Hukum Tak Berpuasa Ramadhan Tanpa Udzur Syar’i

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya meninggalkan shaum Ramadhan tanpa alasan syar’i? Apa sanksinya bagi orang tersebut menurut Syariah Islam? (Hamba Allah, Bogor).

Jawab :

Muslim yang meninggalkan puasa Ramadhan tanpa udzur syar’i misalnya sakit atau sedang dalam perjalanan, berarti telah melakukan dosa besar (itsmun kabiir) dan berhak mendapatkan sanksi di dunia dan azab di akhirat. Syekh Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidhah berkata :

”Siapa saja muslim yang meninggalkan puasa Ramadhan, dan bahkan yang sekedar melalaikannya [misalnya berbuka sebelum waktunya], sungguh dia berhak mendapatkan azab yang pedih di akhirat dan lebih-lebih lagi dia juga mendapatkan sanksi dari negara Khilafah di dunia.” (Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam Ash Shiyam, hlm. 54).

Azab yang pedih di akhirat tersebut, antara lain dijelaskan dalam hadits dari Abu Umamah Al Bahili RA, bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda :

”Pada saat saya tidur, (dalam mimpiku) tiba-tiba datang kepadaku dua orang laki-laki, lalu keduanya memegang lenganku dan membawaku ke sebuah gunung yang terjal. Keduanya mengatakan,’Naiklah!’ Aku menjawab,’Aku tidak mampu naik.’ Keduanya berkata,’Kami akan membantumu naik.’ Lalu aku pun naik dan sampai ke puncak gunung. Tiba-tiba aku mendengar teriakan yang sangat keras. Aku bertanya,’Suara apakah ini?’ Mereka menjawab,’Ini adalah teriakan penghuni neraka.’ Kemudian aku melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba aku melihat orang-orang digantung pada urat-urat di atas tumit mereka (secara terjungkir), yang sobek-sobek pada sudut mulut mereka, dan darah pun mengalir dari sudut-sudut mulut mereka.’ Aku berkata,’Siapakah orang-orang ini?’ Kedua laki-laki itu menjawab,’Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya [meninggalkan puasa Ramadhan].” (HR An Nasa`i, dalam As Sunan Al Kubra, no 3286; Al Hakim, dalam Al Mustadrak, no 1568, Shahih Ibnu Khuzaimah, no 1986; Shahih Ibnu Hibban, no 7491. Kata Imam Al Hakim,”Hadits ini shahih menurut syarat Imam Muslim.” Lihat Mahmud ‘Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam Ash Shiyam, hlm. 54; Abdurrahman Al Harafi, Ahkamush Shiyam, hlm. 26; Ahmad Huthaibah, Al Jami’ li Ahkam Ash Shiyam, hlm. 27).

Selain hadits tersebut, juga terdapat hadits-hadits lain yang menunjukkan betapa tercelanya perbuatan meninggalkan puasa Ramadhan tanpa udzur syar’i. Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

”Barangsiapa yang berbuka [meninggalkan puasa] satu hari dari bulan Ramadhan tanpa ada suatu rukhshah yang ditetapkan Allah, maka dia tidak dapat mengqadha`-nya dengan puasa setahun penuh walaupun dia melakukan puasa setahun penuh.” (HR An Nasa`i, dalam As Sunan Al Kubra, no 3283; Ahmad, dalam Al Musnad, 2/386, no 9002. Hadits ini dinilai hasan oleh Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Jami’ Al Shaghir, 2/166).

Demikian pula, muslim yang menjual makanan/minuman kepada muslim yang tak berpuasa, padahal dia tahu pembelinya itu tak berpuasa Ramadhan tanpa udzur syar’i, maka penjual itu juga turut berdosa dan turut memikul dosa yang sama dengan dosa pembeli. Kaidah fiqih menyatakan :

Kullu bai’in a’aana ‘ala ma’shiyatin haraam. (Setiap jual beli yang membantu suatu kemaksiatan hukumnya haram). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1035, syarah hadits no 2193). Kaidah fiqih lain menetapkan :

Man a’ana ‘ala ma’shiyatin fahuwa syariik[un] fi al itsmi. (Barangsiapa membantu suatu kemaksiatan, maka dia telah bersekutu dalam dosa kemaksiatan itu). (Syarah Ibnu Bathal, 17/207).

Adapun sanksi dari negara Khilafah, berupa ta’ziir, yaitu sanksi yang bentuk dan kadarnya tidak ditetapkan secara khusus oleh syariah. Jika sanksi ta’ziir-nya tidak diadopsi oleh Imam (Khalifah), maka qadhi (hakim) berhak menentukan sendiri ta’ziir-nya. Menurut Syekh Abdurrahman Al Maliki, seorang muslim yang tak berpuasa pada bulan Ramadhan tanpa udzur syar’i, maka dia dijatuhi sanksi penjara selama 2 (dua) bulan untuk setiap hari tak berpuasa. Jika dia tak berpuasa secara terbuka di hadapan umum seraya menodai kesucian bulan Ramadhan, maka sanksinya ditambah dengan penjara hingga maksimal 6 (enam) bulan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 200).

Wallahu a’lam.
(Ustadz Shiddiq al Jawi)

[hizbut-tahrir.or.id/ www.voa-khilafah.com]

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers