Pengendalian BBM Bersubsidi: Merugikan Rakyat


Voa-Khilafah.Blogspot.Com - Pemerintah tengah mengkaji sejumlah opsi guna mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak dalam APBN 2011. Menurut Menkeu, tanpa pengendalian konsumsi BBM bersubsidi atau kenaikan harga BBM, anggaran subsidi BBM pada akhir tahun 2011 diperkirakan akan melonjak dari target awal Rp 95,9 triliun menjadi Rp 120,8 triliun (lihat, Kompas, 5/7).
Saat ini, pemerintah menurut UU sebenarnya sudah mendapat mandat untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Dalam UU no 10 tahun 2010 tentang APBN 2011 Pasal 7 ayat 4 dinyatakan: “Dalam hal perkiraan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) dalam setahun meningkat lebih dari 10 persen dari harga yang diasumsikan dalam APBN 2011, pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi“. Realisasi s/d 22 Mei 2011, angka ICP adalah US$ 107,3 per barel. Pemerintah sendiri memperkirakan ICP hingga akhir tahun 2011 sekitar US$ 95 per barel, jauh di atas target APBN 2011, yakni US$ 80 per barel (Kompas, 5/7).
Namun menkeu menegaskan, pihaknya belum memutuskan menggunakan opsi kenaikan harga BBM. Meski demikian, Kementerian Keuangan tetap memperhitungkan kemungkinan itu jika memang disetujui DPR (Kompas, 5/7).
Pengkondisian Suasana untuk Pembatasan BBM/Kenaikan Harga BBM
Menkeu mengatakan, “Sebenarnya, kami sudah berencana mengendalikan volume BBM ini mulai Oktober 2010 tetapi tertunda. Lalu direncanakan pada 1 April 2011, tetapi tidak jadi. Kami berharap nanti (pada 2011) kebijakan ini jadi diberlakukan” (Kompas, 5/7).
Semua itu pada akhirnya tidak jadi dijalankan karena mendapat reaksi penolakan dari para tokoh, ulama, ormas, sebagian ekonom dan masyarakat secara umum. Namun bukan berarti keinginan untuk mengendalikan BBM bersubsidi itu sudah berakhir. Yang ada hanya ditunda dan akan diambil pada waktunya. Hal itu tampak jelas dari pernyataan menkeu di atas. Jika sekarang opsi kenaikan harga BBM belum diambil, meski secara UU pemerintah sudah memiliki mandat untuk melakukan hal itu, bisa jadi karena saat ini dinilai bukan waktu yang tepat. Jika waktunya dianggap tepat, maka nanti kebijakan itu akan diambil oleh pemerintah.
Agar pembatasan BBM bersubsidi atau pun kenaikan harga BBM nanti bisa berjalan mulus, pemerintah butuh dua hal, yaitu persetujuan DPR dan penerimaan oleh rakyat yang ditandai oleh minimnya reaksi penolakan di masyarakat. Untuk persetujuan DPR agaknya hal itu akan sangat mudah didapat. Sebab secara UU pun pemerintah telah memiliki mandat untuk melakukannya. Kalangan DPR sendiri sebenarnya senafas dan seide dengan pemerintah.
Untuk yang kedua, segala cara pun digunakan untuk “meyakinkan” masyarakat. Di antaranya dengan terus mengulang-ulang dan mengopinikan alasan dan argumentasi yang dinilai bisa membenarkan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi atau kenaikan harga BBM. Itulah yang terus disampaikan dan diopinikan melalui keterangan menkeu di forum DPR dan para pejabat dan politisi, lalu diblow up oleh media. Begitu pula opini itu dibentuk melalui berbagai iklan, spanduk dan pamflet dan media lainnya yang disebar di tengah masyarakat. Untuk menguatkannya ditampilkan pernyataan dari para ekonom dan lembaga kajian yang mendukung kebijakan itu.
Dari rencana pembatasan BBM bersubsidi pada Oktober tahun lalu dan April lalu, penolakan keras diantaranya berasal dari kalangan tokoh, ulama, dan Ormas Islam. Agaknya untuk meyakinkan para ulama, ormas, dan kaum Muslim umumnya, digunakanlah fatwa yang mendukung hal itu. Maka mucullah fatwa kontroversial seputar haramnya orang kaya menggunakan premium. Fatwa itu muncul setelah pertemuan antara kementerian ESDM dengan MUI (27/6/2011). Meski kemudian terungkap bahwa fatwa itu lebih merupakan pendapat pribadi dan bukan fatwa MUI.
Melihat gencarnya pembentukan opini yang sedang dilakukan saat ini, sampai-sampai menggunakan fatwa, agaknya saat ini merupakan pengkondisian bagi diterapkannya kebijakan itu. Sekaligus menandakan bahwa waktunya makin dekat. Bisa jadi, melihat kebiasaan selama ini, waktu yang dianggap tepat itu adalah pasca idul fitri nanti. Umat harus mewaspadai hal ini.
Pengurangan/Pencabutan Subsidi BBM: Agenda Penjajahan
Rencana pengendalian BBM bersubsidi merupakan buah dari kebijakan pengurangan bahkan pencabutan subsidi, termasuk subsidi BBM. Kebijakan tersebut banyak dipengaruhi (didektekan) oleh Bank Dunia dan IMF. Kebijakan itu merupakan syarat utang yang diberikan Bank Dunia. Dalam rilisnya, Bank Dunia menyatakan: “Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi danpengurangan subsidi …” (Indonesia Country Assistance Strategy - World Bank, 2001).
Kebijakan itu juga menjadi bagian dari LoI pemerintah dengan IMF. Di dalamMemorandum of Economic and Financial Policies-MEFP (LoI IMF, Jan 2000) dinyatakan,Pada sektor migas, pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi, dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional.” Di dalam LoI IMF July 2001 juga dinyatakan, …. Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarif listrik sesuai dengan tarif komersil.”
Kebijakan itu juga dipengaruhi dan dikawal oleh USAID. Di dalam Energy Sector Governance Strengthened (USAID, 2000) dinyatakan: … Para penasihat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan UU dan peraturan).
USAID juga menyatakan, “Pada tahun 2001 USAID berencana menyediakan US$ 850 ribu untuk mendukung sejumlah LSM dan Universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi, termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal“.
Pengurangan (penghapusan) subsidi BBM pasti mengakibatkan kenaikan harga BBM hingga sesuai harga internasional (harga pasar). Kenaikan harga BBM itu merupakan bagian dari liberalisasi sektor hilir Migas. Menteri ESDM ketika itu, Purnomo Yusgiantoro, menyatakan“Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14 Mei 2003).
Jelaslah bahwa kebijakan pembatasan BBM bersubsidi dan kenaikan harga BBM (pengurangan atau pencabutan subsidi BBM) merupakan agenda penjajahan dan menguntungkan pihak asing. Sebaliknya yang buntung adalah rakyat. Selain harus membayar harga BBM lebih mahal, rakyat juga harus membayar ongkos transportasi lebih mahal dan memikul dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM serta dampak lainnya.
Apa yang ditempuh dan direncanakan oleh negara saat ini justru merugikan rakyat. Karena, selain BBM murah dihilangkan, keuntungan dari kenaikan harga BBM itu juga tidak dikembalikan kepada rakyat. Sebab, subsidi kesehatan, pendidikan dan layanan yang lain justru dipangkas. Artinya, terjadi kenaikan harga, BBM murah dihilangkan dan rakyat dipaksa mengkonsumsi BBM tak bersubsidi yang ujungnya lebih menguntungkan kepentingan asing.
Bagaimana Seharusnya
Minyak dan gas adalah termasuk barang tambang (ma’adin) yang merupakan hak milik umum (seluruh rakyat) baik kaya maupun miskin. Rasul menegaskan:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثَةٍ: فِي الْمَاءِ وَالْكلإِ وَالْنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang dan api. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)
Dalam riwayat lain menggunakan lafazh an-nâs (manusia). Lafazh al-Muslimûn dan an-nâs adalah bersifat umum mencakup semua rakyat baik kaya maupun miskin. Karena minyak dan gas merupakan hak milik umum, maka semua orang, baik kaya maupun miskin, berhak menikmati harta milik umum itu. Tidak ada yang boleh membatasinya untuk segolongan saja dan menghalangi yang lain, sebab itu menyalahi nas dan mengkhususkan nas tanpa dalil.
Sebagai hak milik umum, migas harus dikelola oleh negara. Negara dalam hal ini berfungsi sebagai pengelola agar migas itu sampai kepada pemiliknya (rakyat) dengan harga murah dan terjangkau. Memang tidak ada larangan bagi negara untuk menetapkan harga migas mengikuti harga pasar atau harga tertentu yang rasional, tetapi seluruh kebijakan tersebut bukan untuk keuntungan pemerintah (negara) atau asing (privat), karena barang tersebut bukan milik mereka. Jika pemerintah (negara) harus menempuh kebijakan yang kedua ini, maka hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat, melalui penyediaan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Termasuk jaminan terpenuhinya sandang, papan, dan pangan melalui pembukaan lapangan kerja yang memadai.
Karena itu, sudah saatnya ketentuan Allah dan Rasul-Nya terkait migas itu kita ambil dan terapkan. Dan itu tidak mungkin kecuali melalui penerapan syariah secara kaffah dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwah. Hanya dengan itulah migas yang ditetapkan Allah menjadi hak milik umum akan benar-benar bisa dinikmati oleh seluruh rakyat dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan kepada mereka. Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam
FITRA: 124 dari 526 kabupaten/kota terancam bangkrut. Sebab pada APBD 2011, mereka mencatatkan anggaran belanja pegawai di atas 60%, sementara belanja modalnya hanya 1-15 %. (lihat, Republika, 5/7)
1. Inilah bukti otonomi lebih demi kepentingan sendiri, sementara rakyat diabaikan.
2. Inilah konsekuensi desentralisasi dan politik demokrasi yang butuh biaya politik mahal.
3. Hanya sistem politik Islam saja yang bisa melahirkan pemerintah dan aparatur yang memperhatikan kepentingan rakyat. Saatnya terapkan syariah dalam bingkai Khilafah.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers