Voa-Khilafah.com - Pada dasarnya, hubungan badan antara suami dan istri yang sah menurut Islam boleh dilakukan di mana saja, sepanjang memenuhi tuntutan syariat. Begitu juga jika melakukannya di kamar mandi, misalnya. Mengapa di kamar mandi? Tidak di dapur, di ruang tamu, dan ruang lainnya? Ini dikarenakan, kamar mandi bisa disebut menjadi bagian rumah pribadi yang ada di kamar tidur suami-istri (orang tua). Selain itu, banyak hadist yang menyebutkan tentang mandi bersama Rasulullah dengan istrinya.
Berhubungan badan di kamar mandi sesungguhnya merupakan sebuah variasi. Variasi berjima' diperlukan bagi pasangan suami-isteri untuk terus menjaga gairah bercinta dan sikap saling menyayangi diantara keduanya. Dan diantara variasi yang mungkin bisa dilakukan adalah bagaimana berjima' di kamar mandi.
Meskipun bercinta dilakukan kamar mandi, namun suasana keindahan, kenyamanan dan kebersihan tetaplah harus diperhatikan. Untuk menambah gairah diantara keduanya bisa terlebih dahulu memberikan pengharum kamar mandi dan saling memberikan wangi-wangian ke tubuh pasangannya terlebih dahulu. Ingat, tujuan utamanya kan bukan untuk mandi seperti biasanya tetapi untuk berjima'.
Aisyah ra berkata, “Aku memberikan wewangian ke tubuh Rasulullah saw kemudian dia menggilir para isterinya, kemudian pada pagi harinya dia mengenakan pakaian ihram.” (HR. Bukhori)
Ibnu Hajar mengatakan, “Perkataan menggilir isterinya adalah istilah untuk berjima' yang mewajibkannya mandi. Dan disebutkan di dalam hadits itu bahwa Aisyah memberikan wewangian ke tubuh Rasulullah saw sebelumnya dan pada pagi harinya beliau sudah mengenakan ihram.” Ia menambahkan , “Ibnu Bathol mengatakan, ’Disunnahkan bagi laki-laki dan wanita untuk memakai parfum / wewangian saat bersetubuh.” (Fathul Bari juz I hal 458)
Pada saat mandi, suami isteri bisa saling menciduk air secara bergantian dan menyirami tubuh pasangannya dan membersihkannya. Atau suami isteri juga bisa berada didalam satu wadah yang bisa menampung keduanya, seperti bak mandi atau bathup, tidak mengapa kalaupun saling melihat aurat diantara mereka berdua. Dan hendaklah menghindari kemubadziran didalam penggunaan air.
Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata, “Aku pernah mandi bersama Nabi saw dalam satu bejana yang disebut al Farq.” (HR. Bukhori). 1 farq = 16 kati = ±18 liter.
Ad Dawudi menggunakan hadits ini sebagai dalil diperbolehkannya seorang laki-laki melihat aurat isterinya atau sebaliknya. Hal ini dikuatkan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalan Sulaiman bin Musa bahwasanya dia ditanya tentang seorang laki-laki yang melihat kemaluan isterinya maka dia menjawab, “Saya bertanya (tentang hal yang sama) kepada Atho’. Maka dia menjawab,’Aisyah pernah bertanya (tentang hal ini) maka beliau menyebutkan hadits ini.” Artinya hadits ini menjadi dalil dalam permasalahan ini. (Fathul Bari juz I hal 438)
Diriwayatkan dari Abi Salamah bin Abdurrahman mengatakan, “Telah berkata Aisyah, ‘Aku mandi bersama Rasulullah saw dalam satu bejana dan kami sama-sama dalam keadaan junub.” (HR. Muslim)
Dari Aisyah ra berkata, “Aku pernah mandi bersama Nabi saw dari satu bejana, tangan kami saling bergantian menciduknya.” (HR. Muslim)
Jadi meskipun bercinta dilakukan di kamar mandi hendaklah suami isteri tetap memperhatikan kepuasan masing-masing pasangannya, tidak tergesa-gesa untuk menyelesaikannya. Orang-orang barat menyebut aktivitas jima' dengan istilah ber cinta dan jika kita lihat dari kaca mata islam sepertinya pengistilahan tersebut sah-sah saja selama tidak bertentangan dengan rambu-rambu syariat. Jima' cenderung dilakukan terburu-buru dan ingin cepat selesai tanpa memperhatikan pemanasan (mula’abah) dan kepuasan pasangannya, sebaliknya dengan ber cinta. Wallohu a'lam. [islampos/eramuslim/www.voa-khilafah.com]