KH.M.Shiddiq Al-Jawi |
[D'Rise#10]Yang doyan nyari artikel islam di dunia maya boleh jadi nggak asing dengan nama Shiddiq al-Jawi. Dosen tetap STEI Hamfara Yogyakarta ini aktif menulis di berbagai media Islam. Apalagi kalo kita mampir ke webnya, http://khilafah1924.org, isinya mayoritas tulisan beliau yang mencerahkan. Dan Alhamdulillaah...kang Hafidz341 dapat kesempatan untuk ngobrol dengan beliau via email. Berikut petikannya. Monggo!
Tiap tahun remaja muslim banyak yang ngerayain Valentine Days. Padahal jelas-jelas bukan budaya Islam. Gimana menurut ustadz?
Menurut saya itu karena kita hidup dalam masyarakat sekuler. Yaitu masyarakat yang tak menggunakan hukum agama dalam mengatur urusan kehidupan. Masyarakat semacam ini sebenarnya hanya membebek masyarakat kafir penjajah, seperti AS dan Eropa. Agama hanya diamalkan secara sempit dan picik dalam urusan ibadah saja. Sedang soal budaya, pergaulan, apalagi politik, dianggap tak perlu diatur dengan agama. Maka, perayaan Valentine tak pernah surut, walaupun sudah banyak fatwa ulama yang mengharamkannya.
Sebagian remaja muslim ngerayain VD hanya sebatas makan malam, nonton bareng, nongkrong di cafe, berbagi hadiah, coklat, atau ngasih ucapan selamat. Kalo gitu gimana tadz?
Itu tetap tak boleh. Mengapa? Begini. Kita sudah tahu perayaan Valentine itu budaya Nashrani, bukan budaya Islami. Padahal umat Islam haram hukumnya mengikuti budaya kaum kafir. Sabda Nabi SAW,”Barangsiapa menyerupai suatu kaum (kafir) maka ia termasuk golongan mereka.” (HR Abu Dawud). Hadits ini berlaku umum, meliputi segala bentuk perayaan Valentine. Maka segala bentuk dan cara perayaan Valentine, hukumnya tetap haram, walaupun hanya sebatas ngasih ucapan selamat Valentine.
Dalam urusan cinta, remaja ngerasa penting untuk mengekspresikannya dengan pacaran. Menurut ustadz?
Pacaran itu budaya Nashrani, bukan budaya Islami. Karena dalam agama Nashrani, suami isteri itu tak boleh bercerai. Menurut ajaran Nashrani, “apa yang disatukan Tuhan tak boleh dipisahkan oleh manusia.” Maka wajar dalam masyarakat Nashrani muncul budaya pacaran. Tujuannya supaya calon suami isteri bisa saling mengenal sedalam-dalamnya dan seintim-intimnya, sehingga tak bercerai. Islam tak demikian. Islam menghalalkan cerai, sehingga apa yang disebut “pacaran” tak ada dan tak diperlukan dalam Islam. Cukup calon pasangan suami isteri saling mengenal secukupnya, dalam batas-batas yang dibolehkan syara’, misal kalau ngobrol berdua wajib disertai pihak ketiga yaitu mahram si wanita. Tak perlu jalan-jalan berdua, mojok, apalagi berciuman dan seterusnya. Jadi wajar di jaman Rasul tak ada budaya pacaran. Ekspresi cinta diungkapkan dengan khitbah (melamar), bukan pacaran.
Saya pernah buka web yang menjelaskan kalo pacaran diperbolehkan dalam islam. Emang bener tadz ada 'pacaran islami'?
Saya sudah membuka situs itu. Saya peringatkan, situs itu ngaco dan menjerumuskan. Karena hanya mendefiniskan pacaran secara sempit dalam arti “saling mengenal sebagai persiapan nikah”. Padahal faktanya, pacaran bukan hanya sebatas itu. Pacaran juga meliputi duduk berduaan (mojok), berciuman, berangkulan, petting, dan (nauzhu billah) termasuk berhubungan seks. Apakah semua ini dibolehkan? Tidak bukan? Jadi, meski mungkin situs itu niatnya baik, tapi ia telah mendefinisikan “pacaran” secara naif dan parsial, sehingga pembacanya dapat saja mengalami misleading (sesat dalam memahami).
Remaja sering jadi kambing hitam kalo udah ngomongin masalah remaja. Gimana dengan keluarga? Sekolah? Negara?
Remaja memang salah. Harus diakui, tak boleh diingkari. Namun bukan hanya mereka yang salah. Keluarga juga turut andil jika lemah pengawasannya. Sekolah juga salah, karena sekolah kita kan bagian sistem pendidikan sekuler yang anti agama tatkala agama hendak diterapkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyakat. Apalagi negara, jelas sekali salahnya. Karena negara kita ini sekuler. Mencontek kafir penjajah. Anti agama. Agama dipenjara hanya dalam sektor sempit, yaitu ibadah.
Bagaimana Islam menyelesaikan masalah remaja?
Menurut saya harus ada penanganan pada 4 level. Pertama, pada level inidividu, remaja secara individu wajib dibina kepribadiannya agar menjadi invividu yang saleh. Caranya dengan ngaji. Kedua, level keluarga, yaitu keluarga wajib menanamkan nilai-nilai Islam dan mengawasi remaja secara ketat. Ketiga, level masyarakat, yaitu hendaknya di masyarakat tumbuh tradisi amar ma’ruf nahi mungkar. Kalau ada remaja yang pacaran, tak boleh didiamkan. Keempat, pada level negara, yakni negara wajib menerapkan syariah baik secara preventif atau kuratif untuk mengatasi masalah remaja. Misalnya larangan khalwat (berduaan), atau sanksi cambuk 100 kali bagi pezina yang belum nikah.
Apa masih mungkin lahir remaja berprestasi seperti Thariq bin Ziyad atau Muhammad al-Fatih, di masa sekarang ini?
Masih mungkin. Hanya saja, mengingat kita terpenjara dalam masyarakat sekuler, tentu hambatan dan kesulitannya cukup tinggi. Ibarat kita mau menebar benih padi, kita sekarang tak menebarnya di sawah yang cukup airnya, tapi di sawah yang sedang kekeringan. Masih tumbuh sih, tapi kendalanya memang tak ringan. Caranya, ngajilah dengan benar, sehingga Islam kita pahami sebagai ideologi. Setelah itu lakukan tafaqquh fiddien (pendalaman agama), dengan berguru kepada ulama-ulama yang terpercaya, atau mengkaji karya-karya mereka yang gemilang.
Terakhir, apa pesan ustadz untuk para pembaca D’Rise?
Jadilah kalian generasi pembebas, generasi yang berjuang untuk menegakkan syariah dan Khilafah. Hanya dengan syariah dan Khilafah sajalah, manusia akan terbebas dari penjara sekulerisme yang amat destruktif ini.[341/Voa-Khilafah]
Biodata
Nama : Muhammad Shiddiq Al-Jawi
T/TL : Grobogan (Jateng), 31 Mei 1969
Alamat : Jl Mangkuyudan 30 Yogyakarta
Status : Menikah, 1 isteri dengan 4 anak
Pekerjaan : Dosen Tetap STEI Hamfara & Pimpinan Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta
Prestasi : Juara III Siswa Teladan Tingkat SMA se Propinsi Jawa Tengah tahun 1988.
Jabatan di HTI : Dewan Pimpinan Pusat HTI
Karya tulis : 6 buku, di antaranya berjudul Malapetaka Akibat Hancurnya Khilafah, dan Aborsi Dalam Pandangan Hukum Islam