Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan pada tanggal 24/11/2011 telah menyampaikan permintaan maaf kepada para korban pembantaian yang dialami kaum Alevi (Alawi) Nashiri di daerah Dersim oleh Ataturk, antara 1936-1939, bahkan pembantaian itu terus belanjut di era penggantinya, Ismet Inonu hingga 1946.
Pembantaian itu telah merenggut nyawa puluhan ribu. Namun, negara Turki mengakui bahwa yang meninggal 13.800 orang. Mereka telah diserang oleh pesawat dan gas racun. Di antara pilot yang aktif ambil bagian dalam penyerangan itu adalah putri Ataturk, Sabiha Gokcen, yang kemudian diadopsi menjadi nama Bandar Udara Internasional, Sabiha Gokcen di Istanbul.
Erdogan mengatakan bahwa ia meminta maaf: “Jika harus meminta maaf atas nama Negara. Dan apabila praktek-praktek seperti yang disebutkan dalam buku-buku itu benar-benar terjadi, maka saya akan meminta maaf, bahkan saya sendiri yang menyampaikan permintaan maaf.”
Alasan pembantaian itu dilakukan adalah, bahwa Republik Demokrasi Sekuler yang didirikan oleh Ataturk, ingin memaksa kaum Alevi (Alawi) untuk membayar pajak, dan memaksa anak-anak mereka untuk melakukan wajib militer.
Sedang mereka pada saat berada di bawah kekhilafahan Islam, mereka tidak dikenakan wajib militer, sebab mereka tidak dianggap sebagai kaum Muslim, dan negara Islam tidak memaksa non-Muslim untuk mengituti pelatihan wajib militer. Mengingat jihad tidak wajib atas mereka. Jihad hanya wajib atas kaum Muslim saja.
Dan dengan alasan yang sama, Negara Khilafah tidak mengambil zakat dari mereka, begitu juga mereka tidak dibebani kewajiban membayar pajak. Sehingga, mereka merasa aman dan nyaman berada di bawah kekuasaan Negara Khilafah.
Ketika Republik Demokrasi Sekuler mulai membebani mereka dengan kewajiban membayar pajak, dan memaksa anak-anak mereka masuk dinas wajib militer, maka mereka merasakan kezaliman sistem demokrasi sekuler, dan merasa kehilangan sistem Islam yang adil. Sehingga pada saat yang sama mereka mulai melakukan pemberontakan terhadap kezaliman sistem ini, yang mulai menyerang dan membunuh mereka dalam bentuk genosida, serta pasukan mereka di tempatkan di seluruh penjuru kota. Bahkan rezim Ataturk mengubah nama wilayah menjadi Dersim, yang sebelumnya bernama Tunceli agar masyarakat melupakan tragedi yang mengerikan itu.
Dan di antara kontradiksi yang ada adalah bahwa banyak generasi muda kaum Alevi (Alawi) Nashiri di Turki yang bergabung dengan Partai Republik Rakyat (CHP), yang merupakan partai berkuasa di masa itu, yang dipimpin oleh Ataturk, kemudian dipimpin oleh Ismet Inonu, yang dianggap sebagai pejabat yang bertanggung jawab atas pembantaian itu.
Sayangnya, permusuhan dan kebencian mereka terhadap Islam, yang telah memberikan keadilan pada mereka, melindungi mereka, serta membebaskan mereka dari berbagai beban dan kewajiban, seperti zakat, pajak, wajib militer dan lain sebagainya, sungguh permusuhan dan kebencian itu telah membutakan mereka, sehingga mereka melupakan pembantaian oleh rezim sekuler demokrasi, kezaliman dan pemaksaannya. Akibatnya, mereka mendukung partai sekuler yang sebelumnya telah menekan mereka. Bahkan mereka semakin menunjukkan kecintaannya kepada Kemal Ataturk, karena permusuhannya terhadap Islam, sehingga mereka menganggap diri mereka sebagai Kemalisme.
Di sisi lain, Erdogan tidak berani untuk meminta maaf kepada para korban kaum Muslim di daerah Wan dan daerah lainnya, yang korbannya sekitar 40.000 orang sesuai dengan pengakuan negara, dan ratusan ribu menurut data statistik tidak resmi, yaitu ketika kaum Muslim memenuhi panggilan Rasulullah Saw: “… kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang dapat dibuktikan di sisi Allah.”
Ketika Ataturk menampakkan kekufuran yang nyata, yakni pada saat ia menruntuhkan Khilafah dan mengumumkan sistem demokrasi sekuler, maka semangat kaum Muslim berkobar untuk memenuhi panggilan itu, dan pemimpin mereka yang terkemuka adalah Syaikh Said al-Kurdi.
Perlu diketahui bahwa Hizbut Tahrir pada tahun yang lalu telah menyelenggarakan kampanye di Turki dan mendesak pemerintah untuk meminta maaf atas pembantaian itu, dan merehabilitasi nama baik Syaikh Said al-Kurdi, yang oleh penguasa Ataturk dituduhnya sebagai agen Inggris, dan Inggris telah memprovokasinya.
Syaikh Said bersikeras mengatakan bahwa ia melakukan semua itu bukan karena provokasi siapapun, namun ia melakukan semuanya murni karena tuntutan agama yang telah mewajibkan dirinya dan kaum Muslim untuk mengembalikan Khilafah, sebagaimana yang diperintahkan Islam.
Padahal semua tahu, bahwa Ataturk sendirilah yang merupakan agen Inggris, yang dibuktikan berdasarkan dokumen resmi Turki dan Inggris. Dan Inggrislah yang telah meruntuhkan Khilafah, kemudian mengangkat Ataturk sebagai penguasa Turki, sebagaimana mereka telah mengangkat para penguasa Arab, yang kebanyakan sebagai raja dan presiden di atas sejumlah negeri-negeri kecil Arab, yang dibangun di atas puing-puing negara Islam.
Namun Erdogan dan pemerintahnya, serta parlemen yang dikontrolnya, dan juga negara Turki telah menolak untuk memenuhi panggilan Hizbut Tahrir tersebut (kantor berita HT, 30/11/2011).