Voa-Khilafah.co.cc - POLA penggunaan anggaran belanja negara dari tahun ke tahun tidak berubah banyak, yaitu rendahnya penyerapan, terutama pada pos belanja modal, dan belanja-belanja dadakan yang menjamur di akhir tahun.
Pada belanja modal, sampai dengan akhir September baru terserap 32% dari jatah Rp140 triliun. Artinya, tiga bulan terakhir menjelang akhir tahun, masih 76% anggaran yang tidak terpakai. Padahal, sebagaimana diketahui, belanja modal menjadi salah satu lokomotif pertumbuhan.
Angka ini setidaknya menjelaskan beberapa hal. Pertama, mengonfirmasi bahwa porsi belanja tetap, terutama belanja pegawai mendominasi APBN. Kedua, juga menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang sektor konsumsi. Investasi tetap lemah.
Padahal, jika belanja modal dikebut setara dengan belanja tetap, angka pertumbuhan yang diproyeksi 6,7% bisa dilampaui. Para analis mematok angka di atas 7% bahkan 8%. Angka pertumbuhan ini memadai untuk menyerap angkatan kerja.
Pemerintah memiliki banyak penjelasan tentang penyerapan anggaran yang timpang itu. Dari sistem pencairan dana yang umumnya dikebut di akhir tahun, sampai rendahnya kapasitas perencanaan proyek di tingkat daerah. Dari sistem anggaran berbasis input, sampai sistem berbasis kinerja.
Fakta yang menarik, sesungguhnya tidak semata pada ketimpangan angka penyerapan. Kelihaian menciptakan belanja siluman juga marak di akhir tahun. Banyak belanja dikebut di akhir tahun sekadar menghabiskan duit.
Penelusuran Media Indonesia di kawasan Puncak, Jawa Barat, pekan lalu menunjukkan hal menarik. Hampir semua hotel memajang spanduk seminar, diskusi, pelatihan dari berbagai institusi pusat dan daerah.
Ini ialah modus lama pemborosan anggaran di akhir tahun. Seminar, diskusi, termasuk studi banding, ialah proyek-proyek siluman yang sah menurut prosedur administratif, tapi rendah kegunaannya.
Proyek siluman dan penyerapan anggaran yang amat lamban, menjadi ironis bagi Indonesia yang selalu mengeluh kekurangan uang dan karena itu terus saja meminjam dari luar negeri. Susah uang, tetapi tidak mampu menggunakannya. Ketika dipacu kecepatan dan ketepatan penggunaan, yang dikebut justru proyek-proyek siluman di akhir tahun berupa seminar, diskusi, simposium, dan studi banding.
Banyak hambatan yang tidak terjelaskan di balik buruknya penyerapan anggaran dan kebut-kebutan proyek siluman di akhir tahun. Pejabat daerah mengeluh bahwa pencairan uang proyek masih terpusat di Jakarta. Inilah yang menyebabkan banyak pejabat daerah mondar-mandir ke Jakarta dan pada gilirannya menyuburkan mafia anggaran yang saling menguntungkan.
Reformasi birokrasi menyangkut etos pelayanan dan peningkatan kapasitas perencanaan terutama di lembaga-lembaga daerah menjadi penting. Mentalitas proyek di kalangan pejabat mesti disingkirkan bersamaan dengan reformasi birokrasi yang nyata. Tidak cuma omong. (mediaindonesia.com, 1/12/2011)