Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani tidak pernah mengharamkan kepercayaan kepada masalah gaib yang dibawa oleh Hadits Ahad. Memang benar bahwa menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani meng-i’tiqad-kan hal yg datang dari hadits ahad itu haram. Namun, bukan berarti beliau mengharamkan kepercayaan kepada apa yang terkandung di dalam hadits ahad berupa hal-hal yang terkait dengan masalah gaib atau yang serupa dengan masalah aqidah. Sebab, yang diharamkan hanyalah meng-i’tiqad-kannya, yakni menganggapnya sebagai suatu perkara yang harus diyakini secara penuh dengan puncak keyakinan tanpa toleransi terhadap adanya penyangkalan barang sedikit pun. Tindakkan tersebut berarti meletakkan apa yang ada dalam hadits ahad sebagai masalah yang pasti (qath’i) dalam agama. Ini juga berarti memperlakukan suatu perkara yang dzonniy di atas kapasitasnya sebagai suatu perkara yang dzonniy.
Adapun jika kita mempercayai masalah-masalah tersebut dengan kepercayaan yang kuat (dzonny) bahwa apa yang ada di dalam hadits ahad itu adalah haq, maka itu tidaklah haram. Tindakkan ini adalah memperlakukan hadits ahad sesuai dengan kapasitasnya sebagai sesuatu yang dzonny.
Syaikh Taqiyuddin menyatakan:
“Namun, perlu diketahui bahwa yang diharamkan adalah i’tiqad, bukan sekedar kepercayaan. Percaya itu tidak masalah, boleh, tetapi yang diharamkan adalah i’tiqad, yaitu pembenaran yang pasti, dialah yang haram karena merupakan pembenaran pasti yang dibangun diatas dzonn, padahal Allah telah mencela orang yang membangun aqidahnya di atas dzonn. Hanya saja, tidak adanya i’tiqad bukan berarti ingkar, namun pengertiannya tiada lain hanyalah tidak adanya kepastian saja. Sehingga tidak mengi’tiqadkan sesuatu bukan berarti mengingkarinya, akan tetapi maknanya hanyalah tidak memastikannya. Aspek yang rumit ini harus diperhatikan dengan sempurna, sebab terdapat hadits-hadits shahih dzonniyah dalam perkara-perkara yang tergolong masalah aqidah, bukan tergolong masalah hukum syara’, sehingga pengharaman i’tiqad terhadap dzonn bukan berarti menolak hadits-hadits tersebut dan bukan pula tidak mempercayai apa yang terkandung di dalamnya” (Izalatul Atribah wal Ghubar ‘an Judzuri Syajaratil Islam, hal 7)
Sikap seperti Ini diambil karena kepercayaan (tashdiq) itu faktanya jelas-jelas memiliki tingkatan. Adakalanya kepercayaan itu bersifat penuh tanpa ada peluang salah sedikit pun. Kepercayaan jenis ini tidak menerima toleransi, memastikan kesalahan orang yang mengingkari atau meragukannya disebabkan karena dalil/bukti yang ada memang bersifat pasti benarnya (qath’i). Kepercayaan yang bulat inilah yang disebut i’tiqad atau iman. Perkara ‘ilmiyyah (non-’amaliyyah) yang didukung oleh bukti yang pasti akan menjadi bagian dari Aqidah Islam dan mereka yang mengingkari atau meragukan perkara qath’i itu dianggap kafir terhadap aqidah.
Namun ada kalanya, kepercayaan terhadap suatu perkara itu berupa pembenaran yang dianggap rajih (kuat), ini terjadi ketika dalil yang menopangnya dianggap dapat dipercaya meski pun tidak sampai pada level pasti benar atau tidak mungkin salah. Hasilnya, seseorang akan jauh lebih percaya terhadap kebenaran dalil itu daripada menyangkalnya, sehingga dia mengambil sikap untuk percaya atau membenarkan. Inilah yang disebut tashdiq (pembenaran atau kepercayaan). Hanya saja, berbeda dengan perkara yang didukung oleh dalil qath’i, kita tidak boleh mengkafirkan orang-orang yang mengingkari atau meragukan perkara-perkara yang tidak didukung oleh dalil yang tidak qath’i, meski pun kita mempercayainya dan tidak menyepakati pengingkaran atau keraguan mereka. Ini karena seseorang tidak boleh dianggap murtad alias meninggalkan aqidah kecuali jika ia mengingkari perkara yang qath’i dalam Islam. Wallahu a’lam (titokpriastomo.com/Voa-Khilafah)