Batu TV Malang: Khilafah Menyatukan Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan


Malang, HTI Press. Detik-detik menjelang bulan suci Ramadlan 1432H DPD II HTI Malang mendapat kesempatan untuk mengisi dialog interaktif di sebuah stasiun TV swasta dikota Malang yaitu Batu TV. Stasiun Televisi yang terletak di perbukitan oro-oro ombo Batu ini menyiarkan secara langsung dialog interaktif dengan mengangkat tema yang sesuai dengan kebutuhan umat sekarang ini khususnya dalam menghadapi problematika mengawali dan mengakhiri Ramadhan yaitu Khilafah Menyatukan Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan.
Siaran live ini berlangsung pada hari Rabu (27/7) mulai pukul 15.30 hingga pukul 16.30 WIB. Dialog dipandu oleh host Ahmad Adiasta serta mengahadirkan dua narasumber, pertama Ust. Mush’ab Abdurrahman selaku Ketua Lajnah Khusus Ulama DPD II HTI Malang dan Ust. Ahmad sugiarto,S.Si selaku ahli falak DPD II HTI Malang.

Kesempatan pertama ust. Mush’ab Abdurrahman memaparkan tentang ironisnya umat islam yang berulang-ulang kali mengalami perbedaan dalam mengawali (berpuasa) dan mengakhiri Ramadhan (Idul Fitri). Padahal sejatinya ini tidak boleh terjadi. Kesatuan dalam mengawali dan mengakhiri Ramadlan adalah penting disamping wajib. Ada beberapa alasan yang dikemukakan beliau diantaranya,puasa Ramadhan hukumnya fardhu artinya apabila pada hari itu telah saatnya berpuasa namun karena berbeda ada sebagian yang belum berpuasa, maka hakikatnya ia telah meninggalkannya secara sengaja berarti ini adalah dosa,berpuasa pada Yaum Asy-Syakk (hari yang diragukan) adalah Haram, berpuasa di hari raya ‘Iedul Fitri adalah Haram dan terakhir terkait dengan kewajiban membayar zakat fitrah sebelum pelaksanaan sholat Iedul Fitri, apabila penentuan ini sampai berbeda maka akan mempengaruhi keabsahan zakat fitrah yang dikeluarkan. Oleh karenanya kesatuan dalam hal ini adalah sangat penting dan tidak boleh diremehkan.

Kemudian Ust. Sugiarto menambahkan alasan kenapa sampai terjadi perbedaan di kalangan umat Islam dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan. Ada dua faktor , pertama faktor metode dan kedua, faktor politis. Faktor metode berkaitan adanya perbedaan di kalangan umat Islam dalam memakai metode penentuan awal bulan Ramadhan ataupun Syawal. Ada dua metode yang dikenal di kalangan umat Islam yaitu metode Hisab (perhitungan falak astronomis), inipun masih dibagi lagi baik itu hisab hakiki maupun urfi dan metode ru’yah (melihat bulan sabit). Begitupula metode ru’yah al hilal juga mengalami perbedaan, ada yang berpatokan  pada ru’yah  lokal  (masih terbagi : Jarak Qashar sholat, patokan mathlak 24 Farsakh (120-133 km) , 8 bujur  dan wilayatul hukmi) dan ru’yah Global (satu ru’yah terlihat berlaku untuk seluruh negeri di belahan bumi manapun). Sebenarnya faktor yang penting untuk diperhatikan oleh umat islam yang menyebabkan dominasi perbedaan umat dalam mengawali dan mengakhiri ramadhan terletak pada faktor politis yaitu ketika umat islam hidup tidak memiliki institusi politik pemersatu uamt yaitu khilafah islamiyah, sehingga umat islam terpecah belah kedalam sekatan negara-negara yang berpegang pada emosi nasionalisme.

Ust.Mush’ab menegaskan bahwa oleh sebab itu, umat islam wajib memahami hakikat landasan syar’i mengawali dan mengakhiri Ramadhan. Setelah dilakukan pengkajian mendalam oleh Hizbut Tahrir dengan menggunakan metode kekuatan dalil beserta menyertakan pendapat jumhur ulama, ternyata satu-satunya metode yang wajib digunakan dalam menentukan awal bulan Ramadlan ataupun awal Syawal adalah dengan Metode Ru’yatul hilal, yaitu dengan melihat bulan sabit (hilal). Di dalam ilmu ushul terlihatnya hilal adalah sabab hukum (sebab dilaksanakannya suatu hukum) pelaksanaan puasa Ramadhan sekaligus mengakhirinya (iedul fithri). Rukyat ini harus bersifat Global (satu ru’yah berlaku untuk seluruh negeri lainya tanpa memperhatikan batas-batas negara).  Hal ini didasarkan pada banyakknya dalil syara’ yang menunjukkannya diantaranya:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (HR. Bukhari no. 1776 dari Abu Hurairah).

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian terhalang mendung, maka hitunglah tiga puluh hari (HR Muslim no.1810, dari Abu Hurairah ra.)

لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari (HR. Bukhari no. 1773, Muslim no. 1795, al-Nasai no. 2093; dari Abdullah bin Umar ra.).

Semua perintah dalam hadits tersebut berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan hadits-hadits itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû (yang menggunakan dhamîr jamâ’ah, berupa wâwu jamâ’ah). Pihak yang diseru oleh hadits tersebut seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Indonesia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan.

Demikian juga, kata  li ru’yatihi (karena melihatnya). Kata  ru’yah adalah isim jenis. Ketika isim jenis itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr (kata ganti), maka kata itu termasuk dalam shighah umum,   yang memberikan makna ru’yah siapa saja. Itu berarti, apabila sudah ada yang melihat hilal, siapa pun dia asalkan Muslim yang adil, maka kesaksian itu mewajibkan kepada yang lain untuk berbuka atau berpuasa. Terlihatnya hilal Ramadhan atau hilal Syawal oleh seorang Muslim di mana pun ia berada, maka ru’yah itu mewajibkan kepada seluruh kaum Muslim untuk berpuasa atau berbuka, tanpa terkecuali. Tidak peduli apakah ia tinggal di negeri dekat atau jauh dari tempat terjadinya ru’yah.

Lantas bagaimana dengan metode hisab? Lebih lanjut beliau menyampaikan bahwa metode hisab tidak memiliki landasan syar’i untuk menentapkan awal puasa dan awal syawal. Namun bukan berarti Islam menolak sama sekali ilmu hisab. Hanya saja hisab kita dudukkan sebagai alat bantu untuk memandu kapan dan di titik mana akan dilakukan ru’yatul hilal.

Terakhir disampaikan oleh ust. Mush’ab bahwa peristiwa ini memberi pelajaran besar bagi umat islam untuk bersegera mewujudkan institusi politik khilafah yang akan menyatukan seluruh potensi umat islam diseluruh dunia serta akan mampu menyatukan awal dan akhir ramadlan. Teknisnya sangat mudah. Khalifah nantinya akan menunjuk para muslimin ahli falak/astronomi diseluruh negeri islam untuk meru’yah ditempat-tempat dan waktu yang telah ditentukan. Rukyatul hilal ini akan disiarkan secara langsung baik melalui media televisi maupun teknologi internet. Apabila disuatu negeri berhasil melihat hilal, setelah dilakukan verifikasi data dan kesaksiannya, maka khalifah bisa langsung memerintahkan kepada seluruh umat islam bahwa saat itu juga secara bersamaan akan mengawali ataupun mengakhiri Ramadlan. Tentunya ini sangat luar biasa, kita akan kembali menyaksikan kebersamaan umat islam dalam mengawali Ramadlan dan ber Iedul Fitri secara serentak. Nampaklah kekuatan, izzah umat islam kembali muncul kepermukaan.  Kita merindukan saat itu tiba.(Kantor Humas DPD II HTI Malang/Voa-Khilafah)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers