Khilafah Hanya Perkara Ijtihadi .?


 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhkqU0r9LllsyYLdaPutlN5tZF5VufWV82EXog8hM3vMem1GEsQG164dsTuGPM1_7u5ww11b70sfe8Spe45yNmQ4yw_O-oIOHoY1baqcx6bbfeOLbF8gjDs3GcL-zgPqT44dhce9eN9KIk/s1600/1920x1800.jpg
Voa-Khilafah.tk - Untuk mengendorkan motivasi umat Islam dalam memperjuangkan khilafah, orang-orang yang menolak khilafah atau yang agak malu-malu untuk menolaknya sering mengatakan, “khilafah memang wajib menurut sebagian ulama, tapi dalilnya tidak qath’i, kewajiban khilafah ini hanya masalah ijtihadisaja”. Tujuan perkataan itu adalah ingin meyakinkan umat Islam bahwa khilafahbukan satu-satunya pilihan, khilafah bukan hukum qath’i yang mengikat umat Islam sehingga tidak ada pilihan lain selain khilafah. Sebab, ketika khilafah itu hanya “sekedar ijtihad”, berarti masih sah untuk menandinginya dengan “ijtihad” yang lain. Jawabnya untuk pernyataan tersebut minimal ada tiga:
Jawaban Pertama
Sejak kapan kita diharuskan untuk mengajukan dalil qath’i dalam menetapkan hukum syara’? masalah khilafah –apakah wajib atau tidak- merupakan kajian hukum syara’, bukan masalah aqidah. Sementara, sudah umum diketahui bahwa penetapan hukum syara’ itu tidak mengharuskan dalil qath’i, cukup dalil yang bersifat dzonni yang dianggap rajih (kuat) saja. Maka untuk mengatakan bahwa khilafah itu wajib kita memang tidak diharuskan mendatangkan dalil qath’i, cukup dalil-dalil yang dianggap kuat.
Sama seperti pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa zakat fittrah hukumnya wajib. Mereka cukup mendatangkan dalil dzonni yang dipandang rajih untuk menetapkan kewajiban tersebut (perlu diketahui bahwa dalam masalah ini ada khilafiyah, sebagian ulama Malikiyah generasi awal hanya mensunahkan zakat fitrah dengan dalil-dalil mereka). Contoh lain adalah khitan bagi laki-laki. Jumhur ulama mengatakan hukumnya wajib, namun apakah mereka punya dalil qath’i yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa khitan bagi laki-laki itu wajib? (ingat, sebagian kecil ulama hanya mensunahkan khitan bagi laki-laki dengan berpegang pada beberapa dalil).  Contoh lain adalah kewajiban membasuh kaki dalam wudhu. Dalilnya juga tidak qath’i, maka kita temukan ada segelintir ulama yang mengatakan bahwa kaki tidak perlu dibasuh dalam wudhu, cukup diusap saja.
Lantas jika demikian apakah kita kemudian boleh dengan seenaknya mengabaikan kewajiban-kewajiban yang ada hanya dengan alasan bahwa kewajiban-kewajiban tersebut tidak didukung oleh dalil qath’i tanpa alasan yang matang? Apakah kita pantas mengatakan, “tidak perlu zakat fitrah, toh dalilnya tidak qath’i”, atau “anak kita tidak perlu dikhitan karena khitan memang wajib, tapi dalilnya tidak qath’i”, atau “tidak perlu harus membasuh kaki dalam wudhu, bisa diusap saja, karena dalil membasuh tidak qath’i”, apa begitu? Tentu saja tidak kan?
Untuk menolak kewajiban-kewajiban yang tidak qath’i itu kita harus menghadirkan dalil-dalil syara’ yang lebih kuat dari dalil-dalil yang digunakan untuk mewajibkannya. Maka, untuk menolak khilafah, kita jangan hanya mengatakan “ah dalil khilafah tidak qath’i”, tapi, kita harus mengajukan dalil-dalil syara’ yang lebih kuat yang menunjukkan bahwa khilafah itu tidak wajib guna menolak kewajiban khilafah. Jika kita tidak mampu menghadirkannya, maka sudah selayaknyalah kita menerima kewajiban tersebut berikut dalil-dalilnya.
Jawaban Kedua
Jika dikatakan bahwa khilafah itu “hanya” hasil ijtihad, maka dengan bahagia saya katakan: “Alhamdulillah, khilafah adalah hasil ijtihad jumhur ulama’, sedangkan sistem pemerintahan lain, seperti sistem demokrasi, sama sekali bukan dihasilkan dari proses ijtihad, samasekali tidak diambil dari dalil-dalil syara’, dan tidak ada kaitannya dengan Islam”.
Saya katakan demikian karena suatu hasil ijtihad sebenarnya bukanlah gagasan yang bisa kita anggap sebagai sekedar “pendapat manusia” layaknya pendapat John Locke atau Plato. Itu karena ijtihad maknanya -menurut al-Amidi- adalah “mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai dalam batas merasa tidak mampu lagi untuk mendapatkan tambahan kemampuannya itu”.
Dari definisi di atas, kita dapat memahami bahwa ijtihad adalah usaha maksimal dari seorang mujtahid untuk mengetahui hukum syara’ dari suatu masalah. Maka, hasil ijtihad adalah hukum syara’ yang telah dipahami dengan sekuat tenaga oleh seseorang yang memiliki keahlian dalam menggali hukum-hukum syara’ dari sumber-sumbernya (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Seorang mujtahid ketika berijtihad tidak melakukan perenungan untuk menggali pendapatnya sendiri, melainkan dia meneliti nash-nash syara’ untuk menggali dan mendapatkan hukum Allah atas masalah yang ingin ia ketahui hukumnya.Maka, kemampuan yang dimaksud di sana adalah kemampuan berijtihad, berupa ketrampilan untuk menggunakan ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang diperlukan untuk menggali hukum syara’, baik kaidah-kaidah syar’i maupun kaidah-kaidah kebahasa-araban.
Di sisi lain, manusia yang merumuskan pemikirannya tanpa mengacu pada nash-nash syara’, gagasannya tidak digali dari dalil-dalil syara’; tidak dilakukan dengan mengerahkan segala ilmu yang diperlukan dalam memahami dalil-dalil syara’; dan tidak dilakukan dalam rangka mengungkap hukum Allah dalam suatu masalah yang bersifat dzonni, maka pemikiran yang dihasilkannya itu tidak layak disebut ijtihad. Oleh karena itu, pemikiran manusia seperti Socrates, Aristoteles, John Locke, Rouseou, Bentham, Marx dll tidak bisa disetarakan dengan hukum syara’ yang dihasikan melalui proses ijtihad yang dilakukan oleh Ibrahim An-Nakha’i, Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri, Syafi’i, Dawud adz-dzohiri, dll. Sebab, kelompok pertama adalah : para pemikir yang berfikir untuk menggali pemikiran mereka sendiri; sedangkan kelompok kedua adalah: para mujtahid yang berfikir dan mengerahkan ilmu mereka untuk menggali hukum Allah dari dalil-dalil syara’. Kelompok pertama sekedar menghasilkan “gagasan manusia”, sedangkan kelompok kedua menghasilkan “hukum syara’” meski bersifat dzonni karena ada dalam batas usaha manusia untuk memahaminya.
Maka dari itu, jika benar bahwa khilafah “hanya” hasil ijtihad para ulama, maka ini sama sekali bukan cela. Justru ini merupakan pujian. Sebab, hasil ijtihad para ulama adalah hukum syara’ yang lahir dari usaha maksimal para ulama dalam menelaah dalil-dalil syara’ dengan ilmu yang mereka miliki. Sehingga, dengan bahagia saya mengatakan, “alhamdulillah, khilafah adalah hukum syara’, hasil ijtihad yang digali oleh para ulama dari nash-nash syara’, sedangkan sistem yang lain, seperti demokrasi, hanyalah hasil usaha manusia dalam memeras gagasan mereka sendiri tentang pemerintahan yang ideal”.
Yang Ketiga:
Oke-lah jika kita mau meremehkan khilafah karena khilafah itu “hanya” ijtihad, bukan hukum yang qath’i. Tapi bagaimana jika ijtihad itu dihasilkan oleh hampir seluruh ulama dan hanya segeelintir orang yang menolaknya? Kita telah menyatakan bahwa ada perselisihan dalam hukum zakat fitrah, dimana sebagian ulama malikiyah generasi awal tidak mewajibkannya dan menganggapnya sebagai amalan sunnah saja. Namun, dalam kenyataannya, meski terjadi perbedaan pendapat, kita tidak berani seenaknya mengatakan “kita tidak perlu bersikeras mengamalkan zakat fitrah, toh ada perbedaan pendapat dalam hal itu”. Jika dalam soal yang terkenal diperselisihkan saja kita tidak berani mengkatakan seperti itu, lantas bagaimana terhadap khilafah atau imamah yang kewajibannya hampir menjadi kesepakatan seluruh ulama?(kecuali sedikit yang menolaknya)
Yang saya maksud dengan khilafah adalah batasan minimal khilafah, yakni kepemimpinan umum (imamah) atas umat Islam di seburuh dunia yang berfungsi untuk menegakkan syariah dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru bumi, inilah yang menjadi kesepahaman bersama di antara ulama-ulama yang kredibel di tengah umat.
Terkait dengan hal ini, Ibnu Hazm menyatakan: “Seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji’ah, seluruh Mu’tazilah, seluruh Syi’ah dan seluruh Khowarij sepakat mengenai wajibnya imamah, dan (sepakat) bahwa fardhu dan wajib bagi umat untuk tunduk kepada seorang imam yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, serta mengurus mereka dengan syari’ah yang dibawa oleh Rasulullah saw kecuali golongan Najdat dari khowarij”.[1] Beliau juga menyatakan, “dan mereka bersepakat bahwa tidak boleh ada dua imam bagi kaum muslimin pada satu waktu di seluruh belahan dunia, baik kedua imam itu saling sepakat (berdamai) atau pun tidak (berebut), baik keduanya di tempat yang sama maupun di dua tempat yang berbeda.[2]
Imam Adz-Dzahabi menyatakan: “Ahlus Sunnah, Mu’tazilah, Murji’ah, Khowarij dan Syi’ah telah menyepakati kewajiban Imamah serta (menyepakati) bahwa wajib bagi umat untuk tunduk kepada seorang imam yang adil, kecuali kelompok Najdiyah dari golongan Khowarij, mereka berkata: imamah tidaklah wajib, manusia hanyalah wajib menjalankan kebenaran (al haq) di tengah-tengah kehidupan mereka, dan ini pendapat yang gugur. Semua kelompok yang kami sebutkan sebelumya sepakat bahwa hanya boleh ada satu imam dalam satu waktu, kecuali Muhammad bin Karrom dan Abu Shobbah As Samarqondi beserta pengikut mereka berdua, mereka membolehkan keberadaan dua imam atau lebih dalam satu waktu.” [3]
Syaikh Abdur Rahman Al-Jazairi menyatakan, “Para imam -semoga Allah merahmati mereka- telah bersepakat bahwa Al Imamah itu wajib, sebab umat harus memiliki seorang pemimpin guna menegakkan syariat-syariat agama serta membela orang-orang yang terdzolimi dari kedzaliman orang-orang dzalim, dan bahwa tidak boleh ada dua orang imam bagi kaum muslimin di seluruh dunia dalam satu waktu, baik dua imam tersebut saling sepakat  atau pun tidak.[4]
Demikianlah, kewajiban akan adanya pemerintahan yang dipimpin oleh seorang imam atau khalifah bagi seluruh umat Islam didunia ini hampir menjadi kesepahaman para ulama. Lantas apakah kita akan menyepelekan pendapat mereka itu dan menyatakan bahwa khilafah “sekedar” ijtihad yang tidak mengikat pilihan umat Islam pada masa sekarang?

[1] Ibnu Hazm, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa wa an-Nihal, juz IV (Beirut: Dar al-Jil, 1996) h. 150
[2] Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma’ fi al-Ibadat wa al-Mu’amalat wa al-Mu’taqadat (Beirut:Dar al-Afaq al-Jadidah) h.144
[3] Syamsuddin adz-Dzahabi, al-Muqaddimah az-Zahra fi Idhah al-Imamah al-Kubra (Kairo: Dar al-Furqan, 2008) h.12
[4] Abdur Rahman al-Jazairi, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah (Kairo: Dar al-Hadits, 2004) h. 321

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers