Voa-Khilafah.com - Dari kasus bocah malang Angeline, orangtua kandung tak pernah menemui Angeline selama menjadi anak angkat oleh pasangan WNI-WNA di Bali hingga Angeline ditemukan tewas. Apakah mengangkat anak akan memutuskan hubungan dengan orangtua kandungnya?
"Pengangkatan anak tidak pernah memutuskan hubungan darah dengan orangtua kandung. Itu tertulis dalam peraturan kita," tegas Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa saat dihubungi, Jumat (12/6/2015).
Peraturan yang dimaksud Mensos Khofifah Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. PP 54/2007 tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Dalam PP itu, orangtua angkat wajib menceritakan pada anak saat sudah sampai pada umur tertentu bahwa dia anak angkat. Anak pada umur tertentu itu sudah harus layak untuk menerima informasi itu. PP terang sekali bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah," jelas Khofifah.
Bahkan bila keluarga yang mengangkat anak itu memiliki anak kandung, anak kandung juga berhak mendapat penjelasan bahwa dia memiliki saudara angkat.
Selain itu PP tentang pengangkatan anak mengatur bahwa satu keluarga tidak boleh mengangkat anak lebih dari 2 anak angkat. Bila bermaksud mengangkat 2 anak, maka jarak minimal dari pengangkatan anak pertama dan kedua adalah 2 tahun.
"Jarak 2 tahun baru boleh mengadopsi anak lagi. Kecuali anak kembar yang diangkat pada saat yang sama," tuturnua.
Angeline diadopsi oleh Margriet dan suaminya saat berusia 3 hari. Saat itu Hamidah, ibu kandungnya, belum memberi nama bayi itu. Selama proses adopsi orangtua kandung tidak boleh bertemu dengan si anak hingga berusia 18 tahun. Adopsi itu dilakukan karena Hamidah tidak mampu menebus biaya persalinan di rumah sakit sebanyak Rp 800 ribu. (DetikCom, 12/06/2015)
Bagaimanakah Hukum Mengadopsi Anak dalam Islam?
Berikut ini penjelasan KH. Muhammad Shiddiq al Jawi dalam Tabloid Mediaumat Edisi 114:
Adopsi dalam istilah fiqih Islam disebut dengan “tabanni”, yang didefinisikan sebagai perbuatan seseorang menjadikan anak orang lain sebagai anak kandungnya. (M. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha`, hlm. 90; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/120).
Adopsi sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab pada masa jahiliyah, yaitu sebelum diutusnya Muhammad SAW sebagai rasul. Anak yang diadopsi saat itu diperlakukan sebagai anak kandung dalam berbagai aspek hukumnya, misalnya dinasabkan kepada ayah angkatnya, mendapat waris dari ayah angkatnya, bekas istrinya tak boleh dinikahi oleh ayah angkatnya, dsb. Adopsi ini masih dibolehkan hingga masa awal Islam. Namun kemudian kebolehannya di-nasakh (dihapus) saat turunnya surat Al Ahzab ayat 4 dan 5 yang mengharamkan adopsi atas umat Islam secara mutlak. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/508; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/121).
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Islam telah mengharamkan mengadopsi anak dan membatalkan segala akibat hukumnya. Allah SWT berfirman (artinya) : “Dan Dia [Allah] tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanya perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (TQS Al Ahzab [33] : 4). Allah SWT juga berfirman (artinya) : “Panggilan mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai (nama) ayah-ayah mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” (TQS Al Ahzab [33] : 5).
Dengan ayat-ayat ini, Islam telah mengharamkan dan membatalkan tradisi adopsi anak dan memerintahkan orang yang mengadopsi anak untuk tak menasabkan anak angkat kepada dirinya, melainkan kepada ayah kandung anak itu sendiri. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/121).
Maka dari itu, segala bentuk peraturan dalam hukum positif Indonesia yang membolehkan adopsi anak, adalah peraturan kufur yang melawan dan bertentangan dengan syariah Islam. Misalnya Staatblaad tahun 1917 No 129 dan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) No. 6 Tahun 1983. Semua peraturan ini adalah peraturan kufur sehingga secara mutlak haram diterapkan oleh pemerintah saat ini dan haram pula diamalkan oleh umat Islam.
Siapa saja Muslim yang mengamalkan peraturan itu seraya meyakini kebenarannya dan mengingkari haramnya adopsi anak dalam Alquran, berarti telah murtad (keluar dari agama Islam). Adapun yang mengamalkan tapi tak meyakini kebenarannya, juga tak mengingkari haramnya adopsi anak dalam Alquran, ia masih dihukumi Muslim (tak murtad), tapi tetap berdosa besar (kaba`ir). (Abdurrahman Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 44; Imam Dzahabi, Al Kaba`ir, hlm. 154-155; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 40/233).
Namun meski Islam mengharamkan mengadopsi anak, Islam tak mengharamkan sepasang suami istri mengasuh anak orang lain bersama mereka, misalnya anak yatim, anak pungut (al laqiith), atau anak orang fakir/miskin. Dalam arti, anak itu sekadar mendapat pemeliharaan dan nafkah yang layak, namun tak diperlakukan sebagai anak kandung sendiri. Misal tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, tetap tak mendapat hak waris, tetap tak mendapat perwalian nikah (jika anak itu perempuan), dan tetap diperlakukan sebagai ajnabi (bukan mahram) jika sudah baligh apabila memang tak termasuk mahram bagi suami/istri tersebut. (Yusuf Qaradhawi, Al Halal wa Al Haram fi Al Islam, hlm. 198-199).
Jika demikian halnya, hukumnya boleh dan tidak haram. Karena hal itu tidak termasuk mengadopsi anak, melainkan termasuk perbuatan memberi bantuan/pertolongan kepada sesama muslim, yang telah dibenarkan berdasarkan dalil-dalil umum dari Alquran dan As Sunnah. Allah SWT berfirman (artinya) : “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (TQS Al Ma`idah [5] : 2). Sabda Rasulullah SAW, ”Dan Allah akan selalu menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya selalu menolong saudaranya.” (HR Muslim no 2699; Tirmidzi no 1995). Wallahu a’lam.
(www.voa-khilafah.com)