Indonesia dalam Ancaman Genosida AIDS


Al-Islam edisi 584, 9 Desember 2011 M-14 Muharram 1433 H
Ketua BKKBN, Sugiri Syarief, memaparkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan penularan HIV tercepat di Asia Tenggara. “Ini tentu saja belum mencerminkan data yang sesungguhnya, karena AIDS merupakan fenomena gunung es, di mana yang terlihat hanya sekitar 20 persen saja, sedangkan yang tidak diketahui jumlahnya akan lebih banyak,” ujarnya (vivanews.com, 20/11).
Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, M. Subuh, di Jakarta, Jumat, 25 November 2011 mengungkapkan bahwa menurut data kementerian Kesehatan, diperkirakan sebanyak lebih dari 200.000 penduduk Indonesia menderita penyakit HIV/Aids (lihat, tempo.co.id, 25/11). Seperti kata ketua BKKBN, angka sesungguhnya jauh lebih besar dari angka ini.
Lebih tragis lagi, pemerhati HIV/AIDS dari Elijah Generation, Mena Robert Satya mengatakan seks bebas di Papua adalah kebiasaan buruk yang bahkan sampai tahap sistematis dan tak terkendali. “AIDS di Papua sudah seperti genosida. Jadi butuh tindakan nyata oleh semua pihak baik pemerintah, gereja, dan masyarakat agar tidak makin parah. Jika tidak, maka diperkirakan 20 tahun kemudian kita hanya mendengar bahwa di atas tanah Papua pernah ada bangsa kulit hitam yang hidup dan akhirnya Papua hanya menjadi museum.”(vivanews.com, 2/11).
Seks Bebas Pemicunya
HIV/AIDS sudah masuk ke Indonesia diperkirakan pada tahun 1983. Sejak itu seiring merebaknya gaya hidup liberal seperti pemakaian narkoba, seks bebas, dan penyimpangan seksual seperti gay-lesbian, jumlah pengidap HIV/AIDS terus meningkat berlipat-lipat.
Data Komisi Nasional Penanggulangan AIDS menunjukkan, penyebaran HIV/AIDS berubah dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan penelitian tahun 2011, penyebab transmisi tertinggi adalah seks bebas (76,3 persen), diikuti jarum suntik (16,3 persen) (kompas.com, 22/11).
Meski telah terbukti gaya hidup liberal dan hedonis adalah pangkal dari penyebaran virus HIV/AIDS, sebagian kalangan masih saja menyangkal kenyataan ini. Bagi mereka, pencegahan HIV/AIDS bukan dengan menghapuskan gaya hidup serba bebas, apalagi melarang perzinaan dan prostitusi. Tapi mencegah HIV/AIDS adalah dengan mengkampanyekan A-B-C, yakni menghindari seks bebas (Abstinence), setia pada pasangan (Be faithful) dan menggunakan kondom (Condom).
Hal ini sejalan dengan keyakinan sebagian orang bahwa ada otoritas tubuh pada setiap insan yang tidak boleh dilarang atau diintervensi oleh siapa pun, termasuk oleh agama sekali pun. Ini berarti setiap orang bebas menggunakan dan mengeksploitasi tubuhnya, termasuk untuk kepentingan pornografi dan seks bebas. Melarangnya bebas berarti melanggar otoritas tubuh orang lain dan itu melanggar HAM. HAM dan demokrasi memang menjadi tameng ampuh bagi para budak nafsu rendahan ini. Dalam demokrasi setiap warga negara diberikan jaminan untuk mengeksploitasi tubuhnya sendiri.
Bagi mereka pencegahaan HIV/AIDS adalah dengan kondomisasi, bukan melarang perzinahan. Itulah diantara alasan gencarnya program kondomisasi. Selain ditujukan kepada kalangan dewasa, program kondomisasi juga ditujukan kepada para remaja. Tujuannya agar remaja yang rawan sebagai pelaku seks bebas dan rawan tertular penyakit kelamin termasuk HIV/AIDS dapat menjaga diri mereka.
Sejumlah kalangan berkeyakinan bahwa membubarkan prostitusi juga bukan solusi pencegahan penyebaran HIV/AIDS. Selain persoalan ekonomi, yakni para PSK membutuhkan makan, pembubaran lokalisasi diyakini justru akan membuat pelacuran menjadi liar sehingga menyulitkan pengontrolan terhadap penyebaran HIV/AIDS.
Menurut mereka, dengan dilokalisasi, maka akan sangat mudah mencegah penyebaran wabah ini. Sehingga dinas kesehatan maupun LSM yang bergerak di bidang kesehatan dapat mudah melakukan penyuluhan kesehatan, penyebaran alat-alat kontrasepsi, dan pemberian pelayanan kesehatan bagi pelaku seks resiko tinggi.
Melihat pola penanggulangan HIV/AIDS yang ada kita patut pesimis negeri ini akan terbebas dari ancaman HIV/AIDS. Meski miliaran rupiah telah digelontorkan, nyatanya angka penderita HIV/AIDS justru meningkat. Pembelanjaan untuk program AIDS tahun 2010 mencapai US $ 50,8 juta atau Rp 457,2 miliar dengan kurs Rp 9000. Tapi itu ibarat membuang garam ke laut, semua usaha itu percuma. Faktanya, angka penderita HIV/AIDS di negeri ini terus saja meningkat. Hal itu juga terjadi di tingkat dunia. Terlihat dari tingginya angka penularan baru. Kini jumlah penularan baru di dunia sekitar 2,7 juta orang setiap tahun. Artinya program kondomisasi yang dikampanyekan secara besar-besara oleh kelompok liberal selama ini terbukti gagal !
Kegagalan itu wajar saja. Sebab mesin penyebaran HIV/AIDS yaitu seks bebas dan narkoba tidak dipangkas sejak akarnya. Pelacuran justru dilokalisasi dan diluar lokaliasi pun tetap marak. Pornografi, pornoaksi dan sensualitas terus dipasarkan. Dan ditambah lagi, gaya hidup bebas terus dikampanyekan.
Tegakkan Islam, Umat Sehat & Selamat
Ancaman HIV/AIDS hanya bisa diatasi dengan menerapkan syariah Islam. Pada dasarnya, upaya penanggulangan penyakit menular ditempuh dengan beberapa hal: akar penyebab dan penyebarannya dipangkas, penyebarannya dihentikan/dibatasi, penderitanya diobati/disembuhkan, masyarakat dibina ketakwaan mereka dan diedukasi secara memadai.
Syariah Islam memangkas akar penyebaran HIV/AIDS yaitu seks bebas dan narkoba. Terkait narkoba, Islam jelas-jelas mengharamkannya. Ummu Salamah menuturkan:
« نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفَتِّرٍ»
Rasulullah saw melarang setiap zat yang memabukkan dan menenangkan (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Mufattir adalah setiap zat relaksan atau zat penenang, yaitu yang kita kenal sebagai obat psikotropika. Al-‘Iraqi dan Ibn Taymiyah menukilkan adanya kesepakatan (ijmak) atas keharaman candu/ganja (lihat, Subulus Salam, iv/39, Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi).
Mengkonsumsi narkoba apalagi memproduksi dan mengedarkannya merupakan dosa dan perbuatan kriminal. Penggunanya dikenai sanksi disamping harus diobati/direhabilitasi. Sementara produsen dan pengedarnya harus dijatuhi sanksi berupa sanksi ta’zir yang berat sebab telah membahayakan dan merusak masyarakat.
Sementara seks bebas atau perzinahan juga haram dan merupakan dosa besar dan perbuatan keji. Pelakunya jika belum menikah (ghayr muhshan) dijilid seratus kali. Allah SWT berfirman:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢﴾
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (QS an-Nur [24]: 2)
Sementara jika pelaku zina itu sudah menikah (muhshan) maka sanksinya adalah dirajam hingga mati, seperti ditetapkan di dalam as-Sunnah. Rasulullah saw menetapkan hukuman rajam untuk pezina muhshan. Nabi pernah melakukannya terhadap Ma’iz, al-Ghamidiyah, dll.
Pelaksanaan semua hukuman itu harus dilakukan secara terbuka disaksikan oleh khalayak seperti ketentuan ayat di atas. Sehingga siapapun tentu tidak akan berani melakukan zina atau seks bebas.
Disamping itu syariah Islam juga dengan tegas mengharamkan segala bentuk pornografi dan pornoaksi, dan pelakunya dikenai sanksi ta’zir. Produsen dan pengedarnya dikenai sanksi yang berat, sebab tersebarnya pornografi dan pornoaksi akan membahayakan dan merusak masyarakat.
Dengan semua itu maka akar penyebaran HIV/AIDS bisa dipangkas sejak akarnya. Sekaligus itu bisa meminimalkan penyebarannya hingga mendekati nol.
Sementara bagi penderitanya, syariah Islam mewajibkan negara untuk menyediakan pengobatan bagi mereka -juga bagi seluruh rakyat- secara gratis. Mereka akan mendapatkan pengobatan sesuai dengan kebutuhan medisnya, tanpa melihat kemampuan ekonominya.
Sementara secara ekonomi, negara memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan peluang bagi setiap orang untuk bisa memenuhi kebutuhan pelengkapnya sesuai kemampuannya. Negara membuka seluas-luasnya lapangan kerja. Kekayaan didistribusikan secara merata dan adil melalui penerapan sistem ekonomi Islam. Jika masih ada yang tida mampu, maka negara menanggung pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan itu artinya tidak akan ada perempuan yang “terpaksa” melacur karena alasan ekonomi.
Diluar semua itu, solusi itu disempurnakan dengan menciptakan kehidupan sosial yang sehat berlandaskan akidah dan syariat Islam. Umat akan dibina keimanan dan ketakwaannya secara terus menerus. Sehingga umat akan meninggalkan segala bentuk kemaksiyatan terutama diantaranya zina dan narkoba atas dasar kesadaran dan dorongan iman dan ketakwaan. Pintu amar makruf nahi mungkar pun dibuka lebar, bahkan hal tu merupakan kewajiban semua muslim, termasuk untuk mengoreksi penguasa jika lalai melakukan semua itu.
Dengan semua itu ancaman HIV/AIDS bisa diatasi. Lebih dari itu, kehidupan umat akan menjadi kehidupan yang sehat dan rakyat akan selamat. Semua itu hanya bisa diwujudkan sempurna jika syariah Islam diterapkan secara total dan utuh. Dan itu hanya bisa dilakukan melalui institusi Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Karena itu makin banyaknya penderita dan makin besarnya ancaman kerena HIV/AIDS, kebutuhan akan tegaknya Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara total juga makin besar dan mendesak. Karena itu sudah saatnya segenap komponen umat bergerak bersama memperjuangkan tegaknya Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.

Komentar Al Islam:

Komisi IV DPR ternyata mengunjungi empat negara yakni Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan India. Kepergian pimpinan dan anggota Komisi IV itu diklaim untuk mencari masukan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. (Kompas.com, 5/12/2011)
1. Studi banding selama ini banyak hanya kedok belaka untuk pelesiran dan menghambur-hamburkan uang rakyat.
2. Studi banding terbukti tidak berdampak pada kualitas peraturan, yang lahir hanya UU yang merugikan rakyat dan menguntungkan kapitalis dan asing.
3. UU yang baik hanya akan bisa didapatkan jika merujuk kepada syariah. Terapkan syariah secara total, niscaya lahir UU yang berkualitas mengedepankan kemaslahatan rakyat dan mendapat ridha Allah SWT.
(hti/voa-khilafah.co.cc)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers