalian, minta tolonglah kepada Allah dalam menghadapi mereka. Apabila kalian lihat api peperangan telah berkobar dan telah menyala maka bertarunglah dengan gigih supaya kalian mendapat kemenangan dan kemuliaan syurga yang kekal".
Maka keesokan harinya, dengan berbekal iman, tawakkal dan bersemangat yang keempat putra Khansa' bersegera maju ke medan laga. Dengan keberanian seorang mujahid fii sabilillah, mereka pantang mundur sedikitpun dalam menghadapi musuh.
Dengan pertolongan Allah Ta'ala, kaum muslimin berhasil memukul mundur tentara Parsi yang berjumlah besar. Namun keempat putra khansa' semuanya gugur, tatkala menghadapi musuh. Sampailah berita duka itu kepada ibu mukminah yang sabar ini. Namun tidaklah ia meratap dan menyesali diri, sebagaimana dulu dilakukannya sebelum Islam tatkala melepas saudara laki-lakinya yang terbunuh di medan perang. Yang terucap lirih dari lisannya hanyalah perkataan yang menggambarkan betapa kuatnya keyakinan pada Rabbnya dan betapa tabahnya dirinya.
"Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan aku dengan syahidnya mereka dan aku harap dari Rabbku agar mengumpulkan aku dengan mereka kelak di tempat rahmat-Nya yang kekal".
3. Menjaga generasi mulia / generasi mujahid
Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudriy, bahawasanya ia berkata:
“Rasulullah SAW ditanya, siapakah orang yang mulia (utama)? Beliau menjawab, “Seorang laki-laki yang berjihad di jalan Allah.” [HR Bukhari]
Hadis ini dengan sarih (jelas) telah menjelaskan kepada kita, bahawa orang yang berjihad di jalan Allah menduduki tempat yang utama. Kaum salaf al-soleh sangat memuliakan orang-orang yang dimuliakan Allah SWT. Mereka berlumba-lumba untuk memuliakan dan menghormati orang yang berjihad di jalan Allah. Di dalam kitab al-Sair al-Kabiir dituturkan sebuah riwayat dari Mujahid (beliau adalah seorang tabi’in dan termasuk muridnya Ibnu Umar), bahawasanya ia (Mujahid) berkata, “Saya hendak pergi berjihad”. Mendengar ini, Ibnu Umar segera menuntun kudaku!! Aku pun melarang dirinya melakukan hal itu. Namun, ia berkata, “Apakah kamu tidak suka aku mendapatkan pahala? Sungguh, telah sampai berita kepada kami (Ibnu ‘Umar) bahawa orang yang membantu kaum Mujahid, maka kedudukannya diantara penduduk dunia tak ubahnya dengan kedudukan Malaikat Jibril di antara penduduk langit.” [al-Sair al-Kabiir, juz 1/30]
Maksud fitrah di dalam hadis di atas menurut ulama' ialah Islam. Hadis ini menjelaskan bahwa bayi yang lahir asalnya adalah Islam, cuma dengan pengaruh ibu/bapaknya maka ia berubah mengikut agama ibu/bapaknya. Maka jika ibu/bapaknya memeluk Islam, maka ia otomatik akan kembali kepada fitrahnya (Islam) dengan mengikuti ibu/bapaknya yang memeluk Islam.
Hadis di atas juga menjelaskan pengaruh ibu/bapak ke atas anak. Oleh itu, tidak harus mana-mana individu menyerahkan anaknya untuk diasuh oleh isteri/suaminya yang bukan Islam kerana nanti anaknya itu akan dipengaruhi untuk menganut agama bukan Islam. Ia wajib memelihara masa depan agama anaknya dan kewajipan ini termasuk dalam arahan Allah;
“Wahai orang-orang beriman! Peliharalah diri kamu dan ahli keluarga kamu dari neraka” (at-Tahrim; 6)
Ibnu ‘Abbas (semasa kecilnya) tinggal bersama ibunya (yang Islam) berserta golongan mustadh’afin (yang menganut Islam) dan beliau tidak tinggal bersama bapaknya yang masih menganut agama kaumnya (yakni agama musyrik). Dan beliau (yakni Ibnu ‘Abbas) menegaskan;
“Islam adalah tinggi dan tidak ada yang boleh mengatasi ketinggian Islam”. (Soheh al-Bukhari, kitab al-Janaiz, bab Iza Aslama as-Sobiyyi Fa Ma-ta..).
Imam al-Khattabi menjelas; “Anak yang masih kecil jika ia berada di antara seorang muslim dan seorang bukan Islam , maka yang muslim lebih berhak terhadapnya” (Ibanatul-Ahkam Syarah Bulughul-Maram, jil. 3, kitab al-Hadhonah, hlm. 467).
Menurut jumhur ulama'; hak penjaaan anak (hadhonah) tidak harus diberikan kepada ibu/bapak yang tidak Islam karena hadhonah adalah wilayah (penguasaan) dan Allah tidak membenarkan penguasaan orang tidak Islam ke atas orang beriman (yakni orang beriman tidak harus perjalanan hidupnya dikuasai atau ditentukan oleh orang bukan islam ). Ini sebagaimana firman Allah;
“Allah tidak sekali-kali akan memberi jalan kepada orang-orang bukan Islam untuk membinasakan orang-orang yang beriman. (an-Nisa’; 141).
Ia sama seperti larangan wanita muslim dinikahi lelaki bukan Islam kerana perkawinan tersebut menyebabkan wanita muslim berada di bawah penguasaan orang bukan Islam .
Menyerahkan anak untuk dijaga dan diasuh oleh orang bukan Islam akan menimbulkan kebimbangan terhadap masa depan agama anak tersebut karena ibu atau bapak yang bukan Islam sudah tentu cenderung untuk mendidik anak itu agar mengikut agamanya apabila besar nanti.
KEUTAMAAN MENIKAHI JANDA SYUHADA
Dalam firmannya Alloh berfirman: ”Kalian sungguh sungguh akan diuji terhadap harta dan dirimu. Dan juga kalian sungguh sungguh akan mendengar ejekan yang menyakitkan hati dari orang orang ahli kitab sebelum kalian dan dari orang orang musrik. Jika kalian bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut di utamakan.”[Q.S.3:186]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya". [Ath-Thalaaq : 2-3]
Ada tiga golongan yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya (HR. Ahmad 2:251, Nasaiy, Tirmidzi, Ibnu Majjah hadits nomor 2518, dan Hakim 2:160)
Nabi menikahi Zainab binti Khuzaimah (janda syuhada perang Uhud, Ubaidah al-Harits), demikian pula menikahi Ummu Habibah binti Abu Sufyan, Saudah binti Zum'ah janda dari As-Sukran bin Amral Al-Anshari yang menemui syahid keran menjadikan dirinya perisai hidup bagi Rasulullah di medan perang.
"Dan siapa yang menanggung keluarga orang yang sedang berjihad, maka ia telah ikut berjihad" HR Muslim
Beberapa tujuan mulia untuk menikahi Janda terutama janda syuhada adalah:
1. Menjaga Kehormatan
Artinya: Perumpamaan orang-orang mukmin yang saling mencintai dan saling menyayangi serta saling mengasihi adalah bagaikan satu tubuh, apabila sebagian anggota tubuh itu sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakit. (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw. bersabda, “Orang yang menyantuni janda dan yatim seperti mujahid di jalan Allah.”
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
, “Wanita itu dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah agamanya, (kalau tidak) engkau akan celaka.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulullah bersabda,”Siapa saja yang mendanai seorang pejuang untuk berjuang di jalan Allah, sudah melakukan jihad.” (Majma’ al Zawa’id).
Siapa saja dari kalian yang mengurus keluarga dan harta seorang mujahid akan menerima pahala setengah dari pahala berjihad (HR Muslim)
Mereka yang gugur syahid telah berjuang untuk Islam dan umat Islam. Mereka mengorbankan jiwa dan raga untuk saya dan untuk Anda. Itulah sebabnya keluarga para mujahidin gugur harus dilayani dan dihormati. Ketika Ja’far bin Abu Talib gugur dalam perang Mut’ah, Rasulullah saw berkata pada isteri-isterinya,”Siapkan makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka telah menunaikan urusan mereka”, kemudia Rasulullah datang ke rumah Ja’far. (HR Abu Dawud dan al-Tarmidzi).
Imam Ahmad meriwayatkan, ketika Rasulullah saw menerima kabar bahwa Ja’far gugur syahid, Rasulullah datang ke rumah Ja’far dan menyuruh isteri Ja’far agar memanggil anak-anaknya. Ketika anak-anak itu datang ke hadapan Rasulullah, Rasulullah saw memeluk dan mencium anak-anak Ja’far sambil meneteskan air mata. Asma, isteri Ja’far bertanya pada Rasulullah “apakah terjadi sesuatu?” Rasulullah berkata,” Ya, Ja’far gugur hari ini.” Asma berkata, ketika ia mendengar berita itu, ia menangis dan menjerit-jerit. Rasulullah pergi meninggalkannya dan meminta isteri-isterinya agar jangan lupa menyiapkan makanan untuk keluarga Ja’far karena keluarga Ja’far kesusahan karena urusan-urusannya.
Anak-anak para mujahid yang gugur membutuhkan para lelaki untuk menjaga dan mengurus mereka. Para istri mujahid yang gugur harus diberi kesempatan untuk menikah lagi, jika memang menginginkannya.Hal ini kata Awlaki, membutuhkan perubahan pada dua kebiasaan di kalangan umat Islam.
Umat Islam harus mengubah pandangan negatifnya terhadap kaum perempuan yang bercerai dan janda. Stigma negatif terhadap kaum perempuan yang bercerai atau menjadi janda harus dihapus dari komunitas Muslim. Kedua, bersikap lebih toleran dengan isu poligami. Karena ini menjadi kebutuhan, apalagi di saat terjadi peperangan. Pada masa sahabat Rasulullah, tidak ada perempuan yang dibiarkan tanpa suami.
Umar bin Khattab pernah mendengar salah seorang perempuan yang sedang mendendangkan syair-syair kerinduan. Sang Khalifah memperhatikan syair-syair yang didendangkan. Sampai pada akhirnya beliau bertanya kenapa ia menyanyikan lagu-lagu itu?
Ternyata, perempuan tersebut menjawab bahwa suaminya sudah beberapa lama ikut pasukan perang kaum muslimin di medan perang. Dan akhirnya Umar tahu bahwa ia merindukan sang suami yang sudah lama meninggalkannya. Sang Umar cepat-cepat tanggap dengan kondisi perempuan itu.
Ia segera bertanya kepada Aisyah anaknya, bagaimana sebenarnya perasaan seorang perempuan jika lama ditinggal suami? Dan kira-kira berapa batas waktu yang normal untuk ukuran seseorang meninggalkan pasangannya?
Awalnya sang anak malu-malu menjawab, tapi sebagai sosok teladan bagi umat, apalagi Aisyah adalah figur 'ummahatul mukminin', perempuan itu akhirnya memberi jawaban. Bahwa waktu empat bulan adalah jarak yang termasuk lama untuk menimbulkan sebuah rasa kerinduan.
Sejak itu, Umar memutuskan, jika memberangkatkan pasukan perang untuk berjihad, maka dalam waktu empat bulan sekali diadakan rukir, atau bergantian dengan tentara yang lain. Semua itu tentu saja untuk menghormati hak pribadi seorang anak manusia.
Demikian pula syariat Allah yang Maha Mulia telah memberikan tuntutannya hakikat menjaga kehormatannya “Arti : Kepada orang-orang yg meng-ilaa’ istri diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kpd istrinya), maka sesungguh Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Baqarah : 226]
Demikian pula seorang janda yang memiliki anak-anak yang belum dewasa (sehingga menjadikan anak-anaknya sebagai mahram), maka hal tersebut lebih utama. Sabda Rasul saw, “Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu malam yang tidak disertai mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Janganlah seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahramnya dan janganlah seorang laki-laki masuk menjumpainya kecuali disertai mahramnya.” Kemudian seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah ! Sungguh aku ingin keluar bersama pasukan ini dan itu sedangkan istriku ingin menunaikan haji.” Maka bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Keluarlah bersama istrimu (menunaikan haji).” (Dikeluarkan hadits ini oleh Muslim dan Ahmad)
Imam Ahmad pernah ditanya : “Apakah anak-anak (laki-laki) bisa dijadikan mahram?” Beliau menjawab : “Tidak, hingga ia mencapai usia baligh karena ia belum dapat mengurus dirinya sendiri maka bagaimana ia dipercaya keluar mengantar seorang wanita. Hal itu karena mahram berfungsi sebagai penjaga bagi wanita tersebut dan ini tidak didapatkan kecuali dari orang yang baligh dan berakal.”
Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi mengomentari pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa ucapan yang mengatakan disyaratkannya lelaki yang baligh dan berakal sebagai mahram bagi wanita di dalam safar, alangkah baiknya jika disempurnakan dengan menambahkan syarat berikutnya yaitu memiliki bashirah (ilmu dien), sehingga jadilah syarat itu : Baligh, berakal, dan memiliki bashirah. (Untuk pembahasan lebih lanjut tentang mahram, lihat Salafy Muslimah edisi XIV dalam Rubrik Kajian Kali Ini).
2. Menjaga Aqidah dan Semangat Jihad anak syuhada
musuh musuh Allah dari golongan kafir dan munafiqin senantiasa menganggap hina dan remeh perjuangan mujahidin di seluruh dunia. Merontokkan semangat dan pemahaman ummat akan Syariah dan Jihad, dan memberikan label yang buruk terhadap gelar para mujahid dan syuhada.
Syaikh Anwar al Awlaki dalam Risalah Mendukung Mujahidin poin ke 30 mengungkapkan bahwa Meski jihad berhubungan dengan masalah fisik yang menjadi domain kaum pria, kaum perempuan juga perlu menjalankan “kehidupan para mujahidin” seperti yang dijalani suami-suami mereka.
Para istri harus memberikan dukungan bagi suami yang akan pergi berjihad, bersyukur jika sang suami mati syahid dan bersabar jika suaminya menjadi tawanan perang. Seorang perempuan yang berjihad posisinya sama dengan perempuan dari kaum Ansor. Kaum perempuan itu melihat bagaimana Islam mengambil ayah, saudara lelaki, suami dan anak-anak lelaki mereka, tapi kaum perempuan itu tetap membuka pintu-pintu rumah mereka untuk para mujahidin, mengorbankan harta mereka untuk para mujahidin, karena mereka tahu pahala yang mereka dapatkan dari tindakan mereka.
Anak anak syuhada adalah penerus perjuangan orangtuanya, selayaknyalah aqidah dan semangat jihad (tarbiyah jihadiyyahnya) terjaga. Dimotivasi dalam keseharian dan dididik untuk meraih gelar terbaik dari Robbul semesta 'alam. Bagaimana khansa binti amr mampu menorehkan sejarah sebagai Ibu para syuhada. "Wahai anak-anakku, bila kalian bangun di esok hari dalam keadaan selamat Insya Allah, maka bersiaplah untuk memerangi musuh-musuh kalian, minta tolonglah kepada Allah dalam menghadapi mereka. Apabila kalian lihat api peperangan telah berkobar dan telah menyala maka bertarunglah dengan gigih supaya kalian mendapat kemenangan dan kemuliaan syurga yang kekal".
Maka keesokan harinya, dengan berbekal iman, tawakkal dan bersemangat yang keempat putra Khansa' bersegera maju ke medan laga. Dengan keberanian seorang mujahid fii sabilillah, mereka pantang mundur sedikitpun dalam menghadapi musuh.
Dengan pertolongan Allah Ta'ala, kaum muslimin berhasil memukul mundur tentara Parsi yang berjumlah besar. Namun keempat putra khansa' semuanya gugur, tatkala menghadapi musuh. Sampailah berita duka itu kepada ibu mukminah yang sabar ini. Namun tidaklah ia meratap dan menyesali diri, sebagaimana dulu dilakukannya sebelum Islam tatkala melepas saudara laki-lakinya yang terbunuh di medan perang. Yang terucap lirih dari lisannya hanyalah perkataan yang menggambarkan betapa kuatnya keyakinan pada Rabbnya dan betapa tabahnya dirinya.
"Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan aku dengan syahidnya mereka dan aku harap dari Rabbku agar mengumpulkan aku dengan mereka kelak di tempat rahmat-Nya yang kekal".
3. Menjaga generasi mulia / generasi mujahid
Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudriy, bahawasanya ia berkata:
“Rasulullah SAW ditanya, siapakah orang yang mulia (utama)? Beliau menjawab, “Seorang laki-laki yang berjihad di jalan Allah.” [HR Bukhari]
Hadis ini dengan sarih (jelas) telah menjelaskan kepada kita, bahawa orang yang berjihad di jalan Allah menduduki tempat yang utama. Kaum salaf al-soleh sangat memuliakan orang-orang yang dimuliakan Allah SWT. Mereka berlumba-lumba untuk memuliakan dan menghormati orang yang berjihad di jalan Allah. Di dalam kitab al-Sair al-Kabiir dituturkan sebuah riwayat dari Mujahid (beliau adalah seorang tabi’in dan termasuk muridnya Ibnu Umar), bahawasanya ia (Mujahid) berkata, “Saya hendak pergi berjihad”. Mendengar ini, Ibnu Umar segera menuntun kudaku!! Aku pun melarang dirinya melakukan hal itu. Namun, ia berkata, “Apakah kamu tidak suka aku mendapatkan pahala? Sungguh, telah sampai berita kepada kami (Ibnu ‘Umar) bahawa orang yang membantu kaum Mujahid, maka kedudukannya diantara penduduk dunia tak ubahnya dengan kedudukan Malaikat Jibril di antara penduduk langit.” [al-Sair al-Kabiir, juz 1/30]
Sumber: http://revolusidamai.multiply.com/journal/item/544