Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) : Sri Sultan HB X Ungkap Hubungan Khilafah Utsmaniyah dengan Tanah Jawa

Pembukaan KUII VI di Pagelaran Kraton Yogyakarta, Senin (09/02). (foto: KRYogya)
Voice of Khilafah - Sri Sultan Hamengku Buwono X mengungkapkan hubungan Khilafah Utsmaniyah dengan tanah Jawa. “Sultan Turki Utsmani meresmikan Kesultanan Demak pada tahun 1479 sebagai perwakilan resmi Khalifah Utsmani di tanah Jawa,” ujarnya saat memberikan sambutan dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta, Senin (9/2).

Peresmian tersebut, lanjut Sri Sultan, ditandai dengan penyerahan bendera hijau bertuliskan kalimat tauhid. “Bendera hadiah Sultan Utsmani masih tersimpan baik di Keraton Yogya,” ujarnya.

Menurutnya, Sultan Turki pula yang mengukuhkan Raden Fatah sebagai khalifatullah di Jawa. “Perwakilan Khilafah Turki di Tanah Jawa, ditandai dengan penyerahan bendera hitam dari kiswah Ka’bah bertuliskan kalimat tauhid, dan bendera hijau bertuliskan Muhammad Rasulullah,” bebernya.

Sri Sultan juga menyebutkan pada 1903 saat dilakukan kongres khilafah di Jakarta, Sultan Turki mengutus M Amin Bey yang menyatakan haram hukumnya penguasa Muslim tunduk pada Belanda.

Ia juga menyebut atas dorongan Sultan, salah satu abdi ngarso dalem Sultan Yogja kemudian mendirikan organisasi Muhammadiyah. “Dialah KH Ahmad Dahlan!” tegasnya.
 
Terkait KUII, Sri Sultan pun berpesan. “Ulama punya dua peran yaitu tanggung jawab kepemimpinan dan penunjuk arah. Oleh sebab itu, badan pekerja kongres harus berani melakukan amar maruf nahi munkar pada pemerintah dan umat Islam, khususnya saat terjadi ketidakpastian seperti sekarang,” pungkasnya.
 

Berikut kutipan pidato Sri Sultan Hamengkubuwono X selengkapnya:

Kongres Umat Islam ke-6 yang diselenggarakan di Yogyakarta dan kini pembukaannya Insya Allah berlangsung di Pagelaran Kraton Yogyakarta, mengandung makna simbolik sebuah ziarah spiritual, karena bangunan Pagelaran ini disangga oleh 64 buah tiang yang menandai usia Rasulullah Saw dan perhitungan tahun Jawa.

Sehingga, Kongres yang dirancang untuk napak laku Kongres sebelumnya yang juga dilaksanakan di Yogyakarta, (7-8 November 1945, Red) akan memberi makna historis, agar umat Islam melakukan introspeksi diri dan retrospeksi atas perjalanan sejarahnya.

Pada 1479, Sultan Turki mengukuhkan R. Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Laa ilaah illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau. Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki.

Ketika 1935 Ataturk mengubah sistem kalender Hijriyah menjadi Masehi, jauh pada zaman Sultan Agung tahun 1633 telah mengembangkan kalender Jawa dengan memadukan tarikh Hijriyah dengan tarikh Saka. Masa itu sering disebut sebagai awal Renaisans Jawa.

Jika kita melakukan retrospeksi, dalam sejarah pergerakan Islam modern disebutkan, pada abad 19-20 muncul gerakan kebangkitan Islam. Pelopornya adalah Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal dan Ali Jinah. Mereka menganjurkan agar kaum Muslim membumikan ijtihad dan jihad fi sabilillah, serta memperkokoh solidaritas Islam.

Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa keberangkatan KH Ahmad Dahlan, yang saat itu adalah abdi dalem Kraton, justru atas dorongan dan dukungan Sri Sultan HB VII. Bakda membaca dalam "Tafsir AL Manaar" karya Abduh, pada 1912 ia pun mendirikan perserikatan Muhammadiyah di Yogyakarta.

Dalam artikel: "Indonersianisme dan Pan-Asiatisme", Bung Karno menulis "...abad-20 sudah tidak menjadi abad perbedaan warna kulit lagi, tapi sudah berubah menjadi abad yang memberikan jawaban terhadap problem of the colour-line.

Dalam tuylisan lain, "Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara?", Bung Karno mengutip tulisan Frances Woodsmall, "Moslem Women Enter A New World", bahwa Turki Modern adalah anti-kolot, anti sosial lahir dalam hal ibadah, tetapi tidak anti agama.

Islam sebagai kepercayaan person tidaklah dihapuskan, sembahyang di masjid-masjid tidaklah diberhentikan, aturan-aturan agama pun tidak dhihgapuskan. "Kita datang dari Timur, Kita berjalan menuju ke Barat", demikian entri point artikel Bung Karno tersebut mengutip tulisan Zia Keuk Alp.

Di tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa Belanda, dengan merujuk ajaran Islam "Hubbul wathan minal iman" (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Dari kongres inilah benih-benih dan semangat kemerdekaan membara.

Dalam bukunya: "The Rising Tide of Colour Against White World-Supremcy" (1920), Lothrop Stoddard mendalilkan keruntuhan supremasi kolonialisme Barat, karena cepatnya pertumbuhan (tide=pasang naik) populasi penduduk kulit berwarna. Dalam buku berikutnya, "The New World of Islam" (1921), ia meramalkan kebangkitan Dunia Islam di awal abad-20 untuk meraih kembali kejayaan masa silam adalah suatu keniscayaan sejarah.

Lalu, apa relevansinya uraian tersebut dalam konteks Kongres ini? Diharapkan Kongres ini menjadi jembatan antara penguasa dan rakyat melalui media forum komunikasi dan silaturahmi ulama. Sebagai forum ulama, paling tidak harus mencerminkan dua peran keualamaan, mas'uliyyatur ri'ayah -tanggungjawab kepemimpinan- dan ahdillatut thariqah -petunjuk jalan. Dengan dua peran utama itu, Kongres ini harus membawa aspirasi umat tanda membeda-bedakan mazhab sesuai fungsinya sebagai khadimul ummah -pelayan umat.

Sebagai wadah berkumpulnya para ulama, cendekiawan dan tokoh Muslim dalam beragam Mazhab, Badan Pekerja Kongres harus berani menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar, berupa dakwah, pendirikan serta memberi nasihat politik berbasis keagamaan kepada pemerintah dan umat Islam atas suatu perkara, terutama saat terjadinya ketidakpastian seperti sekarang ini. Sehingga segala kebijakan, fatwa dan sikapnya selalu mengacu pada kemashlahatan umat atas dasar ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah basariyah.

Dengan tema: "Penguatan Peran Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya yang Berkeadilan dan Berperadaban", berarti tidak hanya mencakup masalah ibadah atau ubudiyah, tetapi juga kemashlahatan di dunia, menyangkut mu'amalah -hubungan sosial- yang berkorelasi dengan urusan politik. Dengan berpedoman pada pendapat Bung Karno tersebut, kiranya Kongres ini akan menemukan solusi di jalan lurus-Nya.

Dengan harapan seperti itulah, Pemerintah dan Rakyat Yogyakarta menyambut digelarnya Kongres Umat Islam Indonesia ke-6 ini. Semoga Allah Swt melimpahkan berkah serta rahmat-Nya, agar Kongres ini memberikan kemashlahatan bagi umat, bangsa dan negara dan rakyat Indonesia. Jangan sampai membuat bingung umat Islam, laksana biji-biji tasbih yang lepas dari tali perangkainya. Akhirul kalam, "Selamat ber-Kongres, semoga Sukses!"

Tertanda

Hamengku Buwono X
 
Selengkapnya bisa mendengarkan audio yang bisa diunduh di sini
 
[dari berbagai sumber, Voa-Khilafah]
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers