Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan
Pemenang Pilpres 2014. Jika Mahkamah Konstitusi tidak menganulir
kemenangan tersebut, Jokowi-Jusf Kalla akan memimpin Indonesia dalam
lima tahun ke depan. Oleh banyak kalangan, keduanya dipandang mampu
membawa Indonesia menjadi lebih baik, termasuk dalam bidang ekonomi.
Sebagaimana rezim-rezim sebelumnya,
ekspektasi publik tersebut tampaknya juga akan berujung kekecewaan.
Pasalnya, pemilihan presiden saat ini hanyalah pergantian rezim minus
perubahan sistem dan ideologi. Apalagi visi misi yang diumbar pemimpin
terpilih berikut partai pendukungnya, selain bersifat tambal-sulam dari
berbagai kelemahan rezim sebelumnya, juga akan membentur sejumlah
hambatan.
Hambatan Sistemik
Hambatan terberat Pemerintah mendatang
dalam mewujudkan perubahan di bidang ekonomi adalah kewajiban untuk
tunduk pada konstitusi dan undang-undang yang berlaku. Peran Pemerintah
Pusat hanyalah membuat peraturan turunan dari UU yang ada. Dengan
demikian pemerintah yang akan datang akan tetap melanjutkan implementasi
berbagai undang-undang yang berlaku saat ini, termasuk di bidang
ekonomi seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan, UU Mineral
dan Batu Bara, UU Penanaman Modal dan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Padahal secara empirik banyak dari isi UU tersebut terbukti
menyengsarakan rakyat dan merugikan negara.
Selain itu, kewenangan presiden dalam
sistem demokrasi sesungguhnya amat terbatas. Dengan sistem pemerintahan
yang berbentuk trias politika, pemerintah harus berbagi wewenang dengan
lembaga lain seperti legislatif dan yudikatif, termasuk lembaga
independen lainnya seperti bank sentral dan otoritas jasa keuangan. Di
bidang fiskal, Pemerintah harus tunduk pada otoritas Legislatif dalam
menetapkan APBN yang disusun Pemerintah. Keberadaan partai oposisi juga
kerap menjadi ‘batu sandungan’ Pemerintah dalam mengimplementasikan
kebijakan-kebijakannya. Akibatnya, tawar-menawar politik antara
Pemerintah dan anggota DPR tidak dapat dihindarkan. Alokasi anggaran
tidak lagi disusun murni berdasarkan kepentingan rakyat, namun lebih
mengakomo-dasi kepentingan elit-elit politik. Lebih dari itu, format
APBN yang selama ini menjadi acuan seperti pendapatan yang mengandalkan
pajak dan pembiayaan defisit melalui utang dan obligasi tetap akan
berlangsung.
Di bidang moneter, kendali sepenuhnya
berada di tangan Bank Indonesia. Kebijakan-kebijakan bank sentral dalam
mengontrol nilai tukar rupiah melalui rezim nilai tukar mengambang dan
mengendalikan inflasi melalui penetapan BI rate juga tidak akan
berubah. Demikian pula dengan kebijakan di sektor keuangan seperti
perbankan, pasar modal dan asuransi yang dikendalikan oleh Otoritas Jasa
Keuangan. Dengan demikian Presiden mendatang juga tidak memiliki
kemampuan untuk mengintervensi sektor tesebut seperti mengontrol suku
bunga kredit atau membatasi arus investasi asing di pasar saham.
Walhasil, pergantian presiden tidak akan menghilangkan potensi krisis
moneter dan finansial khususnya jika terjadi gejolak eksternal.
Penerapan otonomi daerah juga membuat
kewenangan pemerintah pusat terhadap provinsi dan kabupaten menjadi
sangat terbatas. Desentralisasi kebijakan membuat gubernur dan
bupati/walikota seperti raja-raja kecil yang tidak dapat didikte oleh
Pemerintah Pusat. Pengalaman pada pemerintahan sebelumnya, banyak
kebijakan Pemerintah Pusat berantakan lantaran tidak disetujui oleh
Pemerintah Daerah, terutama jika kepala daerahnya memiliki afiliasi
partai politik yang berbeda dengan sang Presiden.
Selain itu, Indonesia merupakan salah
satu negara yang cukup aktif terlibat dalam berbagai forum kerjasama
ekonomi dan sejumlah organisasi ekonomi baik yang bersifat global,
regional dan bilateral seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO),
Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC),
Kerjasama Ekonomi Jepang-Indonesia (JIEPA), Perdagangan Bebas
Tiongkok-ASEAN (CAFTA) serta Perdagangan Bebas ASEAN-Australia dan New
Zealand (ANZFTA). WTO, misalnya, sangat dominan dalam mengatur dan
mengarahkan negara-negara anggotanya dalam liberalisasi perdagangan.
Dengan demikian pemerintah yang berkuasa tidak leluasa dalam menentukan
arah kebijakan ekonomi yang menguntungkan negara dan rakyatnya.
Hambatan Non-Sistemik
Selain itu, seluruh partai saat ini,
termasuk calon presiden yang berkompetisi dalam Pilpres lalu, meski
dengan jargon dan penekanan kebijakan yang berbeda-beda, seluruhnya
tetap dalam lingkaran ideologi Kapitalisme, termasuk dalam bidang
ekonomi. Dalam visi-misinya di bidang ekonomi, Jokowi-JK, misalnya,
tetap akan menjadikan pajak sebagai sumber penerimaan negara1 dan
melanjutkan pembiayaan melalui utang.2 Mereka juga tetap akan mendorong
peran swasta termasuk asing untuk berinvestasi di sektor riil dan
finansial,3 termasuk memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengeruk
kekayaan alam negeri ini.4 Selain itu, keduanya juga tetap akan
melanjutkan berbagai perjanjian kerjasama di bidang ekonomi yang selama
ini berjalan.5 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang berbasis asuransi
sebagaimana yang diamanatkan UU juga tetap diberlakukan.6 Dengan
demikian rakyat akan diwajibkan untuk membayar premi asuransi baik ia
sakit ataupun tidak. Calon pemimpin yang didukung oleh PDIP tersebut
juga akan mengurangi besaran subsidi BBM dan listrik.7
Selain hambatan di atas, pemimpin
terpilih saat ini juga akan digelayuti oleh kepentingan partai-partai
politik pendukungnya dan para relawannya. Mereka tentu akan menagih
imbal hasil atas investasi politik mereka, baik dalam bentuk jabatan di
Kementerian dan Lembaga (K/L) dan BUMN ataupun dalam bentuk konsesi
proyek-proyek dan prioritas investasi. Selain mereka, negara-negara
asing, terutama yang selama ini cukup berpengaruh di Indonesia seperti
AS, Tiongkok dan Jepang tentu tidak tinggal diam untuk menanamkan dan
mempertahankan pengaruhnya di negeri ini.
Sistem Islam
Berdasarkan hal di atas, dapat
disimpulkan bahwa kebijakan Pemerintah yang akan datang tetap menjadikan
Kapitalisme sebagai azas kebijakannya. Padahal sistem tersebut telah
terbukti gagal dalam menciptakan kesejahteraan kolektif, memperbesar
ketimpangan ekonomi, menciptakan dehumanisasi dan kerusakan ekologi.
Bangunan sistem tersebut juga sangat rapuh dan telah menciptakan
berbagai krisis yang telah memporak-porandakan tatanan ekonomi global
termasuk di Indonesia.
Satu-satunya sistem yang mampu mengubah
carut-marutnya perekonomian negara ini adalah sistem Islam. Sistem yang
diwahyukan oleh Allah SWT, Zat Yang Mahatahu, Mahaadil dan Mahabijaksana
tersebut telah menjelaskan berbagai hukum yang mengatur masalah manusia
termasuk di bidang ekonomi. Kedaulatan dalam Pemerintahan Islam adalah
di tangan syariah, bukan di tangan manusia yang serba lemah dan
terbatas. Khalifah yang menjadi pemimpin negara tidak boleh tunduk dan
mengikuti berbagai peraturan dan kesepakatan yang bertentangan dengan
Islam atau menjadikan negara Khilafah Islam tersubordinasi oleh negara
lain.
Sistem tersebut tidak mengenal partai
oposisi. Pasalnya, seluruh partai menjadikan Islam sebagai azas dalam
melakukan koreksi. Dengan demikian koreksi kepada penguasa hanya
dilakukan jika penguasa dianggap menyelisihi syariah Islam.8 Seluruh
pemimpin daerah baik wali ataupun amil wajib patuh
pada kebijakan Khalifah sepanjang sesuai dengan syariah. Walhasil,
kebijakan Khalifah, selama selaras dengan syariah, tidak akan menghadapi
penentangan dalam implementasinya.
Dalam penyusunan APBN, Islam telah
menetapkan pos-pos yang menjadi sumber pendapatan dan alokasi
pembiayaan. Adapun rincian dan besaran anggaran sepenuhnya diserahkan
kepada ijtihad Khalifah. Dengan demikian tidak akan ada pembahasan yang
bersifat tahunan dengan Majelis Umat.
Alokasi belanja pemerintah daerah
disesuaikan dengan kebutuhannya, bukan berdasarkan pendapatannya. Jika
pendapatannya lebih besar daripada kebutuhannya maka sisanya akan
didistribusikan ke wilayah lain yang membutuhkan. Demikian pula
sebaliknya. Dengan demikian ketimpangan ekonomi antarwilayah dapat
dihindari.
Sistem ekonomi Islam juga menekankan konsep keseimbangan ekonomi (at-tawâzun al-iqtishâdiyyah) untuk
mencegah ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Oleh karena itu,
Khalifah berkewajiban untuk memastikan setiap individu rakyat terpenuhi
kebutuhan pokoknya baik pangan, sandang dan perumahan serta menyediakan
pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan dan keamanan secara
gratis. Khalifah berkewajiban membantu warganya untuk mendapatkan
lapangan kerja, termasuk memberikan bantuan modal baik yang bergerak dan
tidak bergerak sehingga mereka dapat hidup mandiri dengan layak. Mereka
yang tergolong lemah dan tidak wajib berkerja seperti anak-anak dan
orang tua wajib disantuni oleh keluarganya atau oleh negara jika
keluarganya tidak ada atau tidak mampu.
Selain itu, penerapan sistem Islam akan
menciptakan ekonomi yang sehat dan stabil. Berbagai kegiatan ekonomi
yang diharamkan oleh Islam seperti riba, judi, spekulasi dan penimbunan
harta akan dieliminasi. Sistem mata uang yang digunakan berbasis emas
dan perak, bukan mata uang kertas (fiat money) yang sangat
tidak stabil. Lebih dari itu, dengan menerapkan Islam, kebahagiaan tidak
hanya akan dirasakan di dunia namun juga akhirat kelak. Allah SWT
berfiman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
WalLahu a’lam bi ash-Shawab.
[Muhammad Ishaq, Anggota Lajnah Mashlahiyah DPP HTI]
Catatan Kaki:
1 Jalan Perubahan untuk Indonesia
yang Mandiri, Berdaulat dan Berkepribadian: Visi Misi dan Program Aksi
Jokowi-JK 2014, Bidang Ekonomi No. 8 (2)
2 Ibid, No.8 (7) dan (8)
3 Ibid, No.6 (1).a; No.7
4 Ibid, No. 3.(1).c & d, No.4
5 Ibid, No. 5(6); No. 15 (8)
6 Ibid, No.5 (3) & (9)
7 Ibid, No. 3.(2).b ; No. 3(5) & (6);
8 Muhammad Husain Abdullah (1996), Mafahim Islamiyyah Jilid 2. Beirut: Darul Bayariq, hlm. 21