Proyek Deradikalisasi BNPT Kenapa Ditolak?

Oleh: Harits Abu Ulya(Pemerhati Kontra-Terorisme & Leader CIIA-The Community Of Ideological Islamic Analyst)
Dua tahun terakhir (2010-2011) BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) menjadi lembaga baru yang terlihat cukup sibuk menjalankan proyeknya. Sejak legal berdasarkan Perpres No 46 Tahun 2010 yang ditanda tangani Presiden-RI (SBY) pertanggal 16 Juli 2010, berbagai forum terbatas maupun untuk publik di gelar.
Agenda tersebut langsung di handle oleh BNPT atau dalam bentuk kerjasama (kemitraan) dengan berbagai elemen dari ormas Islam, MUI sampai lembaga-lembaga pengkajian, dan termasuk juga dengan individu-individu tertentu yang dibutuhkan oleh BNPT (Misal; memberi ruang yang cukup kepada Nasir Abbas mantan petinggi JI untuk menjadi narasumber diberbagai forum produk BNPT, begitu juga yang paling anyar memberi ruang kepada Khairul Gazhali terpidana kasus perampokan CIMB Medan untuk membuat produk tulisan dan membedahnya diluar Lapas/rutan).
Deradikalisasi adalah produk utama BNPT saat ini dan masa mendatang dalam rangka kontra-terorisme. Disamping masih membuka peluang langkah-langkah hard measuresakan dipertontonkan oleh Densus88 terhadap orang atau sekelompok individu yang di duga teroris. Namun dalam prespektif BNPT langkah counter ideologi adalah sebagai langkah tepat dan efektif untuk memberangus terorisme hingga ke akar-akarnya.
Namun disini, sepanjang penulis mengamati (monitoring) proyek deradikalisasi yang digelar BNPT ternyata kerap melahirkan respon penolakan baik dengan bahasa sopan hingga bahasa yang cukup keras dan tegas. Proyek BNPT dianggapnya sebagai langkah deklarasi permanen untuk memusuhi Islam. Dan BNPT seolah metamorfosa dari Kopkamtib pada masa rezim Orde Baru.
Penulis mencoba menelisik argumentasi; kenapa proyek deradikalisasi BNPT banyak mendapatkan penolakan? Atau apakah Deradikalisasi BNPT akan membawa maslahat atau mudzarat kepada umat Islam? Berangkat dari database saya tentang materi-materi yang disampaikan oleh BNPT (baik oleh Ansyad Mbai atau para pejabat, tokoh agama dan akademisi-intelektual yang dipakai oleh BNPT), saya mencoba mengeja dan menjawab dari soal diatas bahkan soal-soal derivatnya; kenapa proyek deradikalisasi BNPT dianggap upaya sistematis pendangkalan Akidah Islam, memecah belah umat dan mengamputasi gerakan Islam? dan gerakan deradikalisasi dipandang sebagai bentuk alat penjajahan baru kaum kuffar terhadap Islam?.
Dua Cacat Utama Proyek Deradikalisasi
Menurut kajian saya, muatan materi-materi dalam berbagai forum yang dipakai BNPT untuk mengkomunikasikan “Deradikalisasi” terlihat jelas dua kelemahan (cacat) mendasar yang menurut penulis menjadi pangkal penolakan bahkan melahirkan dampak (dzarar) lainya;
PertamaCacat Paradigmatik. Ketika BNPT mendedah akar (hulu) dari terorisme telah menempatkan ideologi radikal (kelompok radikal Islamis) sebagai penyebab utama (akar) suburnya tindakan dan fenomena terorisme. Ini cara pandang yang sangat over simplikasi, terlalu menyederhanakan masalah. Seolah-olah memang benar adanya, bahwa ideologi radikal (atau kelompok Islamis) adalah embrio terorisme di negeri ini. Padahal jika kita mau jujur dan obyektif ada faktor-faktor lain yang actual dan bahkan kita menemukan benang merahnya (relasi positif) dengan fenomena “terorisme”. Faktor tersebut adalah; kemiskinan (ekonomi), keterbelakangan (pendidikan), marginalisasi, sikap rezim demokrasi yang represif dan abai terhadap urusan rakyat, globalisasi, ketidakadilan dan yang terakhir adalah faktor imperialisme dan dominasi negara Amerika Serikat cs. Ini adalah hal aktual yang menjadi faktor stimulus lahirnya fenomena “terorisme” baik dalam skala global maupun domestic/lokal.Disamping itu juga ada faktor yang tidak boleh diabaikan begitu saja yakni adanya kemungkinan peran dan operasi intelijan lokal maupun asing sebagai “produsen” dari fenomena terorisme lokal.
Kemiskinan menjadi komponen mudahnya individu menjadi pribadi yang labil dan frustasi dalam ruang sosial. Dalam jumlah komunal akan menjadi “magma” yang kapan saja bisa meletup seperti halnya bara dalam sekam tinggal menunggu momentum dan pemicunya. Begitu juga keterbelakangan, ketidak adilan dan abainya peran pemerintah dalam urusan hajat asasi rakyat. Sangat mungkin mengakumulasi menjadi rasa frustasi dan dimanefestasikan dalam bentuk “pemberontakan” dalam berbagai ragam wajahnya. Dan yang perlu di catat dan tidak boleh dilupakan, bahwa imperialism dan dominasi negara Amerika Serikat dan sekutunya di dunia Islam (termasuk Indonesia) terlihat korelatif menjadi sebab dominan lahirnya faktor-faktor aktual diatas. Dengan penjajahan dibidang politik, ekonomi dan hukum melahirkan dunia Islam menjadi “kubangan neraka” bagi rakyatnya.Apalagi jika penjajahan fisik dilakukan oleh Amerika Serikat secara langsung seperti tragedy di Afghanist dan Iraq. Dalam konsep dasar BNPT justru faktor imperialism global inilah yang hendak di tutupi, justru cenderung memanipulasi dan mengkambinghitamkan “Islam Radikal” menjadi “tersangka” dari fenomena terorisme.Karenanya langkah BNPT bisa dibilang sibuk menyelesaikan akibat dan lupa kepada sebab (akar) persoalan.
Ada sebuah riset yang cukup menjadi indikator bahwa imperialism global yang dikomandani oleh Amerika Serikat adalah pemicu munculnya perlawanan-perlawanan yang kemudian oleh AS di labeli sebagai “teroris” dan dengan label itu pula AS secara culas memaksa dunia Islam melalui penguasanya harus memilih apakah di belakang barisan AS atau bersama teroris dengan mengumandangkan Global War On Terrorism (GWOT).
Riset Robert Pape (Univ Chicago) mencoba memetakan kasus 2200 bom bunuh diri. Didapatkan fakta volume; Era Tahun 80-2003:terjadi 300 kasus, dan era tahun 04—09:terjadi 1800 kasus bom bunuh diri. Lebih dari 90% seluruh dunia menunjukkan korelasi positif terkait anti AS. 90 % dilakukan oleh orang local dimana pendudukan Amerika berlangsung ditempat pelaku, dan 95% sebagai bentuk respon terhadap pendudukan asing. Meningkatnya volume kasus bom bunuh diri meningkat tajam antara tahun 2004-2009 sangat korelatif dengan invansi dan pendudukan (penjajahan AS di beberapa wilayah negeri Islam; Afghanistan dan Iraq).
Riset Universitas Maryland pada 26 Agustus-3 September 2003. (Republika, 11/9/2003). Dari survey itu 64% persen mengatakan kehadiran AS di Timur Tengah memicu adanya serangan sejenis. 77% mengatakan pamor AS di negera-negara Muslim merosot dan diyakini akan memperbesar rekrutmen kelompok teroris. Sekitar 54% memandang AS terlalu memaksakan kebijakan luar negerinya.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh PEW Research Centre pada akhir tahun 2002, ketidaksukaan terhadap AS meningkat di Amerika Latin sebagaiman juga di Timur Tengah. 81% warga Pakistan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kebijakan AS. Di Argentina, 73% menunjukkan hal yang sama. Di Mesir, hanya 6 persen yang sepakat dengan kebijakan Amerika.
Hasil riset diatas menurut penulis cukup akurat dan relevan dengan fakta dilapangan. Barat (AS) telah menjadi trouble maker dan episentrum distabilitas kehidupan ekonomi, politik dan keamanan di kawasan dunia Islam. Yang ini menjadi basis alasan kuat dan logis umat Islam “wajib” melakukan respon dengan cara yang mereka mampu.Cuma sekali lagi justru fakta-fakta ini hendak ditutupi dan justru kelompok Islamis (dengan cap kelompok Islam radikal-fundamentalis) menjadi kambing hitam. Adakah dalam catatan sejarah; umat Islam melakukan perlawanan tanpa ada sebab apapun?? Amerika Serikat dan negara-negara satelitnya dengan manipulatif dan culas melakukan propaganda dan perang opini menutupi fakta sebenarnya dengan tuduhan-tuduhan dusta terhadap Islam dan umatnya.
Dan point berikutnya, BNPT ketika membuat indikator dan definisi radikal juga bias dan sangat rawan perdebatan. Radikal dengan jelas telah menjadi label yang di sematkan kepada individu/kelompok muslim yang cara pandang serta sikap keberagamaan dan politik yang dianggap kontradiksi dengan mainstream (arus utama) yang ada.Persis halnya rumusan Barat, radikal di asosiasikan dengan mereka yang berbeda pandangan secara ekstrem dengan dunia Barat, jadi kelompok Islamis menjadi “terdakwa”. (time, ed 14 Sept 2004).
Pada point indikator ini terlihat, BNPT seperti memperagakan jurus mabuk dan menebar jaring laba-laba untuk menjangkau banyak pihak yang esensinya dianggap “kontra status quo” dari kalangan Islam. Misalkan BNPT membuat indikator radikal jika seseorang atau kelompok punya mindset antara lain seperti berikut:
  1. Menghakimi orang yang tidak sepadan dengan pemikirannya;kafir,
  2. Mengatasnamakan Tuhan, menghukum keyakinan yang berbeda; (Syafee Maarif – Ilusi Negara Tuhan),
  3. Gerakan mengubah negara bangsa, menjadi negara agama,
  4. Mengganti ideologi pancasila dengan Islam versi mereka,
  5. Mengganti NKRI dengan Khilafah,
  6. Klaim memahami kitab suci, karena berhak menjadi wakil Allah untuk memaki siapapun,
  7. Agama diubah jadi ideologi dan jadi senjata publik untuk serang padangan politik yang berbeda dari mereka (Gusdur – Ilusi Negara Islam).
  8. Memperjuangkan formalisasi syariah dalam Negara,
  9. Menganggap Amerika Serikat sebagai biang kezaliman global.Dan indikator-indikator ini sangat subyektif dan tendensius, akhirnya wajar kalau melahirkan banyak tanda tanya tentang apa motif sebenarnya dengan proyek deradikalisasi?.
Oleh karena itu menurut penulis ini adalah kesalahan paradimatik yang fatal dan disengaja.Dan karena “kesengajaan” itu akhirnya wajar melahirkan tafsiran bahwa proyek kontra-terorisme tidak lagi sekedar diarahkan terhadap individu atau kelompok yang disangka teroris dengan pendekatan hard power tapi juga akan diarahkan keranah pemikiran dan konsep terhadap siapapun yang bisa dicap radikal berdasarkan indikator yang secara gegabah juga telah di buat oleh BNPT.
Bahkan lebih jauh BNPT mencoba membuat asumsi tentang bahaya yang diakibatkan dari fenomena dan relasi Islam radikal-terorisme dengan eksistensi empat pilar bangsa Indonesia (NKRI, Pancasila, UUD 45, kebinekaan).Tentu ini bisa di katakan langkah tendensius, sebagai upaya mengalenasi kelompok Islamis yang dianggap ancaman potensial tehadap status quo yang loyal kepada sistem Barat (Demokrasi-Kapitalis).
Keduatahrif (penyimpangan) dan tadzlil (penyesatan) pada konsep turunan . Dalam berbagai forum yang digelar, BNPT berusahan menawarkan tafsiran-tafsiran baru terhadap teks-teks samawi. Karena selama ini pemahaman yang dianggap radikal terhadap teks-teks (nash) menjadi sumber lahirnya terorisme. Karena itu BNPT dalam perang pemikiran dan opini berusaha “mengkonstruksi” ulang beberapa pengertian terhadap terminologi-terminologi tertentu. Misalkan BNPT selalu menampilkan “ijtihad-ijtihad” baru terhadap istilah:
  1. Jihad/istishad/ightiyalat dan intihar,
  2. Klaim kebenaran,
  3. Amar ma’ruf nahyi munkar,
  4. Hijrah,
  5. Thagut,
  6. Muslim dan kafir,
  7. Ummatan washat,
  8. Doktrin konspirasi,
  9. Tasamuh,
  10. Daulah Islam dan Khilafah.
Misalkan masalah “jihad”; BNPT berusaha menampilkan tafsiran yang menyempitkan makna jihad. Dan berusaha mengaborsi dengan argumentasi yang “lacut” bahwa jihad tidak lagi harus di maknai sebagai “al Qital”. Maka hakikatnya ini bukanlah “ijtihad” melainkan dekonstruksi terminologi yang telah baku ditentukan oleh syariat. Tampak sekali, jihad menjadi momok dan seolah menjadi perkara yang harus di aborsi pada diri umat Islam.Demikian juga pada istilah lainya, bahkan cenderung melakukan monsterisasi dan mengkriminalisasi istilah-istilah daulah Islam dan Khilafah. Dibangun persepsi seolah menjadi suatu istilah secara politik perkara yang tidak menguntungkan bagi umat dan kalau perlu harus dibuang jauh-jauh dari benak umat Islam.
Maka penulis lebih tepat mengatakan ini adalah bentuktahrif (penyimpangan) dan tadzlil (penyesatan) terhadap publik khususnya umat Islam. Jika BNPT mengkampanyekan “Isalam Rahmatan Lil ‘Alamin” dalam berbagai kesempatan, sejauh ini tidak bisa menjelaskan apa yang dimaksudkan Islam versi BNPT tersebut.
Penulis berani ambil kesimpulan inilah yang disebut dengan “kalimatul haq iroda bihal baatil” (kalimat yang benar tapi yang diinginkan adalah kebatilan). Dengan kata lain, ini artikulasi manipulatif BNPT atas paham pluralisme, liberalisme, moderatisme yang jelas-jelas telah difatwakan haram oleh MUI. Dan inilah hakikat yang hendak diraih dari proyek deradikalisasi, pengarusutamaan “Islam moderat” menjadi arus utama di negeri Indonesia dalam bingkai sistem Sekuler Kapitalis-demokrasi. Dan menjadi kewajiban bagi BNPT untuk mengaborsi, menyumbat atau mengalenasi kelompok Islamis yang hendak menegakkan Islam kaffah untuk Indonesia.
Oleh karena itu, bisa dihitung dan diukur pengaruhnya langkah BNPT kedepan untuk kehidupan umat Islam seperti apa?. Dengan anggaran yang besar melalui APBN (uang rakyat), untuk tahun 2012 saja direncanakan melalui keputusan Komisi III-DPR RI BNPT mendapat porsi yang cukup besar. Untuk program pencegahan dijatah dana Rp 40 M, Untuk operasi deradikalisasi dijatah Rp 12,5 M, Sedangkan untuk operasi penindakan Rp 40 M dan kerjasama internasional Rp 10 M. Ditambah dengan anggaran rutin untuk pegawai, belanja peralatan, kendaraan operasional dan sebagainya total BNPT mendapat dana Rp 476,6 Miliar tepatnya Rp 476. 610.160.701.000
Dengan anggaran APBN, BNPT bekerja longtime (sepanjang tidak ada kebijakan politik membubarkan lembaga BNPT) menekankan langkah deradikalisasi dengan melibatkan instansi pemerintah terkait dan seluruh elemen NGO yang bisa di rekrut. Begitu juga dengan berbagai wasilah yang bisa mereka kendalikan (misal; media massa baik TV maupun cetak).Dan yang lebih penting lagi, bahwa semua program kerja khususnya deradikalisasi berdiri diatas dua cacat kesalahan mendasar yakni cacat paradigma dan cacat pada konsep-konsep turunan yang menjadi muatan setiap agenda propaganda deradikalisasi terhadap semua lapisan masyarakat.Tentu cepat atau lambat akan melahirkan “kontraksi” dan problem baru bagi umat Islam (khususnya yang mengusung Islam Ideologis).
Dari papran diatas, wajar jika umat Islam mempersoalkan bahkan menolak proyek deradikalisasi sebagai sesuatu yang beralasan. Apalagi kemungkinan dampak yang ditimbulkan seperti;
  1. Melupakan akar/hulu terorisme yang hakiki,
  2. Melahirkan tafsiran menyimpang terhadap nash-nash syariah,
  3. Membuat polarisasi umat Islam (perpecahan),
  4. Menghambat kebangkitan Islam,
  5. Langgengnya Imperialisme Barat atas nama/kedok GWOT, HAM, Demokrasi, Pasar Bebas dan perubahan Iklim,
  6. Umat Islam meninggalkan Agamanya sebagai sistem kehidupan.Ini bukanlah maslahat namun sebaliknya sesuatu yang dzarar bagi Islam dan umatnya.
Program ini pada akhirnya akan melahirkan bahaya (dzarar) lebih besar berupa tetap tegaknya sistem sekular dan langgengnya imperialisme Barat di negeri Indonesia atas nama GWOT, HAM, Demokrasi, Pasar bebas, dan perubahan iklim. Di bawah sistem sekular, umat Islam hidup dalam kehidupan yang sempit, jauh dari kebahagiaan lahir batin, dan jatuh dalam peradaban materialisme dan kerusakan moral yang luar biasa. Dan yang paling dasyat adalah di hadapan Allah SWT termasuk golongan orang-orang yang nista.
Karenanya, baik langkah hard power melalui law enforcement melalui Densus88 maupun soft power dengan strategi counter ideologi yang disebut dengan deradikalisasi, tanpa disadari oleh pemerintah dalam hal ini oleh BNPT telah menjadi sebab lahirnya siklus kekerasan yang tiada ujung.
Dan bisa menempatkan umat Islam yang konsisten memperjuangkan penerapan syariat Islam secara kaffah vis a vis berhadapan dengan status quo yang ada.Jika hal tersebut tidak berubah, wajar jika melahirkan persepsi permanen bahwa deradikalisasi dalam rangka kontra-terorisme adalah perang melawan Islam dan umatnya. Dan jika demikian, bagi penulis “memberontak” juga menjadi pilihan yang logis dan sekaligus tuntutan akidah sebagai muslim. Wallahu a’lam bisshowab
 
(gm/voa-khilafah.co.cc)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers