Voa-Khilafah.com - Kalau ada edisi Buletin Jumat Al-Islam yang paling mengundang heboh tentu tak lain adalah edisi “Pepesan Kosong pilkada Serentak” yang terbit 3 Desember 2015 lalu. Banyak kecaman dialamatkan kepada HTI menyusul beredarnya Buletin Jumat edisi tersebut. Intinya, mereka menganggap HTImengajak golput, dan itu artinya HTI rela negeri ini dipimpin oleh orang yang buruk atau bahkan kafir.
Tuduhan itu tentu saja tidak benar. Buletin Al-Islam itu sama sekali tidak menyerukan golput. Saya sendiri heran, dari mana mereka berkesimpulan seperti itu. Kita jelas tidak ingin negeri ini dikendalikan oleh orang-orang yang tidak baik, apalagi kafir. Oleh karena itu, kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus mencegah orang kafir menguasai negeri ini. Pasalnya, Karena itu dalam pemilu lalu, misalnya, dengan tegas HTI menyeru publik, bila hendak memilih, pilihlah calon wakil rakyat yang benar-benar hendak berjuang untuk tegaknya syariah dan Khilafah, menjadikan parlemen sebagai mimbar dakwah, menegakkan amar makruf nahi mungkar dan tidak terlibat dalam proses legislasi yang tidak islami. Bila hendak memilih pemimpin, pilihlah yang muslim, laki-laki, beriman dan bertakwa dan yang mau menerapkan syariah secara kaffah.
++++
Buletin Jumat edisi “Pepesan Kosong pilkada Serentak” sesungguhnya hanya memuat kritik keras terhadap sistem pilkada langsung, bukan kepada orang atau kelompok tertentu. Kritik semacam ini juga disuarakan oleh banyak pihak. Di antaranya penggagas Otda, Prof Ryaas Rasyid, juga mantan Mendagri di era Presiden SBY, Gamawan Fauzi. Menurut Gamawan, dalam desertasinya tentang hubungan antarapilkada langsung dan perilaku korupsi, salah satu faktor pemicu korupsi adalah besarnya biaya yang harus dibelanjakan oleh para calon. Faktor pemicu lainnya adalah gagalnya sistem rekrutmen di lingkungan parpol yang tidak menjadikan kualitas dan kemampuan sebagai syarat pengajuan kandidat kepala daerah. Mereka lebih melihat besarnya ‘gizi’ ketimbang hebatnya ‘misi’.
Tingginya biaya pencalonan telah menjadi rahasia umum, termasuk di dalamnya tingginya ongkos “perahu” atau “mahar” politik. Seorang tokoh yang bakal maju dalam pilkada di daerah yang strategis menyampaikan kepada saya, untuk bisa naik “perahu” sebuah partai, dia dimintai Rp 300 miliar. Itu baru biaya ‘perahu”, belum biaya untuk kampanye, pembuatan iklan, pertemuan, penggalangan suara dan kegiatan-kegiatan kampanye lainnya. Untuk pencalonan gubernur malah bisa tembus triliun rupiah.
Jumlah sebesar itu tentu tak mungkin bisa kembali hanya dari pendapatan resmi. Lihatlah, sesuai Keppres No. 68 tahun 2001, gaji pokok gubernur Rp 3 juta. Menurut Keppres No. 59 tahun 2003, tunjangan jabatan gubernur sekitar Rp 5,4 juta. Jadi, total hanya Rp 8,4 juta. Untuk bupati walikota, berdasar Keppres No. 68 tahun 2011, gaji pokok Rp 2,1 juta, tunjangannya Rp 3,78 juta; totalnya Rp 5,88 juta perbulan. Ditambah dengan berbagai tunjangan lain, tetap saja tak terbayang bagaimana uang yang telah dihabiskan untuk pencalonan itu bisa dikembalikan. Karena itu harus ada ‘ikhtiar’ di luar jalur resmi. Di situlah korupsi, manipulasi, kolusi dan aneka penyimpangan hampir pasti terjadi. Bilapun biaya itu ditanggung oleh penyandang dana, pasti juga mereka menuntut imbal balik. Di sini abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan juga bakal terjadi.
Akibatnya, hasil pilkada langsung tidaklah seperti yang diharapkan. Korupsi, kolusi, suap dan penyalahgunaan wewenang marak terjadi. Perselingkuhan penguasa dengan pengusaha juga terus berlanjut. pengusaha memodali paslon (pasangan calon) dengan imbalan proyek-proyek melalui “pengaturan” tender, meloloskan proyek-proyek yang disodorkan oleh pengusaha atau cara lainnya. Walhasil, pemimpin daerah akan lebih mengutamakan kepentingan dirinya, kelompok, partai dan pemodalnya seraya meminggirkan kepentingan rakyat.
Mungkin saja dari pilkada langsung terpilih kepala daerah yang baik, namun jumlahnya amat sedikit. Kebanyakan seperti yang dijelaskan Gamawan di atas. Buktinya, lebih dari 300 kepala daerah dan ribuan PNS sejak era pilkada langsung dari tahun 2005 hingga 2014 telah menjadi tersangka korupsi. Jadi, pepesan itu memang kosong, kan?
Nah, melihat fakta buruk seperti itu dan dampak buruk lainnya, maka banyak pihak kemudian meminta agar pilkada langsung ini dihentikan. Sebenarnya, menurut Ryaas Rasyid, setelah melalui pembahasan yang memakan waktu hingga 2 tahun, dalam RUU pilkada 2012 pilkada langsung sudah disepakati dihapus, diganti dengan pemilihan melalui DPRD baik untuk bupati/walikota maupun gubernur. DPR dan Mendagri pun telah resmi mengajukan ke Presiden untuk disahkan. Namun, kesepakatan yang dibuat melalui pembahasan yang sangat panjang itu buyar dalam waktu sekejap akibat tekanan politik di akhir jabatan SBY.
++++
Jadi, kalau kita mau menilai secara jujur, justru melalui jalan demokrasilah semua yang dikhawatirkan tadi, yakni naiknya orang yang buruk dan orang kafir ke tampuk kekuasaan, bisa terjadi, seperti di DKI Jakarta, Kalbar, Kalteng dan sejumlah kota kabupaten yang notabene merupakan bagian dari negerimuslim.
Jadi jelas, yang menjadi pangkal keburukan adalah demokrasi itu sendiri, bukan golput. Di Tangsel padapilkada kemarin terpilih kembali pasangan Airin Rachmi Diany – Benyamin Davnie meski golput di sana cukup tinggi mencapai 42%. Di Solo, dengan angka partisipasi pemilih yang lebih tinggi justru terpilih lagi F.X. Hadi Rudyatmo (Kristen) sebagai walkot Solo. Itu artinya, banyak orang tidak golput, tetapi mereka memilih secara salah. Rudy sendiri naik menjadi walikota setelah Jokowi menjadi gubernur DKI. Tentang muasal munculnya Rudy sebagai wakilnya Jokowi, boleh ditelusur siapa yang dulu mencalonkan dia.
demokrasi memang acap bermuka dua. Di satu sisi seolah memberikan jalan kepada semua pihak untuk berkompetisi meraih kekuasaan. Di sisi lain, bila melalui jalan ini, kelompok Islam menang, tidak lantas jalan menuju kekuasaan lapang membentang. Lihatlah apa yang terjadi di Mesir, juga di Aljazair dengan FIS-nya yang menang pemilu secara telak tetapi kemudian dianulir. Bahkan kini FIS, sama sepertiikhwanul muslimin di Mesir, menjadi partai terlarang. Keadaan serupa menimpa Hamas di Palestina yang menang pemilu tetapi hingga sekarang tidak diakui oleh Barat. Erbakan di Turki, yang naik ke puncakkekuasaan melalui pemilu, baru dua tahun barjalan dari 4 tahun masa kekuasaannya, digulingkkan olehmiliter Turki. Ibarat lomba lari, demokrasi membolehkan kekuatan politik Islam turut serta, tetapi wasit telah lebih dulu membuat aturan, parpol Islam tidak boleh menang. Kalau menang akan ditelikung.
Oleh karena itu, penting kita melihat jalan perjuangan dalam kerangka yang lebih luas. Pengkajian kembali thariqah dakwah Rasul harus terus lakukan agar kita bisa mendapatkan jalan terbaik menuju cita-cita tegaknya al-haq: penerapan syariah secara kaffah dalam naungan Khilafah.
Bila demokrasi dengan Pilkadanya bermasalah, lantas apa solusinya? Di sinilah Al-Islam kemudian menguraikan bagaimana pemilihan kepala daerah (wali dan amil) dalam sistem Khilafah benar-benar bisa berlangsung efisien dan efektif karena keduanya dipilih langsung oleh khalifah. Tidak perlu menghabiskan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar seperti pilkada serentak yang baru saja berlangsung. Dengan cara itu, problem biaya politik tinggi dengan segala dampak buruk ikutan pun tidak akan terjadi.
Selain itu, kendali koordinasi serta pertanggungjawaban kepala daerah akan lebih mudah dilakukan. Dengan cara itu, program pemerintah akan berjalan efektif. Keharmonisan pemerintah dari pusat hingga struktur aparatur paling bawah bisa terwujud. AlLahu ‘alam. [HM Ismail Yusanto]