Oleh: Hafidz Abdurrahman
Pengantar
Voa-Khilafah.Blogspot.Com - Setelah pemerintah frustasi, karena rencananya untuk menghapus BBM jenis premium dari tengah masyarakat banyak menghadapi penolakan, termasuk dari para ulama’ dan tokoh-tokoh ormas, maka pemerintah pun menggunakan Ma’ruf Amien untuk mengeluarkan fatwa aneh seputar haramnya orang kaya menggunakan premium. Meski istilah “menggunakan Ma’ruf Amien” ini ditolak oleh Menteri ESDM, tetapi kesimpulan ini tidak bisa ditolak, karena fatwa ini dinyatakan Ma’ruf Amien, setelah pertemuan antara kementerian ESDM dengan MUI (27/6/2011). Pimpinan PP Tebuireng, Jombang, KH Shalahuddin Wahid, atau akrab dipanggil Gus Sholah, yang juga cucu Hardratus Syaikh Hasyim Asy’ari, menyatakan bahwa fatwa ini bukan merupakan sikap MUI, tetapi masih pandangan pribadi Ma’ruf Amien (29/6/2011).
Rencana menghapus BBM jenis premium dari tengah masyarakat ini sebenarnya sudah dirancang oleh pemerintah sejak kementrian ESDM dijabat oleh Purnomo Yusgiantoro dan bekerjasama dengan DPR kala itu, hingga lahir UU No. 22/2001. Undang-undang ini sendiri didanai USAID, seperti dalam pengakuan mereka, “USAID telah membantu pembuatan draft UU Migas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi).”
Setelah UU ini disahkan, dalam rilisnya, USAID menyatakan, “Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan senilai USD 4 juta (Rp 40 miliar) untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasehat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan.“ Tidak hanya itu, USAID juga meggelontorkan dana ke sejumlah LSM untuk mendukung rencana mereka, “Pada tahun 2001 USAID merencanakan untuk menyediakan USD 850 ribu (Rp 8.5 miliar) untuk mendukung sejumlah LSM dan universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal.”
Ternyata semua kebijakan penghapusan BBM jenis premium ini merupakan dampak dari pencabutan subsidi BBM, yang bertujuan untuk meliberalisasi sektor Migas. Semuanya ini tak lain merupakan syarat dari hutang yang diberikan Bank Dunia, sebagaimana yang mereka rilis, “Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik…Banyak subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya.” (Indonesia Country Assistance Strategy - World Bank, 2001).
Keingan USAID dan Bank Dunia itu tidak bertepuk sebelah tangan. Karena dengan senang hati, pemerintah ketika itu mengikutinya, sebagaimana tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan 2000), “Pada sektor migas, pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional.” Ini ditegaskan dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001) “..Pemerintah [Indonesia] berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada bulan September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarifl listrik sesuai dengan tarif komersil.”
Ini ditegaskan oleh Menteri ESDM ketika itu, Purnomo Yusgiantoro, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14 Mei 2003). Bahkan, Dirjen Migas Kementrian ESDM kala itu, Iin Arifin Takhyan menyatakan, “Saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika)…”
Berbagai kebijakan liberalisasi Migas yang digulirkan sejak tahun 2001 memang tidak bisa berjalan mulus. Meski kenaikan BBM terus merangkak sejak era Megawati, kemudian dilanjutkan pada era SBY-JK dengan menaikkan 100% lebih, ternyata masih belum cukup bagi pemain asing untuk menjalankan bisnis mereka. Mereka pun terus mendesak pemerintah SBY-Budiono untuk segera menjalankan agenda liberalisasi Migas ini, antara lain dengan mencabut subsidi BBM dan menghapus BBM jenis premium. Berbagai dalih dan penyesatan pun dibuat, seperti “Subsidi hanya untuk miskin”, dan terakhir dengan menggunakan fatwa Ma’ruf Amien, yang menyatakan “Haram orang kaya mengambil hak orang miskin.”
Karena itu, fatwa ini harus didudukkan dalam posisi mendukung program liberalisasi migas pemerintah, penghapusan subsidi BBM dan penghapusan BBM jenis premium. Lebih jauh, fatwa ini sebenarnya mendukung program penjajahan Kapitalisme Global, baik melalui lembaga seperti IMF, Bank Dunia, USAID maupun perusahaan multinasional, seperti Chevron, Shell, Exxon Mobil Oil, dll. Sebab, produksi Migas Indonesia yang dikuasai asing, seperti Chevron (44%), Total E&P (10%), Conoco Philip (8%), CNOOC (4%), Petro China (3%), British Petrolium (2%), lain-lain (4%) ini tidak akan bisa mengeruk keuntungan maksimal dari Indonesia, kalau masih terhalang kebijakan BBM jenis premium. Sementara Pertamina sendiri hanya menguasai 16% dari total produksi.
Benarkah BBM Premium Hanya Hak Orang Miskin?
Minyak dan gas adalah barang tambang (ma’adin) yang merupakan hak milik umum, baik orang kaya maupun miskin. Ini ditegaskan oleh Nabi dalam sejumlah hadits, antara lain:
النَّاسُ شُرَكَآءُ فِي ثَلاَثٍ: فِي الكَلإِ وَالمَآءِ وَالنَّارِ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ)
“Manusia sama-sama membutuhkan tiga hal: padang, air dan api.” (H.r. Ahmad dan Abu Dawud. Tokoh-tokoh perawinya terpercaya [tsiqqat])
Dalam riwayat lain juga dinyatakan hadits yang serupa, dengan redaksi yang agak berbeda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثَةٍ: فِي الْمَاءِ وَالْكلإِ وَالْنَّارِ (رواه أحمد وأبو داود، ورواه ابن ماجه من حديث ابن عباس وزاد فيه: وَثَمَنُهُ حَرَامٌ)
“Kaum Muslim sama-sama membutuhkan tiga hal: air, padang dan api.” (H.r. Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah dari Ibn ‘Abbas. Di dalamnya terdapat tambahan, “Harganya haram.”)
Karena ini merupakan hak milik umum, yang sama-sama dibutuhkan oleh semua orang, maka setiap orang, baik kaya maupun miskin, sama-sama berhak untuk menikmati barang milik umum tersebut. Keumuman lafadz “an-Nas” dan “al-Muslimun” tetap berlaku dengan konotasi umum, selama tidak ada dalil yang mengecualikannya. Sebagaimana kaidah yang menyatakan:
اَلْعُمُوْمُ يَبْقَى بِعُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ
“Lafadz umum tetap dengan konotasi keumumannya, selama tidak ada dalil yang menyatakan kekhususannya.”
Dalam konteks ini tidak ada satu dalil pun yang mengecualikan keumuman lafadz/dalil tersebut. Padahal, melakukan takhshish (pengkhususan) tanpa adanya mukhashish (lafadz/dalil yang mengkhususkan) jelas tidak boleh. Padahal jelas tidak ada dalil yang men-takhshish hadits-hadits di atas, baik al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak Sahabat maupun Qiyas. Dengan demikian, mengkhususkan BBM bersubsidi hanya untuk orang miskin sama dengan melakukan takhshish tanpa adanya mukhashish. Jelas tidak boleh.
Maka, pandangan yang menyatakan bahwa BBM bersubsidi merupakan hak orang miskin, dan karenanya orang kaya haram mengkonsumsinya jelas merupakan pandangan yang batil. Bahkan, kesimpulan seperti ini bukan merupakan kesimpulan hukum syara’, melainkan kesimpulan logika mantik. Kesalahannya terletak pada premis yang menyatakan, bahwa BBM bersubsidi adalah hak orang miskin. Padahal, nas syara’ menyatakan sebaliknya, dimana semua orang mempunyai hak yang sama, baik kaya maupun miskin. Akibat kesalahan presmis tersebut, maka disimpulkan, bahwa orang kaya haram mengkonsumsinya. Sebab, dianggap mengambil hak orang miskin. Ini jelas kesimpulan yang batil.
Membatasi BBM Bersubsidi Bukan Pengaturan
Alasan lain yang dikembangkan adalah, bahwa pembatasan BBM bersubsidi ini merupakan bentuk pengaturan pemerintah untuk kemaslahatan publik, sebagaimana kaidah:
تَصَرُّفُ الإمَامِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
“Tindakan (kebijakan) imam (khalifah/kepala negara) terikat dengan kemaslahatan (rakyat).”
Tindakan (tasharruf) pemerintah dalam hal ini harus dibedakan, antara tasyri’i (legislasi) dan ijra’i (administratif). Mengubah kepemilikan yang diatur syariah, dari kepemilikan umum menjadi milik negara (nasionalisasi) atau individu (privatisasi) adalah bentuk tasyri’i, yang jelas menyimpang dari ketentuan syariah. Demikian juga membatasi BBM bersubsidi hanya untuk orang miskin adalah bentuk tasyri’i, yang juga menyimpang dari ketentuan syariah. Maka, tindakan pemerintah seperti ini merupakan pelanggaran terhadap syariah. Dengan alasan apapun, pelanggaran syariah tetaplah pelanggaran. Tidak bisa dicarikan pembenaran sebagai bentuk pengaturan.
Ini berbeda dengan tindakan (tasharruf) pemerintah dalam hal administratif, seperti peraturan lalulintas, SIM, KTP dan sebagainya, maka tindakan dalam konteks ini benar-benar merupakan bentuk pengaturan yang dibolehkan. Mengikuti dan metaatinya pun wajib, karena dalam konteks ini merupakan masalah admistratif.
Di Balik Dalih Pengaturan BBM Bersubsidi
Penjelasan di atas sudah cukup untuk menunjukkan kebatilan fatwa haramnya orang kaya mengkonsumsi BBM jenis premium. Sekali lagi, fatwa ini hanyalah stempel pemerintah dalam melegalkan kebijakan liberalisasi sektor Migas. Jika harus dikeluarkan fatwa, semestinya fatwa yang mengharamkan liberalisasi ekonomi, termasuk sektor Migas yang menjadi penyebab terjadinya kebijakan yang menyengsarakan rakyat ini. Jika harus dikeluarkan fatwa, mestinya fatwa yang mengharamkan hutang, baik kepada IMF, Bank Dunia maupun USAID, yang menjadi otak lahirnya kebijakan liberalisasi Migas ini.
Karena itu, fatwa seperti ini, selain tidak ada nilainya di dalam Islam, juga bertentangan dengan syariah. Tidak hanya itu, fatwa ini juga bisa membukan jalan orang-orang Kafir untuk menguasai sektor strategis, yaitu Migas. Sekaligus melanggengkan penjajahan mereka terhadap negeri Muslim terbesar ini. Ini jelas haram. Pertama, karena haram hukumnya memberi jalan orang Kafir untuk menguasai kaum Muslim. Allah berfirman:
وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum Kafir untuk menguasai orang Mukmin.” (Q.s. an-Nisa’ [04]: 141)
Kedua, membantu mereka untuk menguasai kaum Muslim juga haram, sebagaimana ditegaskan oleh Allah:
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam (melakukan) dosa dan permusuhan.” (Q.s. al-Maidah [05]: 02)
Bagaimana Seharusnya?
Barang-barang milik umum seharusnya ini tidak boleh dialihkan, baik sebagai milik negara (nasionalisasi) maupun individu (privatisasi). Negara dalam konteks ini hanya berfungsi sebagai pengelola hak milik umum ini agar barang-barang tersebut sampai kepada pemiliknya dengan harga yang murah dan terjangkau.
Memang tidak ada larangan bagi negara untuk menetapkan harga migas mengikuti harga pasar atau harga tertentu yang rasional, tetapi seluruh kebijakan tersebut bukan untuk keuntungan pemerintah (negara) atau asing (privat), karena barang tersebut bukan milik mereka. Jika pemerintah (negara) harus menempuh kebijakan yang kedua ini, maka hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat, melalui penyediaan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Termasuk jaminan terpenuhinya sandang, papan dan pangan melalui pembukaan lapangan kerja yang memadai.
Apa yang ditempuh oleh pemerintah (negara) saat ini justru merugikan rakyat. Karena, selain BBM murah dihilangkan, maka keuntungan dari kenaikan harga BBM itu juga tidak dikembalikan kepada rakyat. Sebab, subsidi kesehatan, pendidikan dan layanan yang lain justru dipangkas. Artinya, kenaikan harga, dihilangkannya BMM murah dan rakyat dipaksa mengkonsumsi BBM jenis Pertamax jelas-jelas untuk kepentingan asing. Ini jelas haram.
Voice of Al Khilafah
AKHBAR
ANALISIS
BBM
FATWA MUI
HIZBUT TAHRIR
HTI
NASIONAL
TSAQOFAH
Kontroversi Fatwa Haram Orang Kaya Menggunakan Premium
Langganan:
Posting Komentar (Atom)