ADAKAH keadilan bila pelajar yang dituduh mencuri sandal terancam hukuman penjara lima tahun sementara terdakwa koruptor divonis bebas? Jawabannya tentu saja tidak ada. Namun, itulah yang sedang terjadi.
Seorang pelajar berusia 15 tahun di Palu, Sulawesi Tengah, harus duduk di kursi pesakitan dengan dakwaan mencuri sandal milik seorang polisi, Briptu Ahmad Rusli Harahap. Harga sandal hanya Rp35 ribu, tetapi ancaman hukumannya lima tahun penjara.
Bandingkan dengan koruptor yang merampok uang negara miliaran rupiah, tetapi dihukum ringan. Ditambah fasilitas mewah di penjara plus remisi, makin ringan dan tak berefek jera hukuman buat para koruptor itu.
Tak sedikit pula koruptor yang divonis bebas. Sepanjang 2011, tercatat 45 terdakwa korupsi divonis bebas. Banyak pula yang bahkan diduga terlibat korupsi, tetapi hingga kini seperti tidak tersentuh oleh hukum. Itulah yang terjadi dalam kasus dugaan korupsi Wisma Atlet, Kemenakertrans, Hambalang, Bank Century, dan mafia anggaran di Badan Anggaran DPR.
Mereka bisa mendapat hak-hak istimewa karena mampu membayar pengacara hebat serta dekat dengan atau menjadi bagian kekuasaan. Kemewahan itu tentu tidak dimiliki orang kecil seperti pelajar terdakwa pencuri sandal tersebut.
Sejak awal dia sudah mendapat perlakuan yang jauh disebut adil.
Menurut orangtuanya, sang pelajar terpaksa mengaku mencuri sandal akibat penganiayaan yang dilakukan sang briptu.
Proses hukumnya, sejak kejadian hingga persidangan, pun terbilang panjang. Sang pelajar kabarnya mencuri sandal sang briptu pada November 2010. Namun, dia baru menjalani persidangan setahun kemudian.
Sangat mungkin dalam setahun terakhir, sang pelajar mengalami trauma psikologis. Itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang mengamanatkan proses hukum terhadap anak-anak harus berlangsung cepat untuk menghindari trauma psikologis.
Apalagi bila hakim kelak memvonis sang pelajar bersalah dan harus menjalani hukuman penjara. Hancurlah masa depan sang pelajar hanya gara-gara sandal seharga Rp35 ribu.
Apakah sang pelajar harus menjalani proses hukum karena sandal yang dicurinya milik seorang briptu? Bagaimana jika pelaku tindak pidana ialah polisi?
Kita tentu masih ingat kisah seorang letnan polisi yang menabrak bocah bernama Rifki Andika di Malang, Jawa Timur, hingga tewas pada 1993. Sang polisi baru disidangkan pada 2008 dan divonis bebas karena hakim menganggap kasusnya kedaluwarsa. Sang ayah pun berjalan kaki dari Malang ke Jakarta untuk menuntut keadilan kepada Presiden.
Keadilan memang kata kuncinya. Tanpa keadilan, pedang hukum hanya tajam ke bawah, tetapi majal ke atas. (mediaindonesia/voa-khilafah.co.cc)