Sebuah Cuplikan "The Chronicles of Draculesti"


[The Destiniy]

“Kisah penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad al-Fatih, kisah pembantaian keji prajurit Khilafah oleh Draculesti, dan takdir yang mempertemukan keduanya.”

Novel pertama dari rangkaian novel yang direncanakan akan terbit setelahnya. Ide utama novel nampaknya tentang al-Fatih dan Dracula. Dua anak yang pernah dibesarkan dalam atmosfer sama, namun tumbuh dengan pilihan hidup masing-masing. Keduanya bagai air dan api, masing-masing mewakili keimanan dan kekufuran. Menarik, karena ide kisah ini fokus pada satu titik, kisah panglima yang dijanjikan Rasulullah dalam hadits beliau.

Tapi jangan berharap kalian akan menemukan kisah penaklukan Konstantinopel dalam novel pertama ini. Masih belum.... Mungkin di novel ke sekian baru kalian menemukan kisah penaklukan legendaris itu. Saat ini digambarkan, Al-Fatih baru berusia belasan dan masih di bawah bimbingan Syekh Syamsuddin. Vlad alias Dracula pun masih belia. Ia tawanan Kekhilafahan Ustmani yang dididik dengan baik. Namun sedari kecil ia memang telah menunjukkan watak kejamnya.

Novel ini lebih banyak berkisah tentang kegemilangan penaklukan tentara-tentara Khilafah terhadap negeri-negeri di benua Eropa, serta intrik mengerikan yang terjadi di seputar kerajaan kufur. Perang harus terjadi demi membela segalanya yang harus mereka bela. Bagi kaum Muslimin hal itu hanya untuk satu dari dua kemuliaan, hidup mulia atau mati syahid.

“Kami datang untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia, menuju penyembahan kepada Allah, Tuhannya manusia. Dan hanya kepada Allah saja. Kami datang untuk mengubah penindasan manusia menjadi keadilan Islam.” (Rabi’ah bin Amir, saat menghadap Kaisar Persia untuk menyampaikan surat dakwah Rasulullah)

Sungguh, jihad adalah wujud cinta tak bertepi pada Allah, Rasulullah dan seluruh umat manusia.

click gambar untuk zoom lebih besar
[The Battle]

Deg… deg… deg… jantung Bayazid berdegup kencang ketika ia menatap pemandangan yang terhampar di hadapan. Matanya membelalak, jiwanya disiksa kekhawatiran. Langkah kudanya terhenti. Syekh Hassan yang ada di sebelahnya ikut terpaku, ia tak percaya penglihatannya. Barisan prajurit Khilafah Utsmaniyah berbaris memanjang di kanan-kiri dan di belakang Bayazid, bertanya-tanya.






Mereka menyaksikan bekas-bekas medan perang di hadapan mereka. Jasad-jasad tentara Islam bergelimpangan tak menentu, tombak dan pedang tertancap di tanah dan mayat-mayat. Padang rumput di hadapan kota Oryahovo telah basah oleh darah.
Bayazid menatap jembatan besar Oryahovo di depan, mayat-mayat pun bertumpuk-tumpuk di sana. Wajah Bayazid tegang, alisnya melengkung, dahinya berkerut, bibirnya keras. Selama beberapa saat ia terpaku begitu saja di atas punggung kudanya, tak bicara apa-apa.
Syekh Hassan menoleh kepada Bayazid, ia menatap Bayazid penuh makna. Ia menunggu perintah pemimpinnya. Namun Bayazid seolah-olah membatu.
“Sultan?” Panggil Syekh Hassan.
Bayazid diam saja.
“Sultan?”
Tetap bergeming. Tapi tiba-tiba mata Bayazid berkaca-kaca, bibirnya gemetar, ia mulai terisak. Pandangannya telah berbaur, sebab air suci telah menggumpal-gumpal di kelopak matanya. Air itu menetes, mengalir di pipinya, jatuh ke janggutnya. Bayazid menangis tersedu-sedu di atas kudanya. Dia menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya.
“Allahh… Allahu Robbi…” Isaknya lirih.
“Sultan??” Syekh Hassan terharu.
Bayazid membuka kembali wajahnya, matanya nanar. Pandangannya menyapu mayat-mayat rakyatnya yang bertumpuk-tumpuk.
“Astagfirullahal’azim,” bisiknya.
“Sultan?” Syekh Hassan tak kuasa berkata apa-apa.
Bayazid terus menangis. Sedetik kemudian banyak tentara Islam telah menangis dalam lara. Hingga suara tangis seolah-olah meledak.
“Bagaimana, Syekh??” Bayazid terus terisak. “Bagaimana aku bertanggung jawab akan semua ini kepada Allah?? Bagaimana??”
Tangisan Bayazid meledak lagi. Dia tutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya. Bahunya naik-turun, terguncang-guncang seirama jantungnya yang lara. Ada satu kata yang membuatnya ngeri setengah mati, tanggung jawab.
“Astagfirullah, shollu ‘ala Rosulillah,” mata Syekh Hassan berkaca-kaca.
“Apa yang mesti kukatakan kepada Allah? Aku tak mampu melindungi rakyatku sendiri.” Bayazid merenggut dadanya, wajahnya menunduk penuh penyesalan. “Aku harus bilang apa kepada Allah??”
“Sabarlah, wahai Sultan, ini semua bukan salahmu, kau sudah kerahkan semua kemampuanmu demi melindungi rakyatmu. Allah maha melihat, maha mendengar, Dia tahu engkau telah berjuang sedemikian keras demi agama, demi membela rakyatmu juga,” kini air mata Syekh Hassan telah tumpah.
“Astagfirullah,” ratap Bayazid.
“Kita mesti mengejar pasukan salib demi melindungi kaum muslim,” kata Syekh Hassan, “kita mesti menghancurkan mereka agar mereka tak berbuat kerusakan lagi. Sabarlah, Sultan, Allah meridhoi dan merahmatimu, sebab kau selalu berjuang untuk Islam dan membela rakyatmu.”
Bayazid menyeka air mata dengan jemarinya. Pandangan matanya menjadi lebih jelas, dan jiwanya lebih kokoh. Ia menatap ke depan, memandang tentara Islam dan kaum muslim yang telah syahid membela agama. Hatinya menaikkan doa kepada Allah. Mulutnya membisikkan zikir.
“Kita akan mengejar pasukan salib, tapi kita tidak boleh meninggalkan Oryahovo dalam keadaan seperti ini.” Kata Bayazid.
Syekh Hassan dan prajurit muslim memperhatikan kata-kata pemimpin kaum muslim itu. Bayazid melanjutkan.
“Pasukan Sipahi masuk terus ke Oryahovo, hancurkan garnisun tentara salib di sana, kalau memang mereka meninggalkan garnisun di sana. Pasukan Jannissari kutugasi menguburkan saudara-saudara kita yang syahid mulai dari yang di depan kita ini. Syekh, kau pimpin Jannissari, aku akan tangani Sipahi.”
“Siap, Sultan,” sahut  Syekh Hassan.
Begitu perintah keluar, para prajurit serentak melaksanakannya. Bayazid melarikan kudanya memasuki Oryahovo diiringi derap kaki kuda tentara Sipahi. Sementara Syekh Hassan melambaikan tangannya meneruskan perintah sultan kepada tentara Jannissari.
Sepanjang perjalanan memasuki Oryahovo, Bayazid terus menggumamkan istigfar. Ia lihat pasukan salib bukan cuma membunuh tentara, tapi juga perempuan dan anak-anak. Garnisun tentara salib segera dihancurkan dengan mudah, mereka semua tewas, tak ada yang bersisa.
Bayazid terus beristigfar, matanya menatap sayu ke dalam masjid yang di dalamnya telah penuh dengan mayat wanita dan anak-anak. Darah mengering bergelimang di mana-mana, potongan-potongan tubuh berserakan. Di atas punggung kudanya lagi-lagi Bayazid terpaku.
Tiba-tiba Bayazid terlonjak dari lamunannya, seorang prajurit berkuda datang menghampirinya, melapor.
“Sebaiknya Sultan melihat ini.”
Tanpa bicara, Bayazid memacu kudanya mengikuti anak buahnya itu. Berdua mereka bergegas menuju ke tengah kota Oryahovo. Dan pemandangan di sana kembali membuat mata Bayazid berkaca-kaca.
Di sana, Bayazid menatap Dogan Bey yang telah disalib. Tangannya terentang dipaku ke kayu salib. Kepalanya terkulai lemah ke dadanya, wajahnya lebam-lebam dengan darah yang telah mengering, pakaiannya compang-camping, matanya tertutup rapat. Bayazid menggumamkan zikir lirih.
“Cepat turunkan dia,” perintahnya.
Para prajurit dengan cepat menurunkan Dogan Bey. Mencabut paku di tangannya, menerka-nerka apakah Dogan Bey masih hidup atau sudah mati. Dogan Bey terbaring di tanah berumput, tak bergerak sedikit pun. Para prajurit mengelilinginya, namun para komandan regu mengomando kerumunan itu agar tidak terlalu rapat, sebab Dogan Bey –kalau memang benar dia masih hidup-  akan membutuhkan udara segar.
Bayazid terus menatap Dogan Bey. Ia buru-buru turun dari kudanya. Pandangan matanya tak mau lepas dari tubuh bawahannya yang terbaring di rumput itu. Dia berlutut di sisi Dogan Bey, hatinya tenggelam di lautan duka yang dalam. Dengan cepat dia sentuh pembuluh nadi di leher Dogan Bey, keheningan menjalar beberapa detik, wajah Bayazid berubah cerah.
“Dogan masih hidup, tim medis,” Bayazid tegak dengan antusias.
Beberapa detik kemudian tim medis militer Khilafah Utsmaniyah membawa tandu dan menaikkan tubuh Dogan Bey ke atasnya, ia dibawa ke sebuah tenda. Bayazid meneruskan pengawasannya atas anak buahnya.
Matahari naik sepenggalahan. Para prajurit Khilafah berlalu lalang melaksanakan tugasnya di Oryahovo. Mereka menggali kubur, menggotong mayat, dan terus bersiaga. Bayazid mengomando semua dari atas kudanya yang gagah.
Tiba-tiba seorang prajurit berlari ke arahnya dengan tergesa-gesa. Napasnya terengah-engah.
“Sultan, Dogan Bey sudah sadar.”
“Benarkah?” Bayazid tak percaya.
“Benar, Sultan.”
Bayazid bergegas menuju tenda tim medis, kaki kudanya berketoplak saat ia melaju cepat. Ia melompat turun dari kudanya dan melangkah masuk, menyibak tirai tenda yang menjadi pintunya.
Di dalam tenda tak ada pasien lain, hanya ada Dogan Bey, prajurit salib memang telah membunuh semua orang di Oryahovo.
Air muka Bayazid keruh! Ia melihat Dogan Bey merintih memanggil-manggilnya. Alisnya mengerut, langkahnya goyah. Ia berjalan mendekati pembaringan Dogan Bey. Tim medis berdiri di sisi ranjang Dogan Bey.
“Sultan… sultan… di mana sultan.?? Mana sultan Bayazid??” Ratap Dogan Bey lemah.
Bayazid tiba di tepi ranjang Dogan Bey, tak kuasa ia menatap bawahannya yang setia pada agamanya itu. Bebatan kain telah melingkar di telapak tangan Dogan Bey, tak ketinggalan bebatan kain itu telah melingkar pula di kepalanya. Luka-lukanya telah dibersihkan, namun masih meninggalkan warna merah di perbannya.
“Sul… tan, sultan Baya… zid,” ratapnya lagi, matanya menutup, tiap kali ia bicara wajahya mengernyit menahan sakit.
“Kami sudah berusaha untuk memintanya berhenti bicara, Sultan,” kata salah seorang anggota tim medis, “tapi Dogan Bey terus berusaha memanggil Sultan.”
Bayazid menyentuh bahu Dogan Bey, lembut dan sabar. “Aku di sini, Dogan, aku di sini, jangan khawatir.”
“Sultan…” Dogan Bey berusaha membuka matanya, berusaha menolehkan wajahnya kepada Sultan.
“Aku di sini, Dogan,” Bayazid mencondongkan tubuhnya kepada Dogan Bey.
Mata Dogan Bey yang merah dan nanar menatap wajah Bayazid, tiba-tiba senyum merekah di wajahnya yang biru lebam. Sebuah senyum yang perih, namun ikhlas.
“Alh… hamdu… lillahhh,” suara Dogan Bey lirih dan tenang. Seolah-olah penantiannya terbayarkan dengan hadirnya Bayazid.
Senyum mengembang di wajah Bayazid, namun bibirnya gemetar. Matanya berkaca-kaca, dan air mata lagi-lagi tumpah di pipinya. “Jangan bicara lagi, istirahatlah, kau aman sekarang.”
Napas Dogan Bey pendek-pendek, dadanya naik turun pelan. Namun senyum itu tak mau pergi dari bibirnya. Pandangan matanya tak mau lepas dari wajah Sultan. Ia mengedip dan mengangguk, memberi isyarat agar Bayazid mendekatkan telinganya, sebab ia sudah tak kuat lagi mengeluarkan suaranya.
“Sult… tan, lindu… ngi muslim di… Nikop… polis. Nikopo… lis,” Dogan Bey berbisik parau. “Nikopolis…”
Embusan napas menerpa telinga Bayazid, napas Dogan Bey yang terakhir. Perlahan Bayazid tegak di sisi Dogan Bey. Pemimpin orang-orang beriman itu menangis, matanya yang berair ditentang senyum ikhlas yang kini membeku di wajah kaku Dogan Bey. Dia seorang pemimpin besar, yang selalu menangis. Dan mujahid itu sudah pergi, rohnya terbang ke dalam pelukan Tuhan. Bumi dan makhluk hanya bisa mengenang.
Zuhur telah melayang pergi. Bayazid telah siap di atas punggung kudanya. Syekh Hassan menyertainya. Para komandan perang Khilafah Utsmaniyah mengelilingi Bayazid. Angkatan perang kaum muslim telah siap di Oryahovo setelah mereka selesai melaksanakan tugas mereka menguburkan jenazah di kota itu. Semua jasad telah mereka kebumikan, bukan hanya muslim, jasad pasukan salib pun mereka kuburkan dengan baik.
Bayazid menatap tajam para komandan perangnya dengan mata yang kemerahan, sejak pagi ia selalu menangis. Pedangnya kokoh menggelantung di pinggang kirinya.
“Kita akan ke Nikopolis, mengejar pasukan salib, kita harus menghancurkan mereka, sebab telah banyak kerusakan yang mereka perbuat. Semoga Allah merahmati kita, kezaliman mesti kita hancurkan, kitalah umat terbaik, selama kita pegang Islam dengan teguh.”
Bayazid diam sejenak, ia terkenang Dogan Bey, terkenang kaum muslim yang syahid di Oryahovo demi mempertahankan agamanya dan penerapan Islam. Matanya berkaca-kaca lagi. Ia menarik napas dalam-dalam, dicabutnya pedangnya, ditusukkannya ke langit, ia meraung.
“ALLAAAAAAAHU AKBAR.”
Takbir mengguntur keluar dari mulut ribuan prajurit muslim. Mereka semua bergerak cepat menuju Nikopolis. Penjajahan mesti dihancurkan. Dan betapa indah ketika jauh ratusan tahun yang lalu, Rasulullah bersabda, bahwa Khalifah adalah perisai, tempat umat berlindung di belakangnya. Allah mendelegasikan amanah kepada Khalifah untuk melindungi orang-orang beriman dari segala mara bahaya. (Rasulullah bersabda, “Imam adalah perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya, dan berlindung dengannya.” Namun kini perisai itu tak ada, dan setiap hari nyawa umat melayang sia-sia).

Nahh…… Penasaran kan???? 
Hayooo Pesan: ”The Chronicles of Draculesti” 
karya Sayf Muhammad Isa.

Selanjutnya untuk info dan pemesanan silakan  lihat di :

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers