Voa-Khilafah.co.cc - Berbicara
tentang kebangkitan sebuah bangsa, kita harus menetapkan dulu apa
definisi kebangkitan itu; apa indikator sebuah bangsa dikatakan telah
bangkit, maju, kuat dan mandiri; juga sebaliknya, kapan bangsa itu itu
disebut bangsa yang gagal, terbelakang, lemah dan pengekor.
Pertama-tama kita bisa menggunakan definisi yang relatif berlaku umum. Bangkit
berarti bangun dari suatu kondisi yang dianggap memiliki kemampuan
lebih rendah, misalnya dari posisi berbaring ke duduk, dari duduk
menjadi berdiri, dan dari berdiri menjadi berjalan atau berlari. Dalam
konteks sosial-politik, bangkit adalah berubah dari posisi “mati”
(statis) menjadi “hidup” (dinamis) secara sosial-politik.
Dari sisi kualitas, bangkit menuju hidup ini ada tiga tingkatan (level), yaitu:
1) Level-1: bergerak ke arah yang positif (self-build), tidak merusak diri sendiri (self-destroy);
2) Level-2: melakukan sesuatu yang ada hasilnya (produktif), yang tidak habis sekali pakai;
3) Level-3: memberikan sesuatu yang kontributif kepada orang banyak atau masa sesudahnya.
Untuk
ukuran sebuah bangsa, bangsa yang statis adalah bangsa yang sepenuhnya
bergantung kepada bangsa lain, baik dalam perkara mempertahankan
hidupnya, menjaga martabatnya, maupun mewujudkan cita-citanya. Kehidupan maupun keamanannya ada di tangan bangsa lain. Bahkan mungkin untuk pangan, air dan energi harus disuplai atau disubsidi bangsa lain. Hukum yang berlaku dan siapa penguasa yang menjalankan hukum itu sepenuhnya juga ditentukan bangsa lain. Tentu
saja, apa saja yang dianggap baik yang perlu diperjuangkan sebagai
cita-citanya juga diberikan oleh bangsa lain yang menguasai bangsa
tersebut. Bangsa tersebut menjadi “bangsa robot” meski mungkin memiliki
kemajuan material yang tinggi seperti adanya konstruksi pencakar langit,
pabrik-pabrik, perkebunan, pertambangan besar, atau penggunaan teknologi transportasi atau informasi yang canggih. Namun,
semua kemajuan material ini dirancang asing, dioperasikan di bawah
supervisi asing dan keuntungannya juga paling banyak dinikmati oleh
asing.
Sebuah
bangsa dikatakan keluar dari kondisi statisnya ketika dia mulai
merintis untuk memiliki kemauan dan kemampuan sendiri guna
mempertahankan kehidupannya, menjaga martabatnya dan mewujudkan
cita-citanya. Proses inilah yang sering disebut perjuangan kemerdekaan. Persoalannya, sejauh mana kualitas “merdeka” setelah bangkit tersebut?
Sebuah
bangsa dapat dikatakan telah bangkit pada Level-1 ketika setelah
merdeka benar-benar bergerak positif, kondisinya tidak sama atau makin
buruk dengan sebelumnya. Namun, jika setelah “merdeka”
kemudian terjadi perang saudara, ekonomi memburuk, pendidikan tidak lagi
berjalan, dan di jalanan berlaku hukum rimba, maka Level-1 ini pun
tidak tercapai. Baru setelah Level-1 tercapai, bangsa itu dapat meraih Level-2 atau Level-3.
Level-2
adalah ketika kebangkitannya itu memberi dirinya kemampuan untuk
produktif, menghasilkan SDM cerdas berkualitas, membuat sendiri
fasilitas produksi yang mampu membuat dirinya mandiri, sekalipun belum
lebih maju dari capaian material yang dimiliki negara lain. Intinya
bukan kualitas capaian materialnya, tetapi bahwa itu dirancang sendiri,
dioperasikan sendiri dan keuntungannya lebih untuk mereka sendiri.
Pada Level-3, mereka benar-benar dapat memberikan kontribusi ke luar, bahkan ke masa sesudahnya. Kontribusi ini bergantung pada visi yang dia emban; bisa positif, bisa negatif. Mereka bisa membebaskan atau memajukan bangsa lain, bisa pula menjajah bangsa lain.
Peta Kebangkitan Dunia
Saat ini ada bangsa-bangsa yang statis, misalnya sejumlah negeri jajahan Inggris, Prancis, Rusia atau Amerika. Irlandia
Utara adalah jajahan Inggris dan Puerto Rico adalah negeri di Caribia
jajahan Amerika Serikat. Sekalipun di sana ada kemajuan material,
faktanya bangsa itu adalah bangsa “robot”. Mereka bergantung total pada politik negara penjajahnya.
Sebagian negara jajahan pernah bergolak menuju kemerdekaan, misalnya Chechnya di Rusia, atau Irlandia Utara di Inggris. Meski
negeri tersebut sudah dimasukkan sebagai provinsi penuh dari negara
penjajahnya, dan rakyatnya dianggap memiliki hak yang sama dengan rakyat
di provinsi lain, mereka tetap merasa tidak puas karena merasa memiliki
martabat dan cita-cita yang berbeda. Hal yang mirip pernah
terjadi di Nusantara saat menjadi sebuah koloni Negeri Belanda dengan
adanya seorang gubernur jenderal yang memerintah Hindia-Belanda.
Lalu ada bangsa-bangsa merdeka pada Level-1 yang sudah berangsur-angsur bergerak ke arah positif, seperti Vietnam atau Malaysia. Walau
mungkin belum semaju Malaysia, Indonesia dapat dikatakan juga sedang
menuju Level-1, dengan indikator bahwa sejak merdeka secara umum hampir
tak ada lagi perang saudara yang berkepanjangan, walaupun masih ada
bentrokan kecil-kecilan atau separatisme di daerah rawan konflik seperti
di Papua. Ekonomi Indonesia juga secara umum tidak lagi
memburuk dengan cepat; pangan atau energi masih relatif mudah diperoleh
walaupun cenderung makin mahal dan utang negara semakin besar. Pendidikan bisa berjalan walaupun masih ada jutaan rakyat yang kesulitan mengaksesnya. Di jalanan hukum juga sedikit-banyak bisa berjalan walaupun ada mafia peradilan.
Namun, kebangkitan di Indonesia dapat dikatakan gagal mencapai Level-2. Level-2
dapat dikatakan telah diraih oleh negara-negara maju seperti
Skandinavia, Switzerland atau negara berkembang seperti Cina atau India,
bahkan oleh negara yang lebih kecil seperti Iran atau Venezuela. Cina dan India dalam tiga dekade terakhir dapat dikatakan berhasil mentransformasi masyarakatnya menjadi cerdas dan mandiri. Mereka
berhasil merancang sendiri banyak hal terkait teknologi dan industri,
mengoperasikannya sendiri, dan mereguk keuntungannya sendiri. Meski
produk mereka belum sekaliber negara-negara adidaya, mereka sudah tidak
akan melemah oleh suatu embargo, bahkan mereka mulai disegani di kancah
global.
Karena Indonesia gagal meraih kebangkitan Level-2, maka tentu saja gagal meraih Level-3. Level-3
saat ini dimiliki oleh negara-negara adidaya atau mantan adidaya
seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia dan mungkin ditambah
Jepang atau Jerman. Umat Islam hanya memiliki negara pada Level-3 pada masa lalu, yakni Daulah Khilafah.
Pada masa Orde Lama, Soekarno ingin dengan cepat mentransformasi Indonesia yang baru saja merdeka menuju kebangkitan Level-3. Secara politik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno berusaha tegak, tidak mengekor politik negara adidaya saat itu. Namun, fakta di lapangan, jangankan Level-3, Level-1 pun saat itu belum tercapai. Memang tentara penjajah tidak lagi bercokol di Indonesia, tetapi perang saudara saat itu masih berkecamuk di mana-mana. Inflasi sangat tinggi, harga-harga meroket dan rate-pendidikan sangat rendah.
Pada
masa Orde Baru, Soeharto belajar dari pengalaman Soekarno, mencoba
membangun Indonesia secara terencana dan berkelanjutan. Soeharto bahkan
membangun berbagai industri strategis seperti PT IPTN, PT PAL, PT PINDAD
dsb. Sayangnya, mayoritas ekonom dan teknokrat yang
direkrut Soeharto kurang mandiri sehingga mengikuti arahan nyaris total
dari asing. Ini tampak pada kebijakan utang luar negeri,
pembuatan berbagai instrumen hukum yang lebih pro kapitalis (kurang pro
UKM) serta kebijakan politik yang lebih represif. Semua ini ditambah
lagi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang justru ditunjukkan secara
mencolok oleh keluarga Presiden. Akibatnya, kebangkitan Level-1 pun
justru ditinggalkan lagi. Pada akhir kekuasaan Soeharto, ekonomi dengan
cepat memburuk dimulai dari krisis moneter menjadi krisis ekonomi, dan
krisis multidimensi, termasuk perang saudara yang meluas di Aceh, Ambon,
Poso dll, Industri strategis yang telah disiapkan
ditelantarkan kembali dan ribuan SDM cerdas yang pernah dididik
ramai-ramai hengkang ke luar negeri.
Orde Reformasi sempat memberikan harapan. Krisis ekonomi sementara dapat diatasi. Perang saudara dapat diredam. Namun, liberalisasi yang membonceng reformasi justru membuat kebangkitan Level-1 saja semakin sulit didekati kembali. Berbagai perundangan yang dibuat di era reformasi justru membuat negeri ini makin “ramah” (baca: “dikuasai”) investor asing. Akibatnya,
kesempatan kerja makin berkurang; semakin banyak rakyat yang kehilangan
daya beli dan di sisi lain rakyat semakin tidak terurus oleh para
petualang politik yang naik ke kekuasaan (legislatif dan eksekutif)
melalui proses demokrasi yang sarat permainan uang.
Faktor Ideologi
Di dunia, ada bangsa dengan ideologi yang bermacam-macam berhasil bangkit hingga ke Level-3. Amerika bangkit dengan Kapitalisme. Soviet dulu bangkit dengan Sosialisme. Yang
membedakan hanya pada Level-3 ini kontribusi seperti apa yang
dihasilkan oleh bangsa itu. Faktanya, dua ideologi itu menebar kerusakan
di luar negeri. Penjajahan, eksploitasi sumberdaya alam dan penggunaan tenaga kerja yang nyaris seperti budak menjadi menu sehari-hari. Sosialisme bahkan dalam jangka panjang tidak berhasil mempertahankan keberlangsungan negara Soviet. Sekarang Kapitalisme sedang menjadikan Amerika diujung tanduk.
Indonesia mengklaim menjadikan Pancasila sebagai ideologi kebangkitannya. Namun, ada yang terlupa, bahwa Pancasila sebenarnya baru sekadar falsafah, belum berupa ideologi yang lengkap. Karena
itu, dalam praktiknya, Pancasila bisa ditarik-tarik ke arah sosialis
seperti pada masa Orde Lama, ke arah kapitalis seperti pada masa Orde
Baru, atau ke arah kapitalis-liberal seperti pada era Reformasi.
Hanya
ideologi intelektual yang sehat dan secara rinci menunjukkan tak cuma
tentang cita-cita, tetapi juga jalan yang terang untuk meraih cita-cita
itu, yang akan mampu mengantarkan Indonesia ke kebangkitannya, tak hanya
Level-1, tetapi hingga Level-3. Ideologi seperti itu ada
dalam Islam. Pengalaman empiris dari sejarah menunjukkan bahwa itu hanya
akan terjadi bila kita meraih cita-cita itu melalui kendaraan berupa
Daulah Khilafah yang akan menerapkan seluruh paket sistem syariah.
Dengan
ideologi Islam, visi kebangkitan sangat jelas, yaitu sampai mampu
mewujudkan umat terbaik yang mampu melakukan amar makruf nahi mungkar
dan beriman kepada Allah (QS 3: 110). Tugas ini memerlukan tipe-tipe manusia muttaqin,
mereka yang hanya takut kepada Allah saja dan taat kepada semua yang
diperintahkan syariah. Selanjutnya kebangkitan Level-1, 2, 3 akan
terwujud dengan sendirinya seiring dengan penerapan syariah yang kaffah dan istiqamah.
Untuk konteks Indonesia, faktor ideologi ini juga akan berpengaruh pada seberapa cepat kebangkitan akan diraih. Karena
85% rakyat Indonesia adalah Muslim dan berbagai survei menunjukkan
mereka masih memiliki ikatan emosional dan spiritual Islam yang tinggi,
maka sudah seharusnya ideologi yang dipakai untuk membangkitkan adalah
ideologi Islam.
Inilah
rahasia mengapa kebangkitan Level-1 pun tidak sepenuhnya kita raih,
karena kita lengah tidak menggunakan ideologi Islam sebagai ideologi
kebangkitan. Hanya dengan ideologi Islam, tak cuma kebangkitan Level-1 yang akan kita raih, tetapi juga Level-2 dan Level-3.
Dalam
konteks materialisme seperti pada bangsa Barat, kualitas suatu bangsa
memang diukur dari produk peradaban (teknologi, industri, seni,
arsitektur, dll). Namun, dalam konteks Islam, ukuran yang
standar adalah kontribusi bangsa itu dalam amar makruf nahi munkar kelas
dunia. Itulah kebangkitan yang kita dambakan. WalLahu a’lam. [Prof. Dr. Fahmi Amhar]