Tanda Orang Yang Beruntung Di Akhirat


(Tafsir QS al-Insyiqaq [84]: 7-9)

فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ، فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا، وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا،
Adapun orang yang diberi kitabnya dari sebelah kanannya akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah dan akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira (QS al-Insyiqaq [84]: 7-9).
Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang beberapa peristiwa yang terjadi pada Hari Kiamat. Langit terbelah. Bumi diratakan dan diluaskan. Semua makhluk mendengar dan tunduk terhadap perintah Allah SWT, Tuhan dan Pencipta mereka.
Kemudian diterangkan pula bahwa manusia yang bekerja keras dalam hidupnya akan menjumpai Tuhannya. Ini adalah kejadian yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Ketika itu manusia akan diberi balasan atas perbuatan yang dilakukan di dunia.
Inilah yang diberitakan dalam ayat ini. Ada sebagian yang mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan. Sebagian lainnya sengsara dan celaka. Ayat-ayat yang akan dikupas di bawah ini adalah golongan manusia yang mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan.

Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Fa ammâ man ûtiya kitâbahu bi yamînihi (Adapun orang yang diberi kitabnya dari sebelah kanannya). Di antara peristiwa penting pada Hari Kiamat adalah pemberian kitab amal kepada seluruh manusia. Ini diberitakan dalam beberapa ayat. Dalam QS al-Jatsiyah [45]: 28, misalnya. Inilah kitâb yang dimaksud ayat ini. Dikatakan al-Biqa’i, kitab tersebut merupakan lembaran perhitungan yang dicatat malaikat.1 Di dalamnya berisi catatan seluruh amal manusia, baik yang besar maupun yang kecil. Tidak ditambah ataupun dikurangi.
Dalam ayat lainnya (QS al-Kahfi [18]: 49), Allah SWT memberitakan tentang nasib orang yang diberikan kitab amalnya dari sebelah kanan. Mereka adalah orang-orang Mukmin. Demikian menurut al-Qurthubi, asy-Syaukani, al-Qinuji, Ibnu Athiyah dan as-Samarqandi.2 Atau seperti dikatakan al-Biqa’i, mereka adalah orang-orang Mukmin yang taat.3 Dikatakan al-Qurthubi, pemberian catatan amal dari sebelah kanan ini merupakan pertanda kesuksesan.4
Kemudian diberitakan: Fasawfa yuhâsabu hisâb[an] yasîr[an](dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah). Menurut ar-Razi, kata sawfa yang berasal dari Allah merupakan sesuatu yang wajib.5Oleh karena itu, setelah mendapatkan kitab atau catatan amal dari sebelah kanan, dia dipastikan akan diperiksa dengan hisâb yasîr (perhitungan atau pemeriksaan yang ringan).
Dijelaskan al-Qurthubi, yang dimaksud dengan hisâb yasîr adalah lâ munâqasyah fîh (tidak ada perdebatan di dalamnya).6 Ibnu Katsir memaknai kata ini sebagai sahl[an] bi lâ ta’sîr (mudah tanpa ada kesulitan). Tidak ada pemeriksaan terhadap amalnya secara mendetail pada seluruh amalnya. Sebab, orang yang dihisab seperti itu (yakni dengan mendetail), dia celaka.7
Al-Qinuji juga menafsirkan kata ini dengan sahl[an] hayyin[an] lâ munâqasyah fîh (mudah, ringan, tanpa ada perdebatan). Mufassir tersebut lantas mengutip perkataan Muqatil, “Karena diampuni dosa-dosanya dan tidak dihisab atasnya.”8
Penjelasan senada, dengan sedikit perbedaan redaksional, juga dinyatakan oleh an-Nasafi, al-Baidhawi, asy-Syaukani dan as-Samarqandi.9
Tentang hisab yang ringan, Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan, “Dengan dilihat amal-amalnya, lalu diampuni keburukannya dan diberi balasan atas kebaikannya.”10
Diterangkan pula oleh ar-Razi dan al-Khazin, hisâb yasîr adalah diperlihatkan kepada dia amal-amalnya sehingga dia mengetahui ketaatan dan kemaksiatan. Kemudian dia diberi pahala atas ketaatan dan diampuni kemaksiatannya. Menurut ar-Razi, inilah yang dimaksud dengan hisab yang ringan. Sebab, tidak ada kesulitan di dalamnya bagi pelakunya. Tidak ada perdebatan. Tidak pula dikatakan kepada dia, “Mengapa kamu tidak mengerjakan ini?” Tidak dituntut ada alasan dan argumentasi atas dirinya. Pasalnya, sesungguhnya ketika hal itu dituntut, niscaya tidak akan ada alasan dan argumen sehingga terbuka aibnya.11
Penjelasan para mufassir tersebut berdasarkan beberapa hadis. Aisyah ra. berkata: Aku mendengar Nabi saw. berdoa dalam sebagian shalatnya:
اللَّهُمَّ حَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيرًا فَلَمَّا انْصَرَفَ، قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللهِ، مَا الْحِسَابُ الْيَسِيرُ؟ قَالَ: أَنْ يَنْظُرَ فِي كِتَابِهِ فَيَتَجَاوَزَ عَنْهُ، إِنَّهُ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَوْمَئِذٍ يَا عَائِشَة هَلَكَ، وَكُلُّ مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ، يُكَفِّرُ الله عَزَّ وَجَلَّ بِهِ عَنْهُ، حَتَّى الشَّوْكَة تَشُوْكُهُ
“Ya Allah, hisablah aku dengan hisab yang mudah.” Ketika beliau selesai shalat, aku bertanya, “Ya NabiyyalLah, apakah yang dimaksud dengan hisab yang mudah itu?” Beliau menjawab, “Dia melihat catatan amal hamba-Nya lalu memaafkannya. Sesungguh-nya orang yang dipertanyakan hisabnya pada saat itu wahai ‘Aisyah, pasti celaka. Apa pun yang menimpa seorang Mukmin, Allah menghapus kesalahan darinya (karena musibah itu) meskipun hanya duri yang melukai dirinya.” (HR Ahmad).
Aisyah ra. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَة فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللهُ تَعَالَى فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ
Siapa saja yang dihisab, ia akan diazab.” Aku lalu bertanya, “Bukankah Allah SWT berfirman: Dia akan dihisab dengan hisab yang mudah?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya itu hanyalah dibeberkan (amalnya, dimaafkan). Namun, siapa saja yang dipertanyakan dalam hisabnya, ia akan celaka.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
إِنَّ الله يُدْنِى الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ، وَيَسْتُرُه فَيَقُولُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ أَىْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِى نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِى الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ. فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمُنَافِقُونَ فَيَقُولُ الأَشْهَادُ هَؤُلاَءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبّهِمْ ، أَلاَ لَعْنَة الله عَلَى الظَّالِمِينَ
Sesungguhnya Allah akan mendekatkan orang Mukmin, lalu Dia meletakkan tirai-Nya dan menutupinya, dan bertanya, “Apakah kamu mengetahui dosa ini? Apakah kamu mengetahui dosa ini?” Orang yang ditanya menjawab, “Ya, wahai Tuhanku.” Ketika ia telah mengakui dosa-dosanya dan merasakan bahwa dirinya akan binasa, Allah berfirman, “Aku telah menutupi dosamu di dunia dan Aku akan mengampuninya pada hari ini.” Lalu ia diberi catatan amal kebaikannya. Adapun orang-orang kafir dan munafik, maka para saksi berkata (di hadapan seluruh manusia), “Merekalah orang-orang yang mendustakan Tuhan mereka.” Ingatlah! Sesungguhnya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim (HR al-Bukhari dan Muslim).
Allah SWT berfirman: wa yanqalibu ilâ ahli masrûr[an] (dan dia akan kembali kepada kaumnya [yang sama-sama beriman] dengan gembira). Setelah hisab yang ringan, dia kembali kepada keluarganya di surga dalam keadaan gembira.
Ada beberapa penjelasan tentang makna al-ahl (keluarga) di sini. Menurut al-Qurthubi, ahlihi (keluarganya) adalah istri-istrinya di surga dari kalangan bidadari.12 Qatadah juga mengatakan bahwa itu adalah keluarganya yang disiapkan Allah bagi dirinya di surga.13
Dikatakan Ibnu Juzyi al-Kalbi, pengertian al-ahl (keluarga) adalah istri-istrinya di surga, baik istrinya semasa di dunia maupun para bidadari.14 Penjelasan senada juga dikemuka-kan Ibnu Athiyah.15
Menurut al-Jazairi, di samping para bidadari dan wanita Mukminah, termasuk pula anak-cucunya yang salih. Mereka semua dikumpulkan oleh Allah SWT karena kemuliaan mereka QS al-Thur [52]: 21.16
Bahkan selain istri, bidadari, keluarga yang Mukmin, menurut Abu Hayyan juga kaum Mukmin. Sebab, mereka semua adalah ahlu îmân.17 Mereka kembali kepada keluarganya di surga dalam keadaan senang dan gembira. Mereka bergembira lantaran selamat dari siksa dan memperoleh kemenangan dan pahala.18

Kitab Amal dan Balasan kepada Pelakunya
Terdapat banyak pelajaran penting yang terkandung dalam ayat ini. Pertama: adanya kitab yang berisi catatan amal manusia selama hidup di dunia. Ini merupakan perkara cabang dari iman kepada Hari Kiamat yang wajib diyakini. Dalam ayat ini terang disebutkan: Faman ûtiya kitâbahu (siapa saja yang diberi kitabnya). Selain ayat ini, adanya kitab yang berisi catatan amal perbuatan manusia disebutkan dalam banyak ayat seperti QS al-Isra’ [17]: 13-14 dan 71, al-Kahfi [18]: 49, al-Jatsiyah [45]: 28, al-Haqqah [69]: 19 dan 25, al-Muthaffifin [83]: 7 dan 18, dan lain-lain.
Dalam al-Quran diberitakan, kadang pencatatan amal itu dinisbahkan kepada Allah SWT, seperti disebutkan dalam QS Ali Imran [3]: 181, Maryam [19]: 79, al-Anbiya [21]: 94, dan Yasin [36]: 21; kadang dinisbahkan kepada malaikat, seperti dalam QS Qaf [50]: 17-18. Di dalam QS al-Infithar [82]: 12 juga disebutkan tentang adanya para malaikat yang mulia yang bertugas sebagai pencatat: kirâm[an] kâtibîn.
Selain itu, banyak hadis yang memberitakan adanya malaikat yang mencatat amal perbuatan manusia. Para malaikat yang ditugaskan untuk mencatat itu mengerjakan tugasnya dengan amanah, amat teliti, dan detail. Sebagaimana diberitakan dalam QS al-Kahfi [18]: 49, semua amal yang telah diperbuat manusia tercatat di situ, baik yang besar maupun yang kecil. Tidak ada yang ditinggalkan (Lihat: QS al-Qamar [54]: 52-53)
Kedua: kitab yang berisi catatan amal tersebut akan diserahkan kepada manusia pada Hari Kiamat. Di dalam ayat ini diberitakan bahwa pemberian kitab tersebut setelah peristiwa terbelahnya langit dan diratakan serta diluaskan bumi. Dengan kata lain, peristiwa itu terjadi pada Hari Kiamat. Selain ayat ini, juga diberitakan dalam ayat lain (Lihat, misalnya: QS az-Zumar [39]: 69).
Ketiga: cara penyerahan kitab catatan amal itu menjadi pertanda nasib penerimanya. Firman Allah SWT: fasawfa yuhâsabu hisâb[an] yasîr[an] jelas menunjukkan kesimpulan tersebut.Orang yang diberi kitab catatan amal dari sebelah kanan akan dihisab dengan hisab yang ringan lagi mudah. Sebagaimana telah dipaparkan, hisâb yasîr adalah hisab yang mudah lagi ringan, tidak diperiksa dan dipertanyakan secara mendetail, namun hanya diperlihatkan semua catatan amalnya, kemudian dosa-dosanya dimaafkan dan kebaikannya diterima. Menurut Ibnu Zaid, keadaan mereka itu sebagaimana diberitakan Allah SWT dalam ayat QS al-Ahqaf [46]: 16).
Setelah mendapatkan kemudahan dalam hisab, mereka kemudian dimasukkan ke dalam surga; dipertemukan dengan keluarganya di surga. Dalam ayat ini disebutkan: Wa yanqalibu ilâ ahlihi masrûr[an]. Seperti yang diterangkan para mufassir, keluarga yang dimaksud bisa para bidadari yang disediakan Allah SWT di surga, bisa pula istri mereka di dunia yang nasibnya sama-sama masuk surga, dan juga sesama orang-orang Mukmin.
Mengenai berbahagianya orang yang diberi catatan amal di Hari Kiamat, juga diberitakan dalam QS al-Haqqah [69]: 19-24. Mereka diberitakan berada dalam kehidupan yang diridhai di dalam surga yang tinggi. Di sana terdapat buah-buahan, dan dipersilakan makan dengan nikmat.
Semoga kita termasuk dalam golongan orang yang diberikan catatan amal dari sebelah kanan.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

 [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

Catatan Kaki:
1         Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21, 341.
2         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mshriyyah, 1964), 271; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 493; al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 15 (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 146; Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 457; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3 (Beirut:   tp.,tt.), 560.
3         Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol. 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt.), 341.
4         Lihat: Ash-Shabuni, Shafwat ath-Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar ash-Shabuni, 1997), 511.
5         Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ at-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 98.
6         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol.
7         Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân, vol. 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 356.
8         Al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 15, 146
9         An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta‘wîl, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kalim ath-Thayyib, 1998), 620; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya‘ at-Turats al-‘Arabi, 1998), 297; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 493; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 560.
10        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 313.
11        Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 98; al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl, vol. 4, 408.
12        Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 272.
13        Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 272.
14        Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tasyhîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam bin al-Arqam, 1996), 465.
15        Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 457.
16        Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum al-Hikam, 2003), 54. Ini juga dikemukakan ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 98.
17        Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 437.
18        As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah,2000), 917.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers