Voice of Khilafah - Kepolisian adalah alat utama negara dalam menjaga keamanan. Dalam
negara khilafah, urusan keamanan negara ditangani oleh Departemen
Keamanan Dalam Negeri, yang dipimpin oleh Direktur Keamanan Dalam
Negeri. Departemen ini mempunyai Kantor Wilayah di setiap wilayah.
Kantor Wilayah Keamanan Dalam Negeri di wilayah tersebut dipimpin oleh
Kepala Kepolisian di wilayah itu.
Secara hirarki birokrasi, Kepala Kepolisian yang mengepalai Kantor
Wilayah Keamanan Dalam Negeri di suatu wilayah berada di bawah
Departemen Keamanan Dalam Negeri, tetapi secara teknis pelaksanaan tugas
di lapangan (wilayah) berada di bawah Wali (Kepala Daerah tingkat I).
Semua fungsi dan tugasnya diatur dalam UU khusus. Departemen Keamanan
Dalam Negeri ini juga berhak untuk menggunakan polisi kapan saja, di
mana perintahnya bersifat mengikat.
Jika dalam kondisi tertentu, polisi tidak sanggup mengatasi gangguan
keamanan, maka Departemen Keamanan Dalam Negeri bisa meminta bantuan
tentara (jaisy). Dalam hal ini, Departemen Keamanan Dalam
Negeri berkewajiban melaporkannya kepada khalifah, kemudian khalifahlah
yang berhak menginstruksikan tentara untuk membantu Departemen Keamanan
Dalam Negeri, atau dengan memberikan support dengan sejumlah
personel militer untuk membantu Departemen Keamanan Dalam Negeri dalam
menjaga keamanan dalam negeri. Atau, urusan apa saja yang dipandang
perlu oleh khalifah. Tetapi, khalifah juga berhak menolak pengajuan
Departemen Keamanan Dalam Negeri, serta menginstruksikan agar cukup
dengan kesatuan polisi saja.
Jenis Polisi
Yang bisa menjadi polisi adalah laki-laki baligh dan warga negara
khilafah. Selain laki-laki, perempuan juga berhak untuk menjadi polisi.
Keberadaannya dalam rangka melaksanakan tugas-tugas yang harus dilakukan
oleh kaum perempuan, yang terkait langsung dengan masalah keamanan
dalam negeri. Dalam hal ini, semua tugas dan fungsinya diatur dalam UU
khusus, sesuai dengan ketentuan hukum syara’.
Polisi ini juga bisa dibagi menjadi dua: Pertama, polisi militer. Kedua, polisi yang menjadi alat kekuasaan. Mereka mempunyai uniform
(seragam) tersendiri. Tanda dan simbol yang khas untuk menjaga
keamanan. Sedangkan polisi militer merupakan satuan tentara, yang
mempunyai identitas yang menonjol dibanding tentara yang lain, untuk
mendisplinkan urusan tentara. Polisi militer ini bagian dari tentara,
yang mengikuti Panglima Perang (Amir al-Jihad), atau berada di bawah Departemen Perang.
Karena itu, polisi yang berada di bawah tangan penguasa, sebagai alat
kekuasaan, adalah polisi biasa, bukan polisi militer. Dalam hal ini,
satuan polisi ini berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri.
Dalam hadits Bukhari dituturkan, “Qais bin Sa’ad ketika itu berada di depan Nabi SAW layaknya kepala polisi dengan amir (kepala negara).” Qais bin Sa’ad di sini adalah Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah al-Anshari al-Khazraji.
Meskipun boleh saja khalifah menetapkan seluruh kepolisian, baik
polisi biasa maupun polisi militer, berada di bawah tentara, atau di
bawah Departemen Perang. Boleh juga dipisah, dan dijadikan satu dengan
Departemen Keamanan Dalam Negeri. Semuanya diserahkan kepada pandangan
dan ijtihad khalifah.
Jika khalifah nanti memilih untuk dipisah, maka polisi yang bertugas
menjaga keamanan dalam negeri ini merupakan alat kekuasaan, yang berada
di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Departemen ini merupakan
struktur tersendiri yang langsung berada di bawah khalifah, sebagaimana
struktur pemerintahan yang lain.
Tugas dan Fungsi
Sebagai alat kekuasaan untuk menjaga keamanan dalam negeri,
keberadaan polisi sangat penting. Baik yang bersifat pencegahan maupuan
penindakan. Beberapa tindakan yang dianggap bisa mengancam keamanan
dalam negeri adalah: (1) Murtad dari Islam; (2) Memisahkan diri dari
negara; (3) Menyerang harta, jiwa dan kehormatan manusia; (4) Penanganan
Ahl ar-Raib.
Jika orang murtad tadi perorangan, maka setelah diberi kesempatan
bertaubat dan tenggat 3 hari, tidak mau kembali, lalu divonis hukuman
mati, maka polisilah yang melakukan eksekusi hukuman mati tersebut.
Namun, jika mereka berkelompok, maka mereka bisa diajak kembali. Jika
mereka mereka bertaubat, dan kembali, lalu terikat dengan hukum Islam,
maka mereka dibiarkan. Tetapi, jika tetap kukuh dengan sikapnya, jika
jumlahnya sedikit, dan cukup bisa ditangani oleh polisi, maka polisilah
yang akan memerangi mereka.
Namun, jika polisi tidak mampu, karena jumlahnya besar, maka bisa
mengajukan kepada khalifah untuk menambah personel satuan militer guna
membantunya. Jika itu pun tidak cukup, maka bisa meminta khalifah untuk
menerjunkan militer secara penuh untuk memerangi mereka.
Menghadapi kelompok separatis, jika mereka tidak bersenjata, misalnya
hanya membuat onar, merusak, membakar, demo dan menduduki pos-pos
vital, dengan menyerang kepemilikan pribadi, negara dan umum, maka untuk
mengatasi ini polisi bisa diterjunkan oleh Departemen Keamanan Dalam
Negeri. Namun, jika polisi tidak bisa mengatasinya, Departemen Keamanan
Dalam Negeri bisa meminta khalifah menerjunkan personel satuan militer,
sampai tindakan destruktif ini benar-benar bisa dihentikan.
Namun, jika gerakan separatis ini bersenjata, menguasai tempat, serta
merupakan milisi yang tidak bisa diatasi oleh Departemen Keamanan Dalam
Negeri hanya dengan polisi, maka Departemen Keamanan Dalam Negeri bisa
meminta kepada khalifah untuk menerjunkan personel satuan militer, atau
militer penuh sesuai dengan kebutuhan. Tetapi, sebelum diperangi, mereka
harus diajak negosiasi. Jika mereka mau kembali, maka tidak perlu
diperangi. Jika tidak, maka mereka diperangi untuk memberi pelajaran
kepada mereka maupun yang lain.
Untuk mengatasi penyerangan terhadap harta, jiwa dan kehormatan
masyarakat, seperti begal, perampok, dan sebagainya, maka cukup
diserahkan kepada polisi. Bisa untuk mengejar, menangkap, membunuh,
menyalib dan atau membuang mereka. Tetapi, jika penyerangan terhadap
harta dilakukan melalui pencurian, korupsi, misalnya; penyerangan
terhadap jiwa dilakukan melalui pemukulan, pembunuhan, misalnya;
penyerangan terhadap kehormatan dilakukan melalui tuduhan zina, dan
sebagainya, maka tindakan pencegahannya tidak perlu menggunakan polisi.
Untuk mencegah dan menindak beberapa kejahatan di atas bisa dilakukan
dengan pengawasan dan penyadaran, kemudian eksekusi keputusan hakim
terhadap pelaku tindak kejahatan tersebut.
Kesimpulan
Kepolisian bukan departemen atau badan yang berdiri sendiri, langsung
di bawah kepala negara. Karena ia merupakan alat kekuasaan yang berada
di tangan penguasa. Kewenangannya pun dibatasi oleh UU. Tetapi, sebagai
alat kekuasaan, tugas dan fungsinya jelas mulia, untuk menegakkan
kemakrufan dan mencegah kemungkaran.
Dengan tugas dan fungsi tersebut, kepolisian jauh dari kepentingan
kelompok, partai atau orang-orang tertentu. Dia bekerja untuk sistem,
bukan person, kelompok atau kroni.
Untuk menjalankan tugasnya itu, polisi harus mempunyai karakter yang unik, seperti keikhlasan, akhlak yang baik, seperti sikap tawadhu’, tidak sombong dan arogan, kasih sayang, tindak tanduknya baik, seperti murah senyum, mengucapkan salam, menjauhi perkara syubhat, bijak dan lapang dada, menjaga lisan, berani, jujur, amanah, taat, berwibawa dan tegas.
Inilah karekter polisi dalam Islam. Wallahu a’lam.
[Oleh: Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI]
[Oleh: Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI]
Sumber: Tabloid MediaUmat Edisi 144
http://hizbut-tahrir.or.id/2015/02/13/kepolisian-dalam-negara-khilafah/