Seusai menghadap presiden SBY untuk audiensi tentang kesiapan penyelenggaraan perayaan puncak Natal 2012, ketua panitia Perayaan Natal Nasional, Nafsiah Mboy yang juga menteri kesehatan, menyatakan bahwa presiden SBY dan wapres Boediono akan turut menghadiri perayaan puncak Natal nasional yang akan diselenggarakan tanggal 27 Desember. Mboy juga menyatakan, “Presiden mengharapkan penyelenggaraan puncak perayaan Natal 2012 bersifat inklusif, dan dapat dirasakan semua pihak, tidak hanya oleh umat Kristiani. ” (lihat, antaranews.com, 7/12).
Ancam Akidah Umat
Selama bulan Desember, negeri Islam ini yang mayoritas penduduknya muslim, tampil bak negeri kristen di Eropa. Di toko-toko, supermarket, perusahaan swasta, sampai instansi pemerintahan hari natal disambut dengan meriah. Acara TV pun dipenuhi dengan film, dokumentar, talkshow, berita, entertainment yang bertemakan natal.
Bagi pemeluk agama Nashrani tentu sah-sah saja merayakan natal. Tapi ‘memblow up’ demikian rupa kegiatan Natal, dan memberlakukannya untuk dan agar diikuti oleh semua orang, bisa menyakiti umat Islam. Di super market dan mall-mall yang tentu saja mayoritas pengunjungnya umat Islam disuguhkan lagu-lagu natal terus menerus. Tidak hanya itu, karyawan sampai satpam yang kita yakin mayoritasnya muslim “diharuskan” memakai atribut Natal seperti topi Santa Claus, dll.
Umat pun diseru untuk mengucapkan selamat Natal dan bila perlu ikut merayakan atau memfasilitasinya. Semua itu dikatakan sebagai wujud nyata toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Anggapan seperti itu sangat berbahaya. Seolah-olah siapa yang tidak mau ikut merayakan atau memberikan ucapan selamat Natal dianggap tidak toleran. Anggapan itu jelas keliru dan dangkal.
Umat Islam harus mewaspadai seruan-seruan untuk merayakan atau mengucapkan selamat Natal, termasuk harapan presiden SBY di atas. Sebab dibalik seruan itu ada bahaya besar yang bisa mengancam aqidah umat Islam. Seruan berpartisipasi dalam perayaan Natal, tidak lain adalah kampanye ide pluralisme yang mengajarkan kebenaran semua agama. Menurut paham pluralisme, tidak ada kebenaran mutlak. Semua agama dianggap benar. Itu berarti, umat muslim harus menerima kebenaran ajaran umat lain, termasuk menerima paham trinitas dan ketuhanan Yesus.
Seruan itu juga merupakan propaganda sinkretisme, pencampuradukan ajaran agama-agama. Spirit sinkretisme adalah mengkompromikan hal-hal yang bertentangan. Dalam konteks Natal bersama dan tahun baru, sinkretisme tampak jelas dalam seruan berpartisipasi merayakan Natal dan tahun baru, termasuk mengucapkan selamat Natal. Padahal dalam Islam batasan iman dan kafir, batasan halal dan haram adalah sangat jelas. Tidak boleh dikompromikan !
Paham pluralisme dan ajaran sinkretisme adalah paham yang sesat. Kaum Muslimin haram mengambil dan menyerukannya. Allah SWT telah menetapkan bahwa satu-satunya agama yang Dia ridhai dan benar adalah Islam. Selain Islam tidak Allah ridhai dan merupakan agama yang batil (lihat QS Ali Imran [3]: 19). Karena itu Allah SWT menegaskan:
] وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ [
Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi (TQS Ali Imran [3]: 85)
Haram Merayakan dan Mengucapkan Selamat Natal
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “selamat” artinya terhindar dari bencana, aman sentosa; sejahtera tidak kurang suatu apa; sehat; tidak mendapat gangguan, kerusakan dsb; beruntung; tercapai maksudnya; tidak gagal. Dengan begitu ucapan selamat artinya adalah doa (ucapan, pernyataan, dsb) yang mengandung harapan supaya sejahtera, tidak kurang suatu apa, beruntung, tercapai maksudnya, dsb.
Perayaan Natal adalah peringatan kelahiran Yesus Kristus (nabi Isa al-Masih as) yang dalam pandangan Nashrani dianggap sebagai anak Tuhan dan Tuhan Anak. Lalu bagaimana mungkin, umat Islam disuruh mendoakan agar orang yang berkeyakinan bahwa Isa as adalah anak Tuhan, Tuhan anak dan meyakini ajaran Trinitas, agar orang itu selamat, tidak kurang suatu apa dan beruntung? Padahal jelas-jelas Allah SWT menyatakan mereka adalah orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72-75) yang di akhirat kelak akan dijatuhi siksaaan yang teramat pedih.
Umat Nashrani menganggap Isa bin Maryam as sebagai anak Allah. Anggapan seperti itu merupakan kejahatan yang besar. Allah SWT menegaskan:
] تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (90) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (91) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا [
hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. (TQS Maryam [19]: 90-92)
Bagaimana bisa kita diminta mengucapkan selamat kepada orang yang meyakini, merayakan dan menyerukan sesuatu yang di hadapan Allah merupakan kejahatan besar seperti itu?
Tentang Perayaan Natal Bersama (PNB), PNB adalah salah satu media untuk menyebarkan misi Kristen, agar umat manusia mengenal doktrin kepercayaan Kristen, bahwa dengan mempercayai Tuhan Yesus sebagai juru selamat, manusia akan selamat. MUI telah mengeluarkan fatwa melarang umat Islam untuk menghadiri PNB. Fatwa itu dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, yang isinya antara lain menyatakan: (1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram (2) Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240, sudah diterangkan, bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram. Muhammadiyah dalam hal ini juga mengacu kepada fatwa MUI itu.
Allah SWT berfirman:
]وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا[
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS al-Furqan [25]: 72).
Makna ayat ini bahwa mereka tidak menghadiri az-zûr. Jika mereka melewatinya, mereka segera melaluinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun oleh az-zûr itu (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, iii/1346).
Menurut sebagian besar mufassir, makna kata az-zûr (kepalsuan) di sini adalah syirik (Imam asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, iv/89). Menurut beberapa mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, adh-Dhahhak, ar-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, az-zûr itu adalah hari raya kaum Musyrik. (Tafsir Ibnu Katsir, iii/1346).
Kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna az-zûr, tidak menghadirinya (Fath al-Qadîr, iv/89). Hal itu lebih sesuai dengan konteks kalimatnya, dimana sesudahnya ayat tersebut menyatakan (artinya)“Dan apabila mereka melewati (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS al-Furqan [25]: 72).
Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Ahmad berkata: “Kaum Muslimin telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani.“ Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum Muslimin diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”.
Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslimin dilarang untuk merayakan hari raya kaum musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula bagi kaum Muslimin menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, i/235).
Rasul saw sejak awal melarang kaum muslim ikut merayakan hari raya ahlul Kitab dan kaum musyrik. Dari Anas ra bahwa ketika Rasulullah saw datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari raya (hari raya Nayruz dan Mihrajan) yang mereka rayakan, maka Rasul saw bersabda:
«قَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ»
“Sungguh Allah SWT telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan idul Fithri.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i dengan sanad yang shahih).
Wahai Kaum Muslimin
Sungguh amat berbahaya bila hari ini umat justru diseru agar menggadaikan akidahnya dengan dalih toleransi dan kerukunan umat beragama. Begitulah yang terjadi ketika hukum-hukum Allah dicampakkan. Tidak ada lagi kekuasaan berupa al-Khilafah yang melindungi aqidah umat ini. Islam dan ajarannya serta umat Islam terus dijadikan sasaran. Karena itu kita harus makin gigih menjelaskan Islam dan menyerukan syariah dan Khilafah. Sebab hanya dengan syariah dan Khilafahlah, aqidah umat Islam terjaga sekaligus menjamin kesejahteraan dan keamanan umat manusia baik muslim maupun orang-orang kafir. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
[Al Islam 635]
Komentar:
“Kadang-kadang saya pun merasa frustasi (dalam) memberantas korupsi”, kata Presiden saat memberi sambutan pada puncak peringatan Hari Antikorupsi dan Hari HAM se-Duna di Istana Negara, Senin (10/12) (Republika, 11/12).
- Seharusnya Presiden memberi contoh mulai dari dirinya sendiri, para pejabat tinggi dan orang-orang dekat Presiden.
- Wajar saja frustasi, sebab memang hampir mustahil memberantas korupsi dalam sistem kapitalisme demokrasi. Karena faktor utama korupsi adalah sistem politik biaya tinggi yaitu sistem demokrasi.
- Jika benar-benar serius memberantas korupsi, campakkan kapitalisme demokrasi, terapkan Syariah Islamiyah dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.