Bom Solo, Siapa Diuntungkan?


Voa-Khilafah.co.cc - Aksi bom bunuh diri terjadi pada tanggal 25/9 di Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo. Insiden ini hanya menewaskan pelakunya sendiri dan melukai 27 orang. Pada Selasa, 27/9 bahwa dari identifikasi, Mabes Polri memastikan pelaku pemboman tersebut bernama Ahmad Yosepa alias Hayat. Hayat adalah satu dari lima orang DPO kasus pengeboman masjid adz-Dzikra Mapolresta Cirebon pada 15 April 2011, seperti yang telah diumumkan oleh Polri pada pertengahan Juni lalu.
Peristiwa ini terjadi saat terjadi banyak masalah yang menghebohkan negeri ini. Misalnya, masalah korupsi di kemenakertrans, korupsi wisma atlet , hiruk pikuk reshuffle kabinet, dan mafia anggaran. Saat ini , berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia pada bulan September, juga terjadi penurunan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah hingga tinggal 37,7%. Semua itu pada akhirnya memunculkan kecurigaan dan tanda tanya seputar peristiwa bom GBIS Solo ini. Berbagai spekulasi pun muncul . Muncul kecurigaan peristiwa ini sudah diskenariokan sebelumnya atau paling tidak terjadi pembiaran.
Hal ini mengingat jauh hari sebelumnya sudah ada informasi intelijen akan terjadi serangan bom. Pengamat intelijen Wawan H Purwanto mengatakan intelijen sebetulnya telah mengetahui gerakan para teroris sejak 14 Agustus 2011 sebelum aksi bom bunuh diri terjadi (antaranews, 26/9). Hal senada dikatakan Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq di kompleks DPR, Selasa (27/9) menurutnya telah ada informasi intelijen akan adanya aksi-aksi bom bunuh diri dari enam orang yang sudah dipersiapkan sebelum kasus Cirebon. Bahkan, warning terhadap kasus Solo sudah dilakukan. Per tanggal 21 September itu sudah ada informasi intelijen, yang akan menjadikan Solo sebagai Ambon berikutnya” (Kompas.com, 27/9).
Mengegolkan RUU Intelijen?
Muncul pula kecurigaan bahwa bom itu ada kaitannya dengan pembahasan RUU Intelijen yang sedang berjalan di DPR. Termasuk mendorong penambahan wewenang intelijen untuk bisa melakukan penyadapan dan penangkapan. Meskipun hal ini dibantah keras oleh kepala BIN, Sutanto. Namun tidak bisa dikesampingkan begitu saja, bahwa peristiwa ini sangat mungkin dipakai untuk memperkuat penggolan RUU Intelijen.
Tampak dari pernyataan Kepala BIN yang menyatakan kalau informasi saja tanpa didukung alat bukti lain kan tidak bisa diproses secara hukum. ” Itu kendala, karena itu perlu penguatan hukum di sini sehingga bisa efektif penegak hukum di lapangan dalam menangani masalah teror ini, “ujarnya. (detik.com, 26/9).
Istana juga ingin penguatan intelijen melalui RUU Intelijen. Pemerintah mengeluhkan intelijen tidak memiliki kewenangan penangkapan. Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha, Senin (26/9), menegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginginkan penguatan intelijen melalui payung hukum. Upaya preventif yang efektif harus memberikan kewenangan penangkapan kepada intelijen (Mediaindonesia.com, 26/9).
Padahal dalam kasus bom ini hambatan itu tidak ada. Mengingat pelaku bom sudah masuk dalam daftar DPO (Daftar Pencarian Orang), yang artinya dia bisa ditangkap kapan saja dan di mana saja bila ditemukan. Apalagi faktanya, dalam penanganan terorisme selama ini, Densus 88 nyaris tanpa hambatan melakukan apapun. Termasuk melakukan penangkapan bahkan menembak mati orang-orang yang baru diduga teroris. Karenanya, tentu adalah wajar kalau muncul anggapan peristiwa ini digunakan untuk kepentingan pengesahan RUU Intelijen itu termasuk pengalihan masalah yang sedang menimpa partai panguasa.
Memang terkait RUU Intelijen itu, kemungkinan besar DPR dan pemerintah sepakat, BIN tidak diberi wewenang menangkap. Ketua Komisi I DPR, Agus Gumiwang Kartasasmita menuturkan, pemerintah dan DPR sepakat bahwa intelijen hanya bertugas melakukan deteksi dini. Intelijen tidak diberikan hak menangkap karena dikhawatirkan akan mengembalikan ke kondisi masa lalu, dimana intelijen sering dipakai sebagai alat untuk mengamankan kekuasaan dan bukan alat negara (Kompas, 27/9). Intelijen, lanjut Agus, tetap dapat menyadap untuk kepentingan terorisme, separatisme dan spionase. Namun penyadapan itu harus sesuai dengan undang-undang, maksimal dilakukan selama enam bulan dan ada keterlibatan pengadilan.
Namun bukan berarti RUU Intelijen yang sedang dibahas itu tidak perlu dicermati dan diwaspadai. Sebab di dalamnya masih mengandung hal-hal yang perlu dikritisi, seperti adanya kata dan istilah yang tidak jelas dan multi tafsir seperti kata “ancaman keamanan nasional”, “lawan dalam negeri” dan lainnya. Juga dimasukkannya masalah “subversif” di dalam RUU tersebut. Pengertian yang kabur ini sangat mungkin digunakan oleh penguasa sesuai kepentingannya, membungkam suara-suara kritis termasuk penegakan Islam dengan mempersepsikannya sebagai ancaman.
Kita tentu tidak menginginkan kembalinya era orde baru ketika penguasa menggunakan tuduhan subversif , mengancam keamanan nasional untuk memenjarakan, menyiksa, hingga membunuh lawan-lawan politiknya atau pihak-pihak yang mendakwahkan Islam. Jelas ini adalah kemunduran bagi Indonesia. Negara tetangga Malaysia sendiri telah mencabut Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Act -ISA) dan Undang-Undang Darurat (Emergency Ordinance - EO). Sebab berdasarkan UU ini , selama 5 dasawarsa, pemerintah Malaysia memenjarakan ribuan pengkritik pemerintah dan anggota kelompok dakwah Islam .
Harus Dikutuk, Merugikan Islam dan Umat Islam
Lepas dari itu semua , peristiwa pemboman ini harus dikutuk. Tindakan keji ini bertentangan dengan ajaran Islam. Sangat jelas, syariat Islam dengan tegas melarang melukai apalagi membunuh siapapun tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’iy. Apalagi tindakan itu menimbulkan kematian bagi diri pelakunya sendiri.
Lebih dari itu, peristiwa ini tidak bisa dikatakan untuk memperjuangkan Islam atau demi kepentingan Islam. Jika dikatakan motifnya untuk memperjuangkan Islam, maka faktanya dengan peristiwa seperti ini, Islam justru menjadi bulan-bulanan. Bagaimana mungkin memperjuangkan syariah Islam dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan syariah Islam?
Peristiwa ini juga memperkuat pihak yang ingin menghambat penegakan Islam dan syariah Islam. Dengan alasan pemboman ini , pembenaran terhadap pentingnya program deradikalisasi justru menjadi kuat. Padahal isi dari program ini adalah menyerang ajaran penting Islam seperti syariah Islam, khilafah dan jihad. Termasuk menjustifikasi propaganda untuk meliberalisasi ajaran Islam dan mengebirinya dengan isu-isu Islam moderat atau Islam inklusif (terbuka).
Disamping itu,kekerasan dan terorisme (al-irhab) bukanlah metode yang dibenarkan syariat Islam dalam memperjuangkan tegaknya syariah. Metode untuk itu seperti contoh dari Rasulullah saw adalah dengan dakwah pemikiran dan politik (al-fikriyyah wa al-siyasiyah), tanpa kekerasan (la ‘unfiyah).
Islam juga mengharamkan membunuh manusia baik muslim maupun non muslim tanpa alasan yang haq. Perbuatan itu merupakan kejahatan keji. Firman Allah:
مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS al-Maidah [5]: 32)
Bahkan di dalam peperangan sekalipun, Rasulullah senantiasa berpesan agar pasukan Islam tidak membunuh wanita, anak-anak dan orang tua, tidak menebangi pepohonan dan tidak merusak tempat ibadah non muslim serta mengganggu para rahib di dalamnya.
Terbukti dalam sejarah bahwa hanya Islam sajalah yang bisa melindungi nyawa manusia baik muslim maupun non muslim. Orang-orang non muslim diberikan kebolehan beribadah dengan bebas. Tempat ibadah merekapun masih tetap eksis di negeri-negeri Islam, padahal sistem Islam (Khilafah Islamiyah) memerintah dan menaungi negeri-negeri itu selama 13 abad.
T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”. Karena itu demi mewujudkan masyarakat meskipun beragam namun dapat hidup damai, rukun dan harmonis, tidak ada jalan lain kecuali dengan menerapkan syariah Islam dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar al-Islam

Jajak Pendapat “Kompas”: Munculnya kasus korupsi dalam kementerian menjadi puncak ketidakpuasan publik terhadap kinerja kabinet. Perombakan kabinet pun menjadi salah satu keharusan. Namun perombakan saja bagi publik tidak cukup, patut pula dilengkapi dengan perbaikan gaya kepemimpinan Presiden (Kompas, 26/9)
  1. Perombakan kabinet dan perbaikan gaya kepemimpinan tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab masalah mendasarnya adalah sistem rusak sekuler kapitalisme demokrasi yang diadopsi negeri ini.
  2. Sebagus apapun gaya mengemudi nahkoda dan seberapa baik para awak kapal, jika kapalnya bobrok tetap saja akan sulit mencapai tujuan.
  3. Solusinya, terapkan syariah Islam dalam bingkai Khilafah, sistem yang bersumber dari wahyu Allah yang Maha Bijaksana; dan angkat pemimpin yang bertakwa, amanah dan mampu untuk menjalankannya. Niscaya masyarakat dapat meraih tujuan yang diidamkan.
[Buletin Dakwah Al Islam edisi ke 574, hti/voa-khilafah.co.cc] 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers