Voa-Khilafah.co.cc - Nunun Nurbaeti akhirnya ditangkap di Thailand pada tanggal 9/12 setelah berada di luar negeri sejak Februari 2010 silam. Nunun didakwa sebagai penyandang dana bagi 480 cek pelawat senilai total Rp 24 miliar yang ditebar ke tangan anggota DPR dalam proses pemilihan DGS (Dewan Gubernur Senior) BI Miranda S. Gultom. Dalam kasus ini 19 orang anggota DPR telah ditahan pada Januari 2011 silam. Saat ini sebagian dari mereka sudah selesai menjalani hukuman penjara. Namun hingga kini justru pemberi suap belum satu pun yang dihukum. Bisakah tertangkapnya Nunun itu memantik harapan pemberantasan korupsi di negeri ini?
Hanya Sandiwara
Harapan itu sayangnya tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Sebab praktek pemberantasan korupsi di negeri ini terlihat seperti sandiwara saja. Indikasinya:
Pertama, adanya kesan kuat tebang pilih. Contohnya, dalam kasus terkait Nunun ini. Yang diproses bahkan dihukum baru yang menerima suap. Itu pun tidak semua penerimanya diproses dan dihukum. Padahal kalau ada penerima suap, artinya ada yang menyuap. Bahkan pihak yang paling diuntungkan dalam kasus ini hingga kini juga belum diproses hukum. Kesan tebang pilih itu juga terjadi dalam banyak kasus korupsi lainnya.
Kedua, hanya simbolisasi. Banyak kasus korupsi yang tidak diungkap tuntas dan berhenti setelah sebagian yang terlibat diproses hukum. Contohnya kasus BLBI, Century, Gayus, dan banyak kasus lain. Seolah yang dilakukan hanya simbol bahwa kasus itu telah ditangani dan diproses hukum.
Ketiga, komitmen lemah. Jika korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa, mestinya juga mendapatkan perhatian yang luar biasa pula dan pelakunya pun semestiya mendapatkan hukuman yang tinggi. Faktanya, semua itu tidak terlihat. Buktinya, banyak pegawai muda memiliki rekening bernilai besar yang tidak wajar, meski sudah lama diketahui, tapi tidak ditindak malahan sebagian mendapat promosi dan mengisi pos-pos “basah”. Lemahnya komitmen itu juga terlihat dari vonis bagi koruptor yang sangat ringan kalau tidak boleh dikatakan main-main, bahkan tak sedikit yang divonis bebas. Data laporan tahun 2010, MA menyebutkan sebanyak 442 kasus korupsi telah diputus. Dari 90,27 persen koruptor yang divonis bersalah, tercatat 269 perkara atau 60,68 persen vonisnya antara 1 hingga 2 tahun. Sebanyak 28 perkara atau 6,33 persen hanya divonis dibawah 1 tahun. Dan tercatat ada 43 perkara atau 9,73 persen perkara korupsi yang terdakwanya dibebaskan.
Ketiga, sekadar wacana minus tindakan nyata. Semua pejabat dan politisi mengklaim ada di barisan terdepan pemberantasan korupsi. Nyatanya, ketika ada anak buahnya, temannya atau punggawa partainya melakukan korupsi, mereka pun ramai-ramai membelanya atau minimal lamban dan terkesan ogah-ogahan menindaknya.
Pesimisme pemberantasan korupsi di negeri ini makin diperbesar dengan adanya saling sandera diantara para pejabat dan politisi. Korupsi dilakukan secara berjamaah atau dibagi-bagi. Akibatnya jika salah satu terungkap, maka yang lain akan berusaha melindungi supaya tidak diseret.
Disamping itu, sistem politik demokrasi yang mahal, membutuhkan dana besar untuk membiayai proses politik. Biaya besar itu tidak sebanding dengan gaji dan perolehan sah. Dari mana lagi modal itu bisa dikembalikan jika tidak melalui korupsi, manipulasi dan kolusi? Karena itu sangat sulit -jika bukan mustahil-, pemberantasan korupsi yang sesungguhnya bisa dilakukan oleh orang-orang yang dihasilkan dari sistem politik seperti ini. Sulit atau bahkan mustahil pemberantasan korupsi akan terwujud dalam sistem politik demokrasi seperti ini.
Serius Memberantas Korupsi
Jika para pejabat dan politisi negeri ini serius memberantas korupsi maka hendaknya mereka memberi teladan tindakan yang nyata. Teladan itu bisa dimulai dari dirinya sendiri dan keluarganya. Jika memang memiliki komitmen, seharusnya mereka secara jujur mengumpulkan semua harta ghulul (diperoleh secara tidak sah) miliknya dan keluarganya, lalu dikembalikan ke kas negara. Sayangnya itu yang belum pernah terlihat dari para pejabat dan politisi negeri ini. Mereka baru mengembalikannya jika sudah kepepet, dan untuk pencitraan. Mereka hendaknya mencontoh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Begitu menjabat, beliau kembalikan semua harta yang diberikan oleh penguasa sebelumnya. Beliau pun menyuruh isterinya Fathimah untuk melakukan hal yang sama.
Jika para pejabat dan politisi itu serius memberantas korupsi, seharusnya mereka memberi contoh dengan menindak orang-orang dekat mereka yang terlibat dan bukan malah melindunginya. Hal itu seperti contoh khalifah Umar bin Khaththab ra yang menyita seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan di padang rumput milik Baitul Mal bersama unta zakat. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara. Sayangnya hal seperti itu tak terlihat dari para pejabat dan politisi di negeri ini.
Terkait proses pembuktian dalam kasus harta ghulul khalifah Umar bin Khaththab memberikan contoh yang progresif. Abdullah bin Umar menuturkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab memerintahkan pencatatan para penguasa daerah, diantaranya Sa’ad bin Abiy Waqash. Jika ada kelebihan kekayaan dari jumlah yang wajar, maka Umar membagi dua kelebihan harta mereka itu. Setengah untuk pejabat itu dan setengahnya disita dan dimasukkan ke dalam kas Baitul Mal (Al-Hafizh as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, hal 132).
Berbekal catatan itu, bisa dibuktikan adanya kelebihan harta yang tidak wajar. Jika terbukti adanya kelebihan harta yang tak wajar, pejabat itu harus membuktikan bahwa kelebihan harta itu diperoleh secara sah. Jika ia tidak bisa membuktikan, Umar menyita kelebihan harta itu, baik sebagian, separo atau seluruhnya. Proses pembuktian seperti itu dikenal saat ini sebagai proses pembuktian terbalik. Cara itu merupakan cara yang ampuh untuk memberantas korupsi dan kepemilikan harta ghulul serta menindak koruptor dan pejabat atau politisi korup. Jika cara seperti itu diterapkan maka tidak ada lagi keluhan bahwa aparat tidak bisa menindak karena tidak ada bukti yang cukup. Sebab aparat cukup membuktikan adanya kelebihan kekayaan yang tak wajar. Hal itu bisa dilakukan berdasarkan rekening, inventaris kekayaan, harta yang dimiliki, atau laporan kekayaan.
Jika memang serius memberantas korupsi, maka penerapan cara pembuktian seperti yang dilakukan Umar itu harus dilakukan. Sayangnya, hal itulah yang tidak terlihat. Sebaliknya, pembuktian terbalik justru dihilangkan dari draft RUU Tipikor waktu itu.
Proses seperti itu tidak hanya diterapkan pada diri pejabat, tetapi juga kepada orang-orang dekatnya. Umar bin Khaththab ra. pernah menyita harta Abu Bakrah ra. Tindakan Umar ra ini diprotes oleh Abu Bakrah. Dia berkata, “Aku tidak bekerja kepada anda”. Khalifah Umar menjawab, “Ya benar. Akan tetapi, saudaramu bekerja sebagai pengurus Baitul Mal dan bagi hasil tanah garapan di Ubullah (suatu tempat yang terletak di Bashrah, Iraq); dan ia meminjamkan uang dari Baitul Mal kepadamu untuk berdagang! Khalifah Umar ra lalu mengambil 10.000 dinar dan dibagi dua, dan Abu Bakrah. mengambil separohnya”(Syahid al-Mihrab, hal. 284). Begitupun Umar pernah menyita dari Abu Sufyan harta pemberian Muawiyah anaknya, yang menjabat gubernur di Syam.
Berikutnya, perlu diterapkan sanksi hukum yang memiliki efek jera. Koruptor sesuai sabda NAbi saw tidak dihukum potong tangan. Bentuk dan kadar sanksi korupsi dan sejenisnya tidak ditentukan oleh nash syariah. Sanksinya merupakan sanksi ta’zir yang bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Khalifah atau qadhi. Bentuknya bisa berupa penyitaan harta seperti yang dilakukan Umar bin Khaththab. Bisa juga dalam bentuk lain, seperti tasyhîr (diekspos), penjara, hingga hukuman mati . Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi koruptor adalah dijilid dan ditahan dalam waktu sangat lama (Ibn Abiy Syaibah Mushannaf Ibn Aby Syaibah, V/528). Zaid bin Tsabit menetapkan sanksinya an-nikâl yakni dikekang (penjara) atau hukuman yang bisa menjadi pelajaran bagi orang lain. Sedangkan Qatadah mengatakan hukumannya adalah dipenjara (Abd ar-Razaq,Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209).
Maka jika memang ada keseriusan dalam pemberantasan korupsi di negeri ini, setidaknya ketiga hal diatas harus dilakukan. Jika tidak, maka itu menjadi bukti sekaligus membenarkan bahwa pemberantasan korupsi yang ada hanya wacana tapi minus tindakan nyata, sekedar untuk pencitraan, untuk permainan politik dan yang jelas tidak ada komitmen, keseriusan dan kesungguhan.
Sebelum semua itu korupsi bisa dicegah dengan membina keimanan dan ketakwaan. Karena dengan itu orang akan takut melakukan korupsi karena takut azab di akhirat. Allah berfirman:
ۚ ÙˆَÙ…َÙ† ÙŠَغْÙ„ُÙ„ْ ÙŠَØ£ْتِ بِÙ…َا غَÙ„َّ ÙŠَÙˆْÙ…َ الْÙ‚ِÙŠَامَØ©ِ
Barangsiapa yang berbuat curang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya (QS. Ali Imran [3]: 161)
Lebih takut lagi karena ternyata harta ghulul itu tidak bisa dibersihkan dengan bersedekah. Sebab Nabi saw bersabda:
« لاَ ÙŠَÙ‚ْبَÙ„ُ اللهُ صَلاَØ©ً بِغَÙŠْرِ Ø·ُÙ‡ُÙˆْرٍ، Ùˆَلاَ صَدَÙ‚َØ©ً Ù…ِÙ†ْ غُÙ„ُÙˆْÙ„ٍ »
Allah tidak akan menerima shalat tanpa kesucian (bersuci) dan juga tidak menerima shadaqah dari harta haram (HR Muslim, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad)
Semua itu hanya bisa diwujudkan jika syariah diterapkan secara utuh. Karena itu, harapan besar terhadap pemberantasan korupsi seharusnya kita wujudkan dengan berjuang sungguh-sungguh untuk menerapkan syariah Islam secara total dalam bingkai Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
[Al Islam 585]Komentar
Sampai saat ini 70% sumur migas di Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan minyak dan gas (migas) asing, hanya 30% yang digarap oleh perusahaan lokal. Pemerintah berharap di tahun 2025 perusahaan migas lokal bisa mencapai 50%. (detikfinance.com, 8/12/2011).1. Tahun 2025 cadangan migas tinggal sisa-sisanya setelah habis disedot demi kesejahteraan asing. Itulah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal.2. Menurut syariah, bukan hanya 50% tapi harus 100% dikembalikan menjadi milik umum dan dikelola oleh negara mewakili rakyat dimana 100% hasilnya dikembalikan kepada rakyat.3. Selamatkan kekayaan milik umat dengan menerapkan Sistem Ekonomi Islam niscaya rakyat makmur dan sejahtera.