Soal:
Benarkah Khilafah merupakan negara
barbarian? Benarkah Khilafah berlumuran darah, baik darah kaum minoritas
non-Muslim maupun kaum Muslim yang berbeda paham dengan Khalifah?
Jawab:
Khilafah adalah negara kaum Muslim di
seluruh dunia untuk menerapkan Islam, baik di dalam maupun luar negeri.
Negara adalah organisasi politik yang berfungsi untuk
mengimplementasikan kumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at) yang diterima oleh umat.
Kumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at) ini, meskipun bersumber dari keyakinan umat, belum tentu langsung diterima oleh umat.
Sebagaimana realitas umat Islam saat ini. Tidak sedikit di antara mereka yang menolak kumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at) Islam. Mereka menolak kumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at)
tersebut boleh jadi karena tidak paham, salah paham, atau bahkan
pahamnya salah terhadap Islam. Sebagaimana penolakan sebagian kaum
Muslim terhadap hukum potong tangan, cambuk, rajam, qishash dan sebagainya; termasuk kewajiban untuk menegakkan Khilafah.
Karena itu mendirikan negara Khilafah
tak bisa serta-merta dengan mengambil-alih kekuasaan, kemudian semuanya
dianggap selesai begitu kekuasaan di tangan. Tidak. Pasalnya, yang
paling mendasar dalam bernegara adalah penerimaan umat terhadap kumpulan
pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at)
yang akan diimplementasikan kepada mereka. Jika tidak, organisasi
negara tersebut tidak ada gunanya. Ada, tetapi seperti tidak ada. Inilah
fenomena negara-negara yang ada di seluruh dunia Islam saat ini. Ada
yang disebut negara, tetapi keberadaannya tidak bisa mewujudkan tujuan
bernegara. Pasalnya, kumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at) yang diterapkan kepada mereka bertentangan dengan keyakinan mereka. Mereka menerima tidak lebih karena dipaksa.
Itulah mengapa, Nabi saw. mengajarkan metode baku dalam mendirikan Negara Madinah. Beliau memulai dengan proses edukasi (tatsqif) serta internalisasi kumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at) yang hendak diterapkan kepada umat (tafa’ul ma’a al-ummah). Setelah semuanya berjalan dengan sempurna, umat pun dengan sendirinya memberikan mandat kekuasaan mereka (taslim al-hukm) kepada Nabi saw. untuk menerapkan kumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at)
tersebut kepada mereka. Dalam waktu singkat, negara ini pun berhasil
memberantas kebodohan, kemiskinan, sekaligus mengantarkan bangsa Arab
menjadi adidaya baru, mengalahkan emperium Romawi dan Persia.
Sebagai organisasi yang berfungsi untuk menerapkan kumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at) kepada rakyat, negara membutuhkan kekuatan (quwwah). Kekuatan juga dibutuhkan untuk menjaga dan melindungi negara. Namun demikian, negara bukanlah kekuatan (quwwah), yang identik dengan militer. Negara juga tidak boleh menggunakan pendekatan militeristik, apalagi menjelma menjadi military state
(negara militer). Selain akan menjadi monster yang menakutkan,
penjelmaan negara seperti ini juga menjadi madarat bagi umat. Nabi saw.
bersabda:
مَنْ رَوَّعَ مُسْلِمًا رَوَّعَهُ الله
يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ أَفْشَى سِرَّ أَخِيْهِ أَفْشَى الله سِرَّهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلاَئِقِ
Siapa saja yang meneror seorang
Muslim, Allah akan meneror dia pada Hari Kiamat. Siapa saja yang
menyebarkan rahasia saudaranya, Allah akan menyebarkan rahasianya pada
Hari Kiamat kepada para makhluk (Dikeluarkan oleh ar-Rabi’ bin Habib dalam Musnad).
Nabi saw. juga bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ فِي الإسْلاَمِ
Tidak boleh ada kemadaratan (dharar) dan sesuatu yang bisa membahayakan (dhirar) dalam Islam (HR Ibn Majah, ad-Daruquthni dan Malik)
Karena itu negara tentara, negara totaliter atau negara otoriter jelas diharamkan dalam Islam.1
Negara Khilafah, sebagaimana yang
digariskan oleh Nabi saw., disyariatkan untuk mengurus urusan umat
dengan menerapkan hukum syariah di dalam dan luar negeri. Nabi saw.
bersabda:
الأَمِيْرُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin yang menjadi pengurus urusan umat manusia, dialah satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Ibn Hibban, an-Nasa’i dan al-Baihaqi).
Karena itu negara (ad-dawlah) dan kekuasaan (as-sulthan)
dalam Islam ada untuk mengurus urusan umat. Negara dan kekuasaan
dibutuhkan untuk itu. Tanpa itu tidak mungkin urusan umat bisa
diwujudkan. Maka dari itu, filosofi dasar bernegara dalam Islam adalah
mewujudkan kemaslahatan publik (al-mashlahah al-‘ammah) baik yang bersifat vital (al-mashlahah ad-dharuriyyah) seperti menjaga agama (hifdz ad-din), jiwa (an-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (an-nasl), kehormatan (al-karamah), harta (al-mal), keamanan (al-amn) dan menjaga negara (hifdz ad-daulah); maupun kemaslahatan pelengkap (al-mashlahah al-takmiliyyah), dibutuhkan (al-mashlahah al-hajiyyah) dan kebaikan (al-mashlahah at-tahsiniyyah).
Kemaslahatan vital (al-mashlahah ad-dharuriyyah), seperti menjaga agama (hifdz ad-din),
akan terwujud jika negara menerapkan Islam dengan benar dan konsekuen,
serta menjaga dari berbagai penyimpangan. Caranya adalah dengan
penerapan sanksi atas orang murtad, serta orang yang pahamnya salah.
Begitu juga jiwa akan terjaga jika qishash diterapkan atas
orang yang menghilangkan nyawa orang lain. Akal akan terjaga ketika
khamer, narkoba dan sejenisnya diharamkan dan siapa saja yang terlibat
dengan itu dikenai sanksi. Keturunan akan terjaga ketika hukum
pernikahan diterapkan, zina diharamkan dan sanksi bagi pelakunya
ditegakkan. Kehormatan juga akan terwujud ketika orang yang menuduh zina
dijatuhi sanksi sekaligus ditolak kesaksiannya. Harta akan terjaga
ketika pencurian, korupsi dan perampokan dikenai sanksi. Begitu juga
keamanan akan terjaga ketika bughat, begal dan pengacau keamanan dilarang serta pelakunya dijatuhi sanksi yang berat. Semuanya ini terkait dengan kemaslatan vital.
Namun, kemaslahatan vital ini tidak bisa
diwujudkan sendiri, karena membutuhkan seperangkat hukum syariah yang
lain. Karena itu ada kemaslahatan pelengkap (al-mashlahah al-takmiliyyah),
seperti larangan melihat lawan jenis, berdua-duaan dan membuka aurat,
yang melengkapi larangan berzina. Sebab, zina tidak hanya diharamkan,
tetapi semua pintu perzinaan juga wajib ditutup rapat-rapat. Melihat
lawan jenis, berduaan dan membuka aurat adalah pintu bagi perzinaan.
Selain dua kemaslahatan di atas, hukum syariah juga mewujudkan kemaslahatan yang dibutuhkan (al-mashlahah al-hajiyyah),
seperti dispensasi tidak berpuasa bagi musafir dan orang yang sakit;
menjamak dan memendekkan shalat bagi musafir; bertayamum bagi orang yang
sakit dan tidak menemukan air. Selain itu, hukum syariah juga
mewujudkan kemaslahatan kebaikan (al-mashlahah at-tahsiniyyah),
seperti bersuci dari najis, hadas besar dan kecil. Larangan kencing di
lubang, atau air yang berhenti; memakai wangi-wangian, memotong kuku,
menyisir rambut, dan sebagainya. Semuanya ini merupakan kemaslahatan
yang bersifat tahsiniyyah.
Seluruh kemaslahatan ini hanya bisa
diwujudkan dengan menerapkan syariah Islam dengan sempurna, baik dan
benar; sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Makna “rahmat[an]” adalah jalb al-mashalih (terpenuhinya kemaslahatan) dan daf’u al-mafasid
(terhindarkannya kerusakan dan kemadaratan). Ini berlaku bukan hanya
untuk orang Islam, tetapi juga non-Muslim; bukan hanya untuk manusia,
tetapi juga alam dan kehidupan. Itulah makna frasa rahmat[an] li al-‘alamin (rahmat bagi alam semesta).
Hanya saja, seluruh kemaslahatan
tersebut tidak akan terwujud jika syariah Islam tidak diimplementasikan
dengan sempurna, baik dan benar, di bawah naungan Khilafah. Khilafah
seperti apa? Tidak lain Khilafah yang mampu mengimplementasikan syariah
Islam dengan sempurna, baik dan benar. Itulah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah, bukan Khilafah ala Umayah, ‘Abbasiyah maupun ‘Ustmaniyah. Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah juga jauh dari sifat barbar sebagaimana yang dituduhkan kaum kafir.
Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah ini juga Khilafah yang dibangun dengan pondasi umat Islam yang menerima dan meyakini kumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at) Islam yang diterapkan kepada mereka; sebagaimana Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah yang pertama. Metode yang digunakan untuk membangun Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah
juga mengikuti sepenuhnya metode Nabi saw. dan para Sahabat dalam
mendirikan negara.2 Para pendiri dan pemangkunya juga mempunyai karakter
sebagaimana pendiri dan pemangku Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah yang pertama.3
Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah
menerapkan Islam secara sempurna, dengan baik dan benar, jauh dari
sifat barbarian, apalagi berlumuran darah, baik darah kaum minoritas
non-Muslim maupun kaum Muslim yang berbeda paham dengannya. Khilafah ini
bukan Khilafah kelompok atau mazhab tertentu, tetapi Khilafah kaum
Muslim di seluruh dunia. Di dalamnya, fenomena kelompok dan mazhab dalam
Islam tetap ada, selama tidak melanggar syariah.
Begitulah Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Itulah Khilafah yang wajib ditegakkan dan diperjuangkan oleh umat Islam di seluruh dunia. Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah ini menjadi pangkal kebangkitan dan kemuliaan umat Islam. Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah ini juga menjadi solusi dari berbagai masalah yang menyelimuti umat Islam. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, cetakan ke-VI, edisi Muktamadah, 1422 H/2002 M, hlm. 242 dan 246.
2 Al-‘Allamah Syaikh ‘Atha’ bin Khalil, Jawab Su’al fi I’lan al-Khilafah…
3 Hizb at-Tahrir, Min Muqawwimat an-Nafsiyyat al-Islamiyyah, Dar al-Ummah, Beirut, cetakan ke-I, 1424 H/2004 M, hlm. 10.