Aparat Hanya Berdiri Menonton Saat Masjid & Ratusan Rumah Muslim Dibakar Salibis


AMBON (voa-khilafah.co.cc) – Aparat keamanan baik TNI maupun Polri tidak melakukan pengamanan saat masjid dan ratusan rumah kampung Muslim dibakar perusuh Kristen pada insiden 9/11. Aparat hanya menonton meski warga sudah berteriak-teriak kepanikan.

Hal ini diungkapkan Ibu Sanni, bukan nama sebenarnya, saksi mata kerusuhan 9/11 (baca: 9 September 2011). Wanita berusia 40 tahun ini ini minta namanya dirahasiakan dengan alasan keamanan.

Bersama warga lainnya, Sanni pindah ke pengungsian karena rumahnya menjadi korban pembakaran Salibis dalam insiden 9/11. Bila sang suami yang menjabat sebagai Ketua RT di Kampung Warigin itu tidak berada di tempat pengungsian, Ibu Sanni menggantikan sang suami sebagai koordinator pengungsi.

Warga kampung Waringin, jelasnya, sudah lelah dan bosan jadi korban pembantaian para perusuh Salibis. “Kita sudah tiga kali, tidak tahu permasalahannya dari mana, kami jadi tumbal di situ,” ujarnya kepada voa-islam.com, Rabu (21/2011).
....Kita sampai berteriak-teriak di Mess TNI di depan Telkom itu, malah mereka berdiri dan cuma memandangi kami...
Ia menuturkan betapa susahnya berdampingan dengan kampung Kristen di Ambon. “Kita di sana itu kelurahan Wainitu kecamatan Nusaniwe,  itu berbatasan dengan Kudamati, Batu Gantong Dalam (desa Kristen), di sampingnya itu kan ada gereja Rehobot,” terangnya.

Sanni menuturkan, saat kejadian, warga Muslim sangat tidak siap bentrok. Berbeda dengan pihak Salibis yang sudah mempersiapkan diri untuk berperang. “Anak-anak (para pemuda, red.) banyak yang ditembak senapan cis (senapan angin, red). Seperti anak laki-laki saya juga kena di kaki dan kepalanya kena batu. Kita ini tidak ada persiapan apa-apa, berbeda dengan mereka (pihak Kristen, red),” paparnya. “Mereka pakai senapan cis, pakai sniper, tapi kalau kita? Kita tidak punya kekuatan. Dia bisa tembak dia punya persiapan, banyak itu anak-anak yang jadi korban,” tambahnya.

Warga Muslim, jelas Sanni, sangat menyesalkan tindakan aparat baik polisi maupun TNI yang tidak bertindak apapun untuk mengamankan warga dari serangan kelompok Kristen. Aparat hanya menjadi penonton yang baik saat insiden yang menghanguskan masjid dan ratusan rumah Muslim di Kampung Waringin.

“Sebenarnya saya bersama warga pengungsi di sini menyesalkan aparat, dari mulai Polisi atau TNI. Kita sudah berteriak-teriak tapi tak satu pun yang datang setelah berjam-jam kerusuhan terjadi,” kecamnya. “Kita sampai berteriak-teriak di Mess TNI di depan Telkom itu, malah mereka berdiri dan cuma memandangi kami. Kami sudah berteriak-teriak Pak, bagaimana Pak? Tapi tidak ada realisasi. Itu yang saya sesalkan,” imbuhnya.
...Sampai kapan pak timbul banyak korban. Saya hanya menggunakan baju yang menempel di badan saya saja, semuanya habis...
Ironinya, bantuan baru datang beberapa jam setelah kejadian. Tapi dua panser yang lewat, hanya lewat saja. Tak bisa berbuat apa-apa keluarga ketua RT itu pun hanya bisa menyelamatkan diri bersama baju satu-satunya yang menempel di badannya. “Kita sudah teriak, Pak. Sampai kapan pak timbul banyak korban. Saya hanya menggunakan baju yang menempel di badan saya saja, semuanya habis,” tuturnya geram.

Selain itu, warga merasa dianaktirikan aparat dalam konflik di Ambon. Pasalnya, aparat hanya siaga menjaga pihak Kristen. “Kenapa waktu bentrok di Batu Gantong Dalam dan Kudamati lima menit aparat langsung datang?” tukasnya.

Mewakili warganya, wanita koordinator pengungsi ini menuntut aparat agar mendirikan pos keamanan di Kampung Waringin. Karena tanpa adanya pos keamanan, sudah tiga kali warga Muslim jadi tumbal penyerbuan kelompok perusuh Kristen. “Kita sudah minta sejak tahun 1999 (konflik Ambon pertama, red), lalu minta lagi tahun 2004 (kerusuhan kedua, red) sampai ke 2011 ini tanpa ada realisasi,” jelasnya. “Jangan cuma di Wai (desa Kristen, red) saja  yang bisa bikin permanen, sementara kita (Waringin) tidak bisa bikin Pos.”

Sebagai solusi agar tidak menjadi korban pembantaian lagi, warga juga meminta tembok pembatas antara kampung Muslim dengankampung Kristen. “Pemerintah harus buat tembok pemisah. Terus kita juga minta sertifikat tanah sejak tahun 1999 itu tanpa penyelesaian sampai sekarang,” desaknya. [cuk/ahmed widad]


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers