Voice of Al Khilafah - Sudah menjadi rahasia umum di antara orang / pejabat Belanda bahwa banyak sultan di Indonesia memberikan baiat (sumpah kesetiaan dan kepatuhan)-nya kepada Khalifah di Istanbul. Dengan itu secara efektif membuat kaum Muslim menjadi warga negara Khilafah (Negara Islam).
Kaum Muslim di Aceh adalah yang paling menyadari akan status mereka. Koran Sumatera Post menulis tentang ini pada tahun 1922, “Sesungguhnya kaum Muslim Aceh mengakui Khalifah di Istanbul.”
Bukan hanya itu, mereka juga mengakui fakta bahwa tanah mereka adalah bagian dari Negara Islam. Ini adalah salah satu alasan atas perlawanan sengit mereka melawan Belanda. Sebagaimana yang diakui Koran Sumatra Post tahun 1922: “Pada hari ini, serangan-serangan atas kami menjadi hal penting karena merupakan sikap mentalitas atas ide Perang Suci (jihad fi sabilillah, pen.)“.
Khalifah juga mengirimkan perwakilannya ke Indonesia untuk mendukung kaum Muslim. Koran Het Nieuws van den Dag, misalnya, melaporkan tentang seorang konsul dari Khalifah di Batavia bahwa dia mendukung gerakan mengembalikan Islam (Khilafah, pen.): “Di Indonesia hanya ada satu konsul, yakni di Batavia, dan dia telah menunjukkan antusiasme yang besar bagi gerakan mengembalikan Islam. Oleh karena itu, pemerintah memintanya untuk diganti.”
Koran yang sama menginformasikan kepada pembacanya pada tahun 1912 bahwa Khalifah mengirimkan misi rahasia ke Indonesia untuk mendukung kaum Muslim Indonesia, “Konsul Belanda di Konstantinopel telah memperingatkan pemerintah bahwa utusan rahasia Muhammedan telah dikirim dari Turki ke Indonesia yang dikuasai Belanda, dengan tugas memotivasi orang-orang Islam (untuk memberontak kepada penjajah).”
Begitulah suasana dan semangat perjuangan para tokoh Islam pada masa pendudukan penjajah Belanda untuk mengembalikan syariah Islam dalam ranah politik. Apa yang ditulis oleh koran-koran pada waktu itu, baik koran lokal Indonesia maupun koran yang terbit di Belanda, ternyata secara gamblang menunjukkan bahwa pada masa pendudukan penjajah Belanda telah terjalin hubungan yang baik bangsa Nusantara dengan Khilafah Turki Utsmani. Bukan hanya hubungan ‘pertemanan’ namun lebih dari itu yakni hubungan ‘kenegaraan’. Oleh karena itu, perjuangan formalisasi syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan bukanlah perjuangan individual para tokoh-tokoh, namun merupakan perjuangan yang di- back up langsung oleh institusi Khilafah di Turki saat itu.
Pasca Khilafah Ustmani hancur pada tahun 1924, perjuangan untuk mengembalikan Khilafah berlangsung di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dr. Deliar Noer menulis bahwa penghapusan Kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan di Dunia Islam pada umumnya, yang mulai berpikir tentang pembentukan suatu kekhilafahan baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang Khilafah pada bulan Maret 1924. Sebagai sambutan atas maksud ini, dibuatlah Komite Khilafah yang didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. Guliran usul ini selanjutnya diperkuat dalam Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924, yang antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.1
Pada kongres Al-Islam di Bandung yang sejatinya hanya memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KH Abdul Wahab Hasbullah, atas nama kalangan tradisi, mengajukan usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa seperti dalail al-khairat, ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Makkah dan Madinah. Karena terdapat ‘friksi’ dalam masalah inilah maka kalangan ‘pembaru’ yang lebih dominan dalam Kongres Al-Islam di Bandung ini tidak menyambut baik usul-usul KH Abdul Wahab Hasbullah ini. Akhirnya, beliau dan tiga orang pendukungnya keluar dari Komite Khilafah tersebut di atas.
KH Wahab selanjutnya mengambil inisiatif mengundang dan mengajak para ulama-ulama yang beliau kenal seperti dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, Pati dan masih banyak lagi untuk diajak rapat-rapat membahas masalah hancurnya Khilafah. Dalam rapat-rapat tersebut dihasilkan keputusan bahwa mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Dalam Rapat itu pula diputuskan untuk tetap konsisten menempatkan masalah Hijaz [penegakan kembali Khilafah] sebagai pokok pembicaran utama.2
Perjuangan mengembalikan syariah dan Khilafah ternyata bukan hanya dilakukan oleh KH Wahab semata, tetapi hampir seluruh tokoh Islam. Spirit perjuangan sebagian besar dari mereka adalah memperjuangkan formalisasi syariah Islam walau ada yang tidak secara ‘tegas’ menyatakan Khilafah. Sebut saja Hadji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto. Beliau secara gigih memperjuangkan agar syariah Islam dijadikan sebagai sumber hukum dalam bernegara. Tatkala HOS Cokroaminoto melihat rakyat yang tertindas oleh penjajah kolonial Belanda secara ekonomi dan politik, beliau pun ‘mengejawantahkan’ kegundahan hatinya melalui statemen, “Negara dan bangsa kita tidak akan mencapai kehidupan yang adil dan makmur, pergaulan hidup yang aman dan tenteram selama ajaran-ajaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan menjadi hukum dalam negara kita, sekalipun sudah merdeka.”3
Beliau juga mengatakan bahwa saat itu telah terjadi jahiliah modern. “Kalau alat-alat Pemerintah RI yang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik pihak pejabat sampai bawahan, sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah, yakinlah negara akan rusak dan hancur dengan sendirinya. Sebab segala perbuatan jahat, korupsi, penipuan, suap dan sebagainya yang secara terang-terangan merugikan negara dilakukan dengan aman oleh mereka, rakyat yang menjadi korban.”4
Apa yang disampaikan oleh Cokroaminoto tampak jelas bahwa syariah Islam dijadikan sebagai landasan pikiran, perasaan dan hatinya.
Oemar Said juga menyatakan, “Tidak bisa manusia menjadi utama yang sesungguhnya, tidak bisa manusia menjadi besar dan mulia dalam arti kata yang sebenarnya, tidak bisa ia menjadi berani dengan keberanian yang suci dan utama, kalau ada banyak barang yang ditakuti dan disembahnya. Keutamaan, kebesaran, kemuliaan dan keberanian yang sedemikian itu hanyalah bisa tercipta karena ‘tauhid’ saja. Tegasnya menetapkan lahir batin: tidak ada sesembahan melainkan Allah saja.”5
Muhammad Natsir pun melakukan hal serupa. Berbicara tentang Muhammad Natsir sejatinya tidak bisa dilepaskan dengan perjuangan syariah Islam di Indonesia. Natsir menganggap bahwa agama dan negara harus dipersatukan dalam semangat untuk menegak-kan hukum Allah.6 Artinya, tidak ada pemisa-han antara Islam dan negara. Bahkan Natsir menegaskan bahwa Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual Muslim yang sempit, tetapi pedoman hidup bagi individu, masyarakat dan negara.7
Muhammad Natsir memahami bahwa tugas seorang pemimpin adalah memastikan bahwa hukum-hukum Allah dapat dijalankan dengan baik. Syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin Negara Islam adalah agamanya, sifat dan tabiatnya serta akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya; bukan bangsa, keturunannya ataupun semata-mata karena kapasitas intelektualnya. Islam tidak mengenal lembaga ‘Kepala Agama’ seperti Paus dalam tradisi Katolik. Islam hanya mengenal satu ‘Kepala Agama’, yakni Muhammad Rasulullah saw. Rasulullah Muhammad sudah wafat dan tidak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya. Rasulullah saw. sebagai kepala agama telah meninggalkan satu sistem yang bernama Islam, yang harus dijaga dan dipelihara oleh kaum Muslim. Sistem ini juga harus dijalankan oleh ‘kepala-kepala pemerintahan’ apapun gelarnya, seperti khalifah, amir dan lain sebagainya yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum Muslim. Dia mengambil contoh bahwa para Sahabat Nabi saw. yang pernah menjadi khalifah sesudah beliau seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali tidaklah merangkap jadi ‘Kepala Agama’. Mereka itu hanyalah ‘kepala pemerintahan’ yang menjadikan pemerintahannya menurut aturan yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah Muhammad. Negara, oleh karena itu, bukan merupakan tujuan Islam, tetapi sebagai sarana untuk menegakkan Islam dan merealisasikan aturan-aturan Ilahi yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah.8
Aturan-aturan tersebut lengkap mulai dari sistem pemerintahan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pergaulan dan sistem-sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan lainnya. Karena itu, negara berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan kesempurnaan berlakunya hukum ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri ataupun sebagai anggota masyarakat dalam sebuah negara.
Pergulatan untuk menjadikan syariah Islam sebagai dasar negara tidaklah mudah. Kekuatan-kekuatan yang tidak menginginkan tegaknya syariah Islam berusaha menghadang setiap langkah Natsir di Parlemen. Hal ini bisa tercermin dalam perdebatan di Konstituante pada masa itu. Dalam sidang Konstituante tatkala membahas tentang dasar negara, Natsir secara tegas menjelaskan perbedaan pokok sekularisme dengan Islam. Menurut Natsir, sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap yang hanya di dalam batas keduniaan. “Seorang sekuleris tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia, semata-mata dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang belaka,” ujar M. Natsir.9
Demikian juga yang dilakukan oleh Ki Bagus Hadikusumo, salah satu tokoh Muhammadiyah. Beliau cukup lantang meneriakkan syariah Islam. Beliau memberikan antitesis atas ‘Lima Prinsip Dasar’ yang kemudian dikenal dengan Pancasila yang diajukan oleh Sukarno-Yamin dengan mengajukan pendapat ‘Islam Sebagai Dasar Negara’10 dalam sidang-sidang di BPUPKI. Bahkan, seperti dikutip dalam buku R.M.A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Ki Bagus Hadikusumo lebih tegas lagi meminta kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” ditiadakan sehingga berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.”
Artinya, dalam pandangan Ki Bagus, syariah Islam harus berlaku secara umum di Indonesia.
Tatkala perdebatan mengenai kepala negara, salah satu peserta sidang, Kiai Masykur mempertanyakan dengan nada retorika: “…Kalau dalam Republik Indonesia ada kewajiban menjalankan syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya, padahal Republik Indonesia dikepalai oleh orang beragama lain daripada Islam, umpamanya, apakah keadaan itu dapat dijalankan dengan baik? Dan apakah umumnya golongan Islam dapat menerimanya dan apakah demikian itu tidak jahat?”
Statemen ini membuat sidang BPUPKI menjadi tegang. Ketegangan semakin memuncak tatkala Tuan Abdul Kahar Moezakir mengajukan pendapatnya untuk mempertegas pendapat Kiai Masykur. Ia bahkan sampai menggebrak meja.
Selanjutnya, apa yang disampaikan oleh Tuan Abdul Kahar Moezakir ini didukung penuh oleh Ki Bagus Hadikusumo. Beliau menegaskan: “Saya berlindung kepada Allah terhadap setan yang merusak. Tuan-tuan, dengan pendek sudah kerap kali diterangkan di sini bahwa Islam itu mengandung ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Moezakir tadi; kalau ideologi Islam tidak diterima, (saya) tidak terima! Jadi nyata negara ini tidak berdiri di atas agama Islam dan negara akan netral.”11
Kiai Haji Ahmad Dahlan juga melakukan hal serupa. Beliau menyerukan kepada masyarakat dan para pemimpin bangsa untuk kembali pada syariah Islam. Menurut murid beliau, HR Hadjid, tentang KH Ahmad Dahlan bahwa dalam menggerakkan masyarakat untuk beramal dan berorganisasi KH Ahmad Dahlan berpegang pada prinsip yaitu senantiasa mempertang-gungjawabkan tindakan kepada Allah.12 Ini berarti bahwa setiap tindakan manusia hendaknya senantiasa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam bentuk syariah-Nya. Seruan terikat pada syariah Allah ini bukan hanya ditujukan kepada masyarakat awam, namun juga diserukan kepada para pengambil keputusan (penguasa). KH Ahmad Dahlan menyerukan perlunya setiap pemimpin menambah terus ilmu (Islam, red.) sehingga bijaksana dalam mengambil keputusan dan perlunya dilakukan perubahan untuk menuju keadaan lebih baik.13
Selain itu, cita-cita KH Ahmad Dahlan sebenarnya adalah ingin menumbuhkan masyarakat Islam. Maksud masyarakat Islam ini adalah masyarakat yang berkarakter Islam dengan pola sunah Muhammad saw. Mendidik masyarakat supaya terjadi perubahan perilaku menjadi berkarakter Islam dengan kesadaran dan ilmu, bukan dengan paksaan atau kekerasan. Sebagaimana yang dijalankan Muhammad saw (Sunnah).14
Walhasil, dari paparan di atas nampak jelas bahwa sejak awal Bumi Nusantara punya hubungan erat dengan Khilafah. Tatkala Khilafh Utsmaniyah tumbang, para pemuka Islam di Nusantara berlomba-lomba untuk berkontri-busi dalam mengembalikan tegaknya Khilafah, termasuk di dalamnya perjuangan untuk menjadikan syariah Islam menjadi dasar dan sumber hukum di negeri ini pada saat awal-awal pebentukan negara Indonesia.
Karena itu, jika ada yang mengatakan bahwa perjuangan mengembalikan syariah Islam disebut ahistoris maka sejatinya dialah yang ahistoris. Fakta memperlihatkan sebaliknya. Bahkan perjuangan mereka justru dengan kesungguhan dan penuh dengan pengorbanan. Semoga kita bisa menjadi penerus perjuangan mereka dengan penuh ikhlas. Insya Allah.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 Deliar Noer, Bendera Islam, Jakarta, 22 Januari 1925
2 Deliar Noer, ibid, hlm. 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I No. I (1 Rajab 1347H; yaitu 14 Desember 1928), hal 9.
3 Amelz, 1952, h. 2 dalam Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
4 Petikan kata Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950
5 Amelz, 1952, h. 2 dalam Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
6 http://www.rahmatan.org/artikel/mengingat-sejarah/29-muhammad-natsir-pejuang-islam-kontemporer.
7 Ningsih dalam http://www.pks-jaksel.or.id/Article133.phtml
8 http://www.rahmatan.org/artikel/mengingat-sejarah/29-muhammad-natsir-pejuang-islam-kontemporer.
9 Adian Husaini, “Pesan Terakhir Hussein Umar: Puisi Hamka untuk Natsir,” dalamwww.swaramuslim.net
10 Syafi’i Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, Jakarta, GIP, 1996.
11 Ibid.
12 Sofaat Rahmat Selamet, S. Hum, Pemikiran dan Cita-Cita KH Ahmad Dahlan
13 Sofaat Rahmat Selamet, S. Hum, Ibid.
14 Ahmad Mansur Suryanegara, Prof. Filsafat Sejarah (Makalah Mata Kuliah), Jurusan SPI Fak.Adab IAIN SGD, Bandung, 2003
Kaum Muslim di Aceh adalah yang paling menyadari akan status mereka. Koran Sumatera Post menulis tentang ini pada tahun 1922, “Sesungguhnya kaum Muslim Aceh mengakui Khalifah di Istanbul.”
Bukan hanya itu, mereka juga mengakui fakta bahwa tanah mereka adalah bagian dari Negara Islam. Ini adalah salah satu alasan atas perlawanan sengit mereka melawan Belanda. Sebagaimana yang diakui Koran Sumatra Post tahun 1922: “Pada hari ini, serangan-serangan atas kami menjadi hal penting karena merupakan sikap mentalitas atas ide Perang Suci (jihad fi sabilillah, pen.)“.
Khalifah juga mengirimkan perwakilannya ke Indonesia untuk mendukung kaum Muslim. Koran Het Nieuws van den Dag, misalnya, melaporkan tentang seorang konsul dari Khalifah di Batavia bahwa dia mendukung gerakan mengembalikan Islam (Khilafah, pen.): “Di Indonesia hanya ada satu konsul, yakni di Batavia, dan dia telah menunjukkan antusiasme yang besar bagi gerakan mengembalikan Islam. Oleh karena itu, pemerintah memintanya untuk diganti.”
Koran yang sama menginformasikan kepada pembacanya pada tahun 1912 bahwa Khalifah mengirimkan misi rahasia ke Indonesia untuk mendukung kaum Muslim Indonesia, “Konsul Belanda di Konstantinopel telah memperingatkan pemerintah bahwa utusan rahasia Muhammedan telah dikirim dari Turki ke Indonesia yang dikuasai Belanda, dengan tugas memotivasi orang-orang Islam (untuk memberontak kepada penjajah).”
Begitulah suasana dan semangat perjuangan para tokoh Islam pada masa pendudukan penjajah Belanda untuk mengembalikan syariah Islam dalam ranah politik. Apa yang ditulis oleh koran-koran pada waktu itu, baik koran lokal Indonesia maupun koran yang terbit di Belanda, ternyata secara gamblang menunjukkan bahwa pada masa pendudukan penjajah Belanda telah terjalin hubungan yang baik bangsa Nusantara dengan Khilafah Turki Utsmani. Bukan hanya hubungan ‘pertemanan’ namun lebih dari itu yakni hubungan ‘kenegaraan’. Oleh karena itu, perjuangan formalisasi syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan bukanlah perjuangan individual para tokoh-tokoh, namun merupakan perjuangan yang di- back up langsung oleh institusi Khilafah di Turki saat itu.
Pasca Khilafah Ustmani hancur pada tahun 1924, perjuangan untuk mengembalikan Khilafah berlangsung di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dr. Deliar Noer menulis bahwa penghapusan Kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan di Dunia Islam pada umumnya, yang mulai berpikir tentang pembentukan suatu kekhilafahan baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. Kebetulan Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang Khilafah pada bulan Maret 1924. Sebagai sambutan atas maksud ini, dibuatlah Komite Khilafah yang didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. Guliran usul ini selanjutnya diperkuat dalam Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924, yang antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.1
Pada kongres Al-Islam di Bandung yang sejatinya hanya memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KH Abdul Wahab Hasbullah, atas nama kalangan tradisi, mengajukan usul agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca doa seperti dalail al-khairat, ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang baru dalam negaranya, termasuk di Makkah dan Madinah. Karena terdapat ‘friksi’ dalam masalah inilah maka kalangan ‘pembaru’ yang lebih dominan dalam Kongres Al-Islam di Bandung ini tidak menyambut baik usul-usul KH Abdul Wahab Hasbullah ini. Akhirnya, beliau dan tiga orang pendukungnya keluar dari Komite Khilafah tersebut di atas.
KH Wahab selanjutnya mengambil inisiatif mengundang dan mengajak para ulama-ulama yang beliau kenal seperti dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, Pati dan masih banyak lagi untuk diajak rapat-rapat membahas masalah hancurnya Khilafah. Dalam rapat-rapat tersebut dihasilkan keputusan bahwa mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Dalam Rapat itu pula diputuskan untuk tetap konsisten menempatkan masalah Hijaz [penegakan kembali Khilafah] sebagai pokok pembicaran utama.2
Perjuangan mengembalikan syariah dan Khilafah ternyata bukan hanya dilakukan oleh KH Wahab semata, tetapi hampir seluruh tokoh Islam. Spirit perjuangan sebagian besar dari mereka adalah memperjuangkan formalisasi syariah Islam walau ada yang tidak secara ‘tegas’ menyatakan Khilafah. Sebut saja Hadji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto. Beliau secara gigih memperjuangkan agar syariah Islam dijadikan sebagai sumber hukum dalam bernegara. Tatkala HOS Cokroaminoto melihat rakyat yang tertindas oleh penjajah kolonial Belanda secara ekonomi dan politik, beliau pun ‘mengejawantahkan’ kegundahan hatinya melalui statemen, “Negara dan bangsa kita tidak akan mencapai kehidupan yang adil dan makmur, pergaulan hidup yang aman dan tenteram selama ajaran-ajaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan menjadi hukum dalam negara kita, sekalipun sudah merdeka.”3
Beliau juga mengatakan bahwa saat itu telah terjadi jahiliah modern. “Kalau alat-alat Pemerintah RI yang memegang tampuk kekuasaan pemerintahan, baik pihak pejabat sampai bawahan, sudah tidak takut lagi kepada hukuman Allah, yakinlah negara akan rusak dan hancur dengan sendirinya. Sebab segala perbuatan jahat, korupsi, penipuan, suap dan sebagainya yang secara terang-terangan merugikan negara dilakukan dengan aman oleh mereka, rakyat yang menjadi korban.”4
Apa yang disampaikan oleh Cokroaminoto tampak jelas bahwa syariah Islam dijadikan sebagai landasan pikiran, perasaan dan hatinya.
Oemar Said juga menyatakan, “Tidak bisa manusia menjadi utama yang sesungguhnya, tidak bisa manusia menjadi besar dan mulia dalam arti kata yang sebenarnya, tidak bisa ia menjadi berani dengan keberanian yang suci dan utama, kalau ada banyak barang yang ditakuti dan disembahnya. Keutamaan, kebesaran, kemuliaan dan keberanian yang sedemikian itu hanyalah bisa tercipta karena ‘tauhid’ saja. Tegasnya menetapkan lahir batin: tidak ada sesembahan melainkan Allah saja.”5
Muhammad Natsir pun melakukan hal serupa. Berbicara tentang Muhammad Natsir sejatinya tidak bisa dilepaskan dengan perjuangan syariah Islam di Indonesia. Natsir menganggap bahwa agama dan negara harus dipersatukan dalam semangat untuk menegak-kan hukum Allah.6 Artinya, tidak ada pemisa-han antara Islam dan negara. Bahkan Natsir menegaskan bahwa Islam tidak terbatas pada aktivitas ritual Muslim yang sempit, tetapi pedoman hidup bagi individu, masyarakat dan negara.7
Muhammad Natsir memahami bahwa tugas seorang pemimpin adalah memastikan bahwa hukum-hukum Allah dapat dijalankan dengan baik. Syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin Negara Islam adalah agamanya, sifat dan tabiatnya serta akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya; bukan bangsa, keturunannya ataupun semata-mata karena kapasitas intelektualnya. Islam tidak mengenal lembaga ‘Kepala Agama’ seperti Paus dalam tradisi Katolik. Islam hanya mengenal satu ‘Kepala Agama’, yakni Muhammad Rasulullah saw. Rasulullah Muhammad sudah wafat dan tidak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya. Rasulullah saw. sebagai kepala agama telah meninggalkan satu sistem yang bernama Islam, yang harus dijaga dan dipelihara oleh kaum Muslim. Sistem ini juga harus dijalankan oleh ‘kepala-kepala pemerintahan’ apapun gelarnya, seperti khalifah, amir dan lain sebagainya yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum Muslim. Dia mengambil contoh bahwa para Sahabat Nabi saw. yang pernah menjadi khalifah sesudah beliau seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali tidaklah merangkap jadi ‘Kepala Agama’. Mereka itu hanyalah ‘kepala pemerintahan’ yang menjadikan pemerintahannya menurut aturan yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah Muhammad. Negara, oleh karena itu, bukan merupakan tujuan Islam, tetapi sebagai sarana untuk menegakkan Islam dan merealisasikan aturan-aturan Ilahi yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah.8
Aturan-aturan tersebut lengkap mulai dari sistem pemerintahan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, pergaulan dan sistem-sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan lainnya. Karena itu, negara berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan kesempurnaan berlakunya hukum ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri ataupun sebagai anggota masyarakat dalam sebuah negara.
Pergulatan untuk menjadikan syariah Islam sebagai dasar negara tidaklah mudah. Kekuatan-kekuatan yang tidak menginginkan tegaknya syariah Islam berusaha menghadang setiap langkah Natsir di Parlemen. Hal ini bisa tercermin dalam perdebatan di Konstituante pada masa itu. Dalam sidang Konstituante tatkala membahas tentang dasar negara, Natsir secara tegas menjelaskan perbedaan pokok sekularisme dengan Islam. Menurut Natsir, sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap yang hanya di dalam batas keduniaan. “Seorang sekuleris tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah ataupun oleh bekas-bekas kehewanan manusia, semata-mata dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang belaka,” ujar M. Natsir.9
Demikian juga yang dilakukan oleh Ki Bagus Hadikusumo, salah satu tokoh Muhammadiyah. Beliau cukup lantang meneriakkan syariah Islam. Beliau memberikan antitesis atas ‘Lima Prinsip Dasar’ yang kemudian dikenal dengan Pancasila yang diajukan oleh Sukarno-Yamin dengan mengajukan pendapat ‘Islam Sebagai Dasar Negara’10 dalam sidang-sidang di BPUPKI. Bahkan, seperti dikutip dalam buku R.M.A.B Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Ki Bagus Hadikusumo lebih tegas lagi meminta kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” ditiadakan sehingga berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.”
Artinya, dalam pandangan Ki Bagus, syariah Islam harus berlaku secara umum di Indonesia.
Tatkala perdebatan mengenai kepala negara, salah satu peserta sidang, Kiai Masykur mempertanyakan dengan nada retorika: “…Kalau dalam Republik Indonesia ada kewajiban menjalankan syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya, padahal Republik Indonesia dikepalai oleh orang beragama lain daripada Islam, umpamanya, apakah keadaan itu dapat dijalankan dengan baik? Dan apakah umumnya golongan Islam dapat menerimanya dan apakah demikian itu tidak jahat?”
Statemen ini membuat sidang BPUPKI menjadi tegang. Ketegangan semakin memuncak tatkala Tuan Abdul Kahar Moezakir mengajukan pendapatnya untuk mempertegas pendapat Kiai Masykur. Ia bahkan sampai menggebrak meja.
Selanjutnya, apa yang disampaikan oleh Tuan Abdul Kahar Moezakir ini didukung penuh oleh Ki Bagus Hadikusumo. Beliau menegaskan: “Saya berlindung kepada Allah terhadap setan yang merusak. Tuan-tuan, dengan pendek sudah kerap kali diterangkan di sini bahwa Islam itu mengandung ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Moezakir tadi; kalau ideologi Islam tidak diterima, (saya) tidak terima! Jadi nyata negara ini tidak berdiri di atas agama Islam dan negara akan netral.”11
Kiai Haji Ahmad Dahlan juga melakukan hal serupa. Beliau menyerukan kepada masyarakat dan para pemimpin bangsa untuk kembali pada syariah Islam. Menurut murid beliau, HR Hadjid, tentang KH Ahmad Dahlan bahwa dalam menggerakkan masyarakat untuk beramal dan berorganisasi KH Ahmad Dahlan berpegang pada prinsip yaitu senantiasa mempertang-gungjawabkan tindakan kepada Allah.12 Ini berarti bahwa setiap tindakan manusia hendaknya senantiasa merujuk pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah SWT dalam bentuk syariah-Nya. Seruan terikat pada syariah Allah ini bukan hanya ditujukan kepada masyarakat awam, namun juga diserukan kepada para pengambil keputusan (penguasa). KH Ahmad Dahlan menyerukan perlunya setiap pemimpin menambah terus ilmu (Islam, red.) sehingga bijaksana dalam mengambil keputusan dan perlunya dilakukan perubahan untuk menuju keadaan lebih baik.13
Selain itu, cita-cita KH Ahmad Dahlan sebenarnya adalah ingin menumbuhkan masyarakat Islam. Maksud masyarakat Islam ini adalah masyarakat yang berkarakter Islam dengan pola sunah Muhammad saw. Mendidik masyarakat supaya terjadi perubahan perilaku menjadi berkarakter Islam dengan kesadaran dan ilmu, bukan dengan paksaan atau kekerasan. Sebagaimana yang dijalankan Muhammad saw (Sunnah).14
Walhasil, dari paparan di atas nampak jelas bahwa sejak awal Bumi Nusantara punya hubungan erat dengan Khilafah. Tatkala Khilafh Utsmaniyah tumbang, para pemuka Islam di Nusantara berlomba-lomba untuk berkontri-busi dalam mengembalikan tegaknya Khilafah, termasuk di dalamnya perjuangan untuk menjadikan syariah Islam menjadi dasar dan sumber hukum di negeri ini pada saat awal-awal pebentukan negara Indonesia.
Karena itu, jika ada yang mengatakan bahwa perjuangan mengembalikan syariah Islam disebut ahistoris maka sejatinya dialah yang ahistoris. Fakta memperlihatkan sebaliknya. Bahkan perjuangan mereka justru dengan kesungguhan dan penuh dengan pengorbanan. Semoga kita bisa menjadi penerus perjuangan mereka dengan penuh ikhlas. Insya Allah.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Gus Uwik]
Catatan kaki:
1 Deliar Noer, Bendera Islam, Jakarta, 22 Januari 1925
2 Deliar Noer, ibid, hlm. 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I No. I (1 Rajab 1347H; yaitu 14 Desember 1928), hal 9.
3 Amelz, 1952, h. 2 dalam Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
4 Petikan kata Wondoamiseno, Sekjen PSSI 1950
5 Amelz, 1952, h. 2 dalam Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara, Salamadani Pustaka Semesta, 2009.
6 http://www.rahmatan.org/artikel/mengingat-sejarah/29-muhammad-natsir-pejuang-islam-kontemporer.
7 Ningsih dalam http://www.pks-jaksel.or.id/Article133.phtml
8 http://www.rahmatan.org/artikel/mengingat-sejarah/29-muhammad-natsir-pejuang-islam-kontemporer.
9 Adian Husaini, “Pesan Terakhir Hussein Umar: Puisi Hamka untuk Natsir,” dalamwww.swaramuslim.net
10 Syafi’i Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, Jakarta, GIP, 1996.
11 Ibid.
12 Sofaat Rahmat Selamet, S. Hum, Pemikiran dan Cita-Cita KH Ahmad Dahlan
13 Sofaat Rahmat Selamet, S. Hum, Ibid.
14 Ahmad Mansur Suryanegara, Prof. Filsafat Sejarah (Makalah Mata Kuliah), Jurusan SPI Fak.Adab IAIN SGD, Bandung, 2003
[hti/voa-khilafah.com]