Imanku bergelombang. Sesaat ia menukik berada sekian tingkat di bawah strata keshalihan manusia-manusia yang digambarkan dengan indah dalam kalamullah. Tak jarang ia berada begitu dekat dengan titik kritis yang mendikotomi muslim menjadi pejuang militan dan penyandang maestro pesakitan, al wahn. Menjadi sebuah ironi yang menyakitkan ketika di satu sisi seruan kepada al imanu billah senantiasa bergelinjang menerobos telinga-telinga mereka yang mencari kebenaran haqiqi, menyodorkan islam sebagai penawar, namun iman ini sedang merunduk. Iman ini tenggelam.
Kaki ini terpancang pada zaman yang tidak toleran, zaman yang keras. Episode peradaban yang tak membiarkan keimanan menjadi tiara mulia, periode yang melarang keshalihan tersembul jelas. Setiap nyawa disuguhi sebuah skrip yang mendewakan dunia, menuhankan materi, meng-anakemas-kan kebebasan, menyembah kenikmatan. Hati orang beriman disergap jilatan neraka tiap detiknya, hingga siapapun yang tidak taat, niscaya akan meleleh lentera tauhid di hatinya. Maka sudah jelas klimaks bagi mereka yang tak punya iman. Mereka akan tergulung hingga musnah.
Dan aku ada situ. Di zaman itu. Terengah-engah menggenggam aqidah. Hingga kerap tersedak, kerap terantuk, kerap menangis. Panggilan kerja meraung ganas, membuatku terjaga di siang dan bersiaga di malam. Jadwal kuliah memburu deras, melecut badan enam hari seminggu dan nyaris 12 jam sehari. Tekad di hati menggersang, terkelupas. Kadang aku kehilangan selera saat hafalan. Kehilangan nyawa saat menyusuri Sirah Nabawiyah, kitab Syakhsiyah, Tarikh Khulafa, Mafahim Siyasi, Tafsir Ibnu Katsir, Kitab Daulah Khilafah. Mataku kerap terpejam saat tahajjud. Puasa sunnah kendur. Ibadah dhuha kian mundur.
Aku memanggul ideologi. Karena tuntunan iman aku paham ideologi ini harus diemban, harus diperjuangkan, wajib disebarkan. Namun setan telah memperbudak manusia hingga melanggengkan sistem dajjal, mengebiri hidup pada uang, menindas pelajar dalam silabus feodal, hingga menciptakan ritme hidup yang jauh dari keshalihan, membuat iman sering mencium tapal batas terendahnya.
Dalam raga yang lelah dan kesakitan, hati ini sering tersedu. Hingga lembar-lembar kisah manusia Rabbani di generasi terdahulu kerap kuharapkan menjadi pemantik obor militansi, melecut api tauhidi. Aku merintih membayangkan kekasih Tuhanku saat Ia SAW tertunduk syahdu di atas hamparan pasir sebelum perang Badar berkobar. Di situ Ia SAW memohon agar agama ini dilesatkan jauh lebih tinggi dari aqidah kafirun, meminta supaya pasukannya mampu menjaga islam dengan sebuah kemenangan. Karena itulah cobaan. Pasukannya hanya sekerumun, sementara musuh Allah bergerombol penuh. Namun keimanan Rasul dan pasukannya tetap penuh, utuh.
Abu Dzarr Al Ghiffary menemukan hidupnya berarti saat bibirnya basah oleh syahadat. Ia berdiri tenang dan penuh kharisma di tengah kaumnya, menyatakan keislaman dan menyebarkannya di tengah mereka. Di sinilah ujian. Ia dihantam, dihajar, hingga ruhnya nyaris meregang. Namun keimanan Abu Dzarr tetap penuh, utuh.
Menggigil ketika kususuri lembar tarikh Utsman. Khalifah ketiga yang begitu lembut dan pemalu. Sejak hari di mana ia dibaiah menjadi pemimpin, ia adalah penggembala bagi ummat dan bertanggungjawab atas kemuliaan islam wal muslimun. Namun ujian datang. Ia, di ujung kepemimpinannya diberondong oleh ummatnya dengan masirah dan hujatan. Utsman akhirnya terbunuh, namun imannya tetap penuh, utuh.
Terpana oleh kemuliaan hati Shafiyah, istri Rasul keturunan Yahudi yang pada awalnya merupakan tawanan pasca perang Khaibar. Islam merengkuh hati dan keimanannya. Ia melihat langsung bagaimana keluarga dan kerabatnya menemui ajal karena menghalangi dakwah islam. Mereka adalah orang yang memiliki darah yahudi sama dengan yang mengalir dalam tubuhnya, namun Shafiyyah tidak tergugah untuk kembali kufur dan menghianati Rasulullah. Itu terpaan keras untuknya, tapi imannya tetap penuh, utuh.
Maka aku menengadahkan kepala ini kembali. Mencari ridha dan cintaNya yang berserak indah di depan mata. Memohon agar DIA menopang tungkaiku untuk tetap berjalan. Inilah ujianku, ujian anda, ujian kita. Bahwa kita dilahirkan pada masa yang berlipat-lipat lebih suram. Bahwa mata kita menjenguk peradaban yang porak poranda. Hidung kita mengendus sampah pemikiran yang sedemikian dahsyatnya. Kita ada dalam masa itu, namun kita menolak tergerus dengan kebathilannya. Kita punya tanggungjawab besar yang merupakan konsekuensi dari keimanan kita. Kita sekolah, kita belajar, kita bekerja, kita menulis, kita berdiskusi, kita melakukan hal serupa dengan manusia lainnya. Kita merasakan kesulitan hidup seperti manusia lainnya. Kita merintih karena cobaan sama seperti manusia lainnya. Namun selain semua aktivitas dan kepenatan itu, di saat yang sama kita juga melakukan amalan supaya kemulian Islam bisa dirasakan kembali oleh alam.
Apakah payah saat kita mengampu kewajiban dua kali lebih berat dari manusia lain? Apakah payah saat kita melakukan aktivitas dua kali lipat lebih banyak dibanding manusia lain? Apakah payah saat badan kita lemah usai bekerja namun masih ada sederet agenda dakwah yang mesti kita tunaikan? Apakah payah saat mahasiswa lain cukup membaca diktat kuliahnya sedangkan kita wajib untuk memahami tidak hanya mata kuliah namun juga pemikiran islam yang rimbun dan semampai? Apakah payah saat manusia lain menempatkan keimanannya di urutan kesekian sementara kita harus menempatkan keimanan dan keshalihan kita pada posisi utama? Apakah payah jika ummu lain menyerahkan pendidikan anak pada televisi dan dvd sementara kita sadar bahwa kita wajib mengeja aqidah dan syariah dalam relung anak-anak kita hingga mereka paham dan menjadi hamba yang taat? Apakah payah di saat wanita lain hanya lelah karena pekerjaan namun kita sekaligus menggenggam pekerjaan kantor, rumah dan dakwah? Payahkah? Sakitkah? YA! Saya payah. Anda sakit. Saya perih. Anda lelah.
Namun di titik itulah para shahabat iri kala mendengar rasulullah memberi jawaban atas pertanyaan mereka: “Wahai Rasulullah SAW adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk Islam dan berjihad bersama Engkau.” Beliau SAW menjawab “Ya, ada yaitu kaum yang akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaKu padahal mereka tidak melihat Aku.” [HR. Ahmad]
Jiwaku…ingatlah : “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka… Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” [QS 9:111]
Tidakkah ini menjadikan kita tetap beriman penuh dan utuh di saat paling menyakitkan sekalipun? Tidakkah ini menjadi pelecut semangat agar kita tak banyak mengeluh dan tetap berdakwah? Tidakkah ini menjadi kekuatan sejati yang memacu kita untuk tetap tholabul ‘ilmu dan beramal shalih sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya meski kita penat, lelah, sakit, payah?
Aku, anda, kita tidak mau kalah. Meski serbuan pekerjaan, kuliah, tugas, amanah, hujatan, pengucilan, diskriminasi terus datang tapi aku, anda, kita akan berkata lantang : KAMI MENOLAK MENYERAH! Insya Allah, biidznillah.
[Semburat JINGGA]