Dalam pidato memperingati Hari Lahir Pancasila, Jumat lalu (1/6) Said Aqil Siraj meminta agar tidak ada lagi wacana negara Islam di Indonesia. Said bahkan meminta agar orang-orang yang masih menginginkan membentuk negara Islam keluar dari Indonesia dan pergi ke Afghanistan. “Tidak perlu lagi ada wacana negara Islam maupun kekerasan yang mengatasnamakan Islam,” kata Said dalam pidato memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945, Jumat (1/6).
Said Aqil juga menyatakan bahwa ideologi yang bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia adalah subversif yang tidak boleh leluasa hidup mengembangkan ajarannya dinegara Pancasila ini.
Mengherankan
Pernyataan itu jelas sesuatu yang mengherankan. Pernyataan itu bertolak belakang dengan pandangan para imam madzhab, mujtahidin dan para fuqoha. Mayoritas imam madzhab, mujtahidin dan fuqoha sepakat ihwal kewajiban menegakkan khilafah. Hanya golongan sempalan yang mengingkari kewajiban yang mulia ini. Apalagi jumhur ahlus sunnah telah menyatakan kewajibannya. Berikut kami kutipkan sebagian kecil saja perkataan para ulama salaf mengenai kewajiban menegakkan khilafah.
Al-’Allamah Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii, mengatakan, “Para imam mazhab telah bersepakat, bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah.” (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/205).
Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat. (Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).
Sungguh mengherankan bila ada seorang yang mengaku alim namun mengingkari pendapat para ulama madzhab. Apalagi mereka yang mengaku-aku sebagai ahlus sunnah wal jama’ah semestinya mengetahui bahwa perkara ini adalah bagian dari ma’lumun min ad-din bi adl-dlarurah. Perkara yang telah diketahui urgensitasnya. Para pecinta ahlus sunnah seharusnya berada di garda terdepan dalam perjuangan penegakkan khilafah dan syariat, karena para ulama ahlus sunnah memang telah mewajibkan hal demikian.
Imam Ibnu Hazm mengatakan, “Mayoritas Ahlus-Sunnah, Murjiah, Syiah dan Khawarij bersepakat mengenai kewajiban menegakkan Imamah (Khilafah). Mereka juga bersepakat, bahwa umat Islam wajib menaati Imam/Khalifah yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syariah yang dibawa Rasulullah saw.” (Ibnu Hazm, Al-Fashl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, IV/87).
Demikian pula Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: “Menurut golongan Syiah, minoritas Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.” Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: “Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah).”
Pernyataan di atas sekaligus menolak realitas bahwa khilafah Islamiyyah dan penerapan syariat Islam telah lama hadir di Nusantara, sebelum dihancurkan kolonial Kristen Portugis dan Belanda, lalu mereka menggantikannya dengan sekulerisme dan demokrasi. Kesultanan Islam seperti Sriwijaya Islam, Mataram Islam, Samudera Pasai hingga Jayakarta yang diperintah oleh Fatahillah adalah realitas sejarah kegemilangan Islam di tanah air.
Juga bagaimana para alim ulama rela menjadi martir syuhada melawan penjajahan Barat yang menyebarkan sekulerisme dan misi zending Kristen ke seantero Nusantara. Sosok Pangeran Diponegoro yang menobatkan dirinya sebagai Sultan Abdulhamid Erucakra Sayidin Panatagama Khalifat Rasulullah Sayidin Panatagama, menunjukkan jati dirinya sebagai pemimpin yang berjiwa Islam dan memperjuangkan pelaksanaan syariat Islam melawan VOC Belanda.
Sikap ini juga bertentangan dengan pendiri Nahdlatul Ulama KH Wahab Hasbullah yang turut berpartisipasi dalam Kongres Khilafah pada bulan Febuari 1926. Sayangnya acara tersebut disabotase oleh kolonial Inggris melalui antek mereka Ibnu Saud, penguasa Hijaz.
Satu-satunya alasan mengapa muncul pernyataan yang kontradiksi dengan pendapat para ulama salafush sholeh, adalah motif politik tidak terpuji dari pembicara untuk mendiskreditkan ajaran Islam dan para pejuang syariah. Motif ini adalah mata rantai imperialisme Barat terhadap dunia Islam yang memanfaatkan sejumlah tokoh Islam dan politisi muslim untuk melawan arus kebangkitan Islam.
Barat telah memahami sejak lama bahwa upaya menghancurkan Islam tidak bisa dilakukan melalui jalur militer, akan tetapi harus dimulai dari akar perjuangannya, yakni ajaran Islam. Maka bermunculanlah studi-studi orientalisme yang bertujuan menghujamkan pisau beracun berupa perang pemikiran dan peradaban terhadap kaum muslimin yang telah meninggalkan dien mereka.
Di antara serangan berbahaya yang mereka lakukan adalah mendidik kaki tangan mereka dari kalangan pemikir dan politisi muslim untuk mengkampanyekan sekulerisme. Bila pemikiran sekulerisme dapat diinduksikan ke dalam pemikiran umat, maka agama dan kehidupan akan terpisah. Selanjutnya akan terjadi pemisahan agama dari negara dan aturan politik. Berikutnya sistem kenegaraan dan sistem politik dunia Islam akan digantikan dengan ajaran demokrasi yang memiliki beragam derivatnya. Seperti di tanah air, pemikiran demokrasi disulap menjadi demokrasi ala Indonesia sebagaimana ajaran sesat HAM pun dimodifikasi agar dapat diterima oleh rakyat Indonesia.
Demokrasi memang mensyaratkan sekulerisme secara mutlak. Luthfie asy-Syaukanie dalam situsnya menulis artikel bertajuk Berkah Sekulerisme. Di dalamnya terdapat pernyataan sebagai berikut, “Sebuah demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu menerapkan prinsip-prinsip sekularisme dengan benar. Sebaliknya, demokrasi yang gagal atau buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip sekularisme secara benar.”
Andaipun tidak disingkirkan, maka agama akan dipaksa untuk ditafsirkan ulang agar sesuai dengan keinginan demokrasi. Seperti yang ditulis Nader Hashemi seorang Asisten Profesor dalam bidang kajian Timur Tengah dan Politik Islam, University of Denver. Dalam bukunya Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal ia menyatakan bahwa “reinterpretasi ide-ide keagamaan menjadi amat penting bagi kehidupan demokrasi liberal yang kondusif”. Apa yang disampaikan Said Aqil hanyalah riak kecil dari gelombang westernisasi dan depolitisasi Islam.
Pernyataan di atas bisa diniai bukan hanya depolitisasi Islam, tetapi lebih dari itu bisa dinilai sebagai deislamisasi. Sayangnya pernyataan seperti itu keluar dari lisan orang yang dianggap tokoh dan ulama. Pernyataan demikian sangat berbahaya dan potensi daya rusaknya sangat besar. Rasulullah saw memperingatkan dari keburukan yang berasal dari ulama dan menyebutnya sebagai seburuk-buruk keburukan. Imam ad-Darimi meriwayatkan dari al-Akhwas bin Hakim dari bapaknya :
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الشَّرِّ فَقَالَ :« لاَ تَسْأَلُونِى عَنِ الشَّرِّ وَسَلُونِى عَنِ الْخَيْرِ ». يَقُولُهَا ثَلاَثاً ، ثُمَّ قَالَ :« أَلاَ إِنَّ شَرَّ الشَّرِّ شِرَارُ الْعُلَمَاءِ ، وَإِنَّ خَيْرَ الْخَيْرِ خِيَارُ الْعُلَمَاءِ »
Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw tentang keburukan. Rasul bersabda: “jangan kamu tanya aku tentang keburukan dan tanyai aku tentang kebaikan”. Beliau mengatakannya tiga klai. Kemudian beliau bersabda: “ingatlah, sesungguhnya seburuk-seburuk keburukan adalah keburukan ualam dan sesungguhnya sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama”.
Imam al-Ghazali di dalam Ihyâ’Ulûmuddîn menjelaskan: “ulama itu ada tiga golongan. (Golongan) Ulama yang mencelakakan dirinya sendiri dan orang lain, dan mereka adalah yang terang-terangan mencari dunia dan mencurahkan perhatian terhadap dunia. Atau (golongan) ulama yang membahagiakan dirinya dan orang lain. Mereka adalah yang menyeru makhluk kepada Allah baik secara zahir maupun batin. Atau (golongan) ulama yang mencelakakan dirinya sendiri tapi menyenangkan orang lain dan dia adalah yang mengajak kepada akhirat dan bisa jadi ia menolak dunia pada zahirnya sementara maksudnya pada batin adalah (mencari) penerimaan makhluk dan mencari kedudukan. Maka perhatikan termasuk golongan manakah kamu …”.
Imam al-Ghazali juga mengingatkan: ” … inilah jejak langkah para ulama dan tradisi mereka dalam melakukan amar makruf nahi mungkar dan minimnya atensi mereka kepada kekuasaan penguasa. Akan tetapi mereka menyandarkan diri pada karunia Allah agar Allah menjaga mereka. Mereka rela dengan keputusan Allah SWT agar Allah memberi mereka rezki kesyahidan. Maka ketika mereka memurnikan niyat kepada Allah, ucapan mereka pun membekas di dalam hati yang keras sehingga melunakkannya dan menghilangkan kekerasan hati itu. Adapun sekarang, ketamakan telah membelenggu lisan ulama sehingga mereka diam. Jika pun mereka berbicara, perikeadaan mereka tidak bsia membantu ucapan mereka, maka mereka pun tidak berhasil. Andai mereka benar (jujur) dan memaksudkan hak ilmu niscaya mereka beruntung. Jadi rusaknya rakyat karena rusaknya penguasa dan rusaknya penguasa adalah karena rusaknya ulama. Dan rusaknya ulama adalah karena dikuasai cinta harta dan kedudukan. Siapa saja yang dikuasai oleh kecintaan kepada dunia maka dia tidak akan mampu meluruskan hal-hal yang remeh sekalipun, lalu bagaimana mungkin akan bisa meluruskan para raja (penguasa) dan orang-orang besar. Dan Allah adalah tempat meminta bantuan atas segala keadaan” (Ihyâ’ Ulûmuddîn, jus 7 hal 92).
Syaikh Abdul Aziz al-Badri, seorang ulama dari Baghdad yang syahid dalam rangka amar makruf nahi mungkar kepada Saddam Husain, dalam bukunya al-Islâm bayna al-‘Ulamâ wa al-Hukkâm hal 62 mengatakan: “disini harus dikatakan, bahwa standar dan timbangan untuk mengetahui keberadaan seorang alim sebagai orang fasid atau shalih dan keberadaan penguasa apakah seorang zalim atau adil, adalah Islam dan bukan yang lain dan tidak ada yang lain yang bersama Islam.
Aktifitas ulama dan perbuatan penguasa, tindakan dan perilaku mereka di dalam kehidupan dan terhadap masyarakat dan penentuan sikap sebagian mereka kepada sebagian yang lain, semua itu ditimbang dengan timbangan Islam dan distandarisasi dengan standar syara’. Maka sampai tingkat maka mereka terikat kepada Islam dan menerapkannya, mengemban dakwahnya, pemeliharaan mereka terhadap hukum-hukumnya dan pelayanan mereka kepada para pengikut Islam maka setingkat itulah ia menjadi orang yang shalih dan adil. Dan dengan sebaliknya tampaklah kerusakan mereka dan sejauh mana mereka dituntun oleh kezaliman, meskipun orang ‘alim itu seorang filsuf dan penguasa itu seorang yang jenius”. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Iwan Januar dan Yahya Abdurrahman - LS HTI]