Siapa bilang ide khilafah itu ide utopis? Buktinya, gagasan ini dibicarakan secara khusus dalam sebuah workshop internasional di Jepang. Kalau tidak dapat diterapkan, tentu mereka tidak mau capek-capek mengangkat tema itu, yang notebene mungkin tidak terlalu urgen untuk konteks Jepang.
Ide khilafah terus menjadi bahan pembicaraan. Tidak hanya di kalangan Islam dan musuh-musuh Islam tapi juga di kalangan yang memiliki spirit intelektual dan rasionalitas. Itulah yang terjadi di Center for Interdisciplinary Study of Monotheistic Religions(Cismor) Doshisha University, Kyoto, Jepang. Mereka menyelenggarakan workshop internasional dengan tema Islamic World and Globalization, Beyond the Nation State the Rise of New Caliphate pada 12-13 Maret lalu di Universitas Doshisha.
Workshop itu menghadirkan empat pembicara utama, yakni: Dosen London School of Economics Reza Pankhurst dari Inggris; Professor di l'École des Hautes Études en Sciences Sociales; Hamit Bozarslan dari Prancis; Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Ismail Yusanto dari Indonesia; dan Director the Alliance of Civilizations Institute in Ýstanbul Recep Senturk dari Turki.
Peluang dan Tantangan
Reza menyatakan bahwa membicarakan Khilafah berarti berbicara mengenai Islam dan politik di tingkat global, sebagai suatu entitas global yang mempengaruhi isu-isu global. “Ini adalah sebuah topik yang sangat provokatif dan panas,” lontarnya. Terlebih di tengah suasana menguatnya sentimen anti Islam di sejumlah negeri Barat.
Reza lalu mengurai khilafah dalam perspektif historis, mulai dari kemunculan Islam di Jazirah Arab, pertumbuhan dan titik kemenangannya di tengah arus besar dua kekuatan Romawi dan Persia, serta masa kemunduran hingga kejatuhannya di masa Khilafah Utsmani.
Selanjutnya ia mengungkap tentang adanya arus besar kesadaran umat tentang perlunya sebuah negara global yang mampu mewujudkan persatuan umat dan membela kepentingan Islam.
Sedangkan Ismail menegaskan bahwa peluang berdirinya khilafah di Indonesia cukup besar. Peluang tersebut setidaknya ditunjukkan oleh lima hal.
Pertama, dukungan umat Islam di Indonesia kepada Hizbut Tahrir yang semakin hari semakin besar. Dukungan ini terlihat dari hasil berbagai survei tentang syariah, khilafah, dan HTI serta semakin meluasnya elemen masyarakat yang mendukung HTI.
“Hasil survei menunjukkan, perjuangan HTI yang ingin menegakkan syariah dan khilafah, ternyata didukung oleh 65 persen responden, bahkan 12 persennya ingin berjuang bersama HTI!” ujarnya merujuk hasil survei SEM Institute 2010 yang menyurvei 1.220 responden secara acak di berbagai kalangan di 31 kota di Indonesia itu.
Kedua, eksistensi HTI yang semakin besar dan dapat berdakwah dengan aman di Indonesia. Ketiga, kepercayaan publik terhadap pemerintah atau negara Indonesia yang semakin merosot. Keempat, besarnya potensi sumber daya manusia dan kekayaan alam yang mencukupi untuk berdirinya khilafah.
Kelima, Indonesia mempunyai pengalaman sejarah pernah menerapkan syariah Islam dalam kekuasaan. “Sejak berdirinya Kesultanan Perlak (840 M) hingga runtuhnya Kesultanan Aceh (1903 M), berarti paling tidak di Aceh saja syariah Islam pernah hidup sekitar 1000 tahun,” ujarnya.
Tapi, lanjutnya, tantangan yang menghadang tegaknya Khilafah di Indonesia juga cukup besar. Secara umum tantangan tegaknya khilafah di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, adanya penguasa yang menjadi agen penjajah. Kedua, diterapkannya ideologi kapitalisme-sekuler.
Menghadapi tantangan ini, HTI terus melakukan berbagai upaya. Selain menumbuhkan kesadaran politik (al-wa'yu al-siyasi) di tengah umat Islam, HTI terus melakukan pertarungan politik (al-kifah al-siyasi) untuk menentang pengkhianatan penguasa yang menjadi agen penjajah serta melakukan adopsi kepentingan umat (tabanni mashalih al-ummah) untuk menerangkan kekeliruan kebijakan penguasa dan menjelaskan solusi alternatifnya menurut syariah Islam.
Harapannya, umat Islam menjadi sadar bahwa musuh mereka bukanlah ide syariah atau khilafah, melainkan ideologi kapitalisme-sekuler yang saat ini
tengah diterapkan dan makin nyata kebobrokannya itu. “Dengan kesadaran itu, Insya Allah, mereka tergerak untuk berjuang bersama mewujudkan tegaknya khilafah,” harap Ismail.
tengah diterapkan dan makin nyata kebobrokannya itu. “Dengan kesadaran itu, Insya Allah, mereka tergerak untuk berjuang bersama mewujudkan tegaknya khilafah,” harap Ismail.
Menepis Rasa Pesimis
Gagasan khilafah mendapat respon kritis, kalau tidak bisa disebut pesimis, dari dua pembicara lain. Recep mengakui bahwa khilafah telah membawa dunia Islam berjaya di masa lalu. “Tapi usaha mendirikan kembali institusi itu adalah sebuah usaha utopis mengingat kondisi dunia Islam saat ini yang sudah demikian beragam,” ujarnya.
Sementara Hamit, menyatakan tidak masalah kalau khilafah bisa berdiri. “Tapi apakah bisa menjamin bahwa ia bisa menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan manusia di dunia saat ini yang sudah demikian kompleks?” tanyanya.
Menjawab kedua pertanyaan itu, Ismail pun menegaskan ada empat faktor yang menjamin tegaknya khilafah.Pertama, adanya janji Allah (wa'dullah) bahwa Allah SWT akan memberi kekuasaan di muka bumi kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih.
Kedua, adanya kabar gembira dari Rasulullah SAW (busyra rasulillah) bahwa khilafah yang mengikuti jalan kenabian akan kembali lagi, setelah masa kekuasaan diktator (mulkan jabariyatan) pada masa sekarang ini.
Ketiga, adanya umat yang bangkit mendukung perjuangan penegakan khilafah, dan yang nantinya akan terus menjaga khilafah setelah berdirinya. Keempat, adanya kelompok yang ikhlas berjuang, beriman pada janji Allah dan membenarkan berita gembira Rasulullah SAW.
Adapun cara Islam merespon masalah adalah dengan mengembangkan tradisi ijtihad. “Ijtihad adalah tradisi ilmiah yang dimiliki kaum Muslim untuk menyelesaikan setiap permasalahan umat sesuai dengan syariah Islam,” ujarnya. Sedangkan secara imani, syariah Islam bersumber dari Allah SWT, Pencipta manusia dan yang paling mengerti solusi yang paling baik bagi manusia.
Akhirnya diskusi, yang dipandu oleh Prof Hassan Ko Nakata, Pimpinan Asosiasi Muslim Jepang, berkembang bukan hanya pada masalah tentang mungkin tidaknya khilafah berdiri tapi juga menyangkut gagasan rinci dari penerapan syariah di berbagai bidang untuk membuktikan bahwa khilafah memang bisa menyelesaikan berbagai persoalan manusia.
Diskusi hangat pun terjadi di antara peserta yang Muslim. Sementara mereka yang non Muslim, seperti kebanyakan profesor dari Doshisha University, juga dari NHK Jepang dan satu peserta dari Jerman, lebih banyak diam.
Meski demikian, Prof Kohara, Direktur Cismor, menyatakan sangat puas dan senang dengan jalannya diskusi. “Ini semua akan memperkaya pengetahuan masyarakat Jepang, khususnya Cismor Doshisha University, mengenai gagasan khilafah,” ungkapnya.
Ia bahkan menyambut saran dari peserta untuk mengadakan worskhop lagi tentang khilafah tapi dalam perspektif perbandingan dengan sistem politik lain.[] joko prasetyo
Sekilas tentang Doshisha University
Doshisha University (Dôshisha Daigaku) adalah universitas swasta Kristen di Kyoto, Jepang. Memiliki lebih dari 23.500 mahasiswa, universitas ini termasuk salah satu universitas terbesar dan paling prestisius di Jepang.
Universitas ini berawal dari sekolah bahasa Inggris Doshisha Eigakkô yang didirikan tahun 1875 oleh Joseph Hardy Neesima, dan diubah bentuknya menjadi universitas pada tahun 1920. Universitas Doshisha adalah universitas pertama di Jepang yang menerima mahasiswa wanita pada tahun 1923.
Universitas ini dimiliki oleh Yayasan Pendidikan Doshisha yang juga mengelola berbagai jenjang pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, hingga riset pascadoktoral. Doshisha juga memiliki Universitas Putri Doshisha (Doshisha Women's College of Liberal Arts).
Universitas Doshisha kini telah berkembang menjadi 12 fakultas, 10 sekolah pascasarjana, dua sekolah pascasarjana independen, dan dua sekolah pascasarjana profesi. Dan sejak tahun 2003 mendirikan pusat studi interdisipliner mengenai agama tauhid (Center for Interdiciplinary Study of Mono- theism Religions/Cismor).[] wikipedia/joy
sumber : Mediaumat.com