Demokrasi Direbut Bukan Dipilih

Oleh: UU Hamidy


Banyak orang terpukau oleh demokrasi yang bersifat munafik. Kemampuan kritis dan akal sehatnya surut, karena mengikuti selera orang banyak.


Padahal kalau kita mengikuti orang banyak, niscaya kita disesatkannya dari jalan Allah.


Mereka mengatakan demokrasi memakai kebebasan memilih.


Padahal yang berlaku sebenarnya proses merebut kekuasaan. Jadi demokrasi sesungguhnya bukan memberi peluang untuk memilih, tapi peluang untuk merebut. Inilah cacat demokrasi yang fatal dari sudut budaya.


Sedangkan cacatnya dari sudut pandang Islam, demokrasi bisa tergolong kepada sistem kufur.


Kalau demokrasi memang proses memilih, maka semua pihak yang dipilih semestinya mendapat gambaran yang obyektif terhadap pihak pemilih. Jadi, harus ada data yang relatif lengkap tentang kebaikan dan kekurangan pihak yang dipilih, semisal calon legislatif maupun pejabat.


Hanya dengan keadaan serupa itu dapat berlangsung proses pemilihan. Sebab dalam memilih sebenarnya orang menilai, mana yang baik dan mana yang buruk.


Pihak pemilih semestinya tidak dipengaruhi apalagi ditipu oleh pihak yang dipilih, agar terjadi suatu pemilihan yang wajar. Jadi dalam proses pemilihan, yang dipilih harus bersifat pasif, menyerah kepada pihak yang memilih.


Karena itu hasil pemilihan akan mendapat sebutan yang terbaik, bukan yang menang.

Kenyataannya tidak demikian, malah pihak yang dipilih yang aktif mempengaruhi pihak pemilih. Semua calon yang katanya dipilih ternyata tidak ada data baik-buruknya yang dapat jadi dasar penilaian bagi pemilih.


Calon hanya digambarkan sisi baiknya. Itupun tidak pula dalam batas yang wajar, tapi berlebihan, bahkan dikarang. Tim sukses seorang calon jika memang diperlukan semestinya memberikan gambaran yang benar tentang calon.


Tapi yang berlaku malah sebaliknya, sehingga pemilih sulit menentukan pilihannya.

Ketiadaan gambaran yang benar tentang pihak yang dipilih telah menyebabkan pihak pemilih tidak lagi melakukan proses menilai, sebagaimana berlaku dalam memilih, tapi berubah pada sikap suka tidak suka.


Karena itu dalam demokrasi, sesungguhnya orang tidak memilih (memakai ukuran yang obyektif) tapi hanya menentukan sikap, suka atau tidak terhadap calon yang sudah dipromosikan oleh tim sukses.


Dengan demikian demokrasi sebenarnya tak memerlukan akal sehat, sebagaimana terpakai dalam proses memilih. Sikap pemilih dengan mudah dapat dipengaruhi, dipaksa, bahkan dibeli. Inilah yang jadi pangkal bala mengapa demokrasi selalu gagal menampilkan orang yang berkualitas.


Demokrasi sesungguhnya bukanlah memilih, tapi adalah merebut. Kekuasaan dalam demokrasi sebenarnya diperebutkan, bukan dipilih. Kalau memang dipilih, maka hasil pemilihan tentulah dikatakan yang terbaik.


Tapi hasil demokrasi memberi bukti bahwa yang terpilih dikatakan yang menang. Kalau disebut menang itu sebenarnya pertarungan, yakni pertarungan merebut kekuasaan antar sesama calon.


Tipuan demokrasi ini terjadi, karena tindakan merebut kedudukan (kekuasaan) itu memperalat pihak pemilih. Jadi pemilih dijadikan topeng untuk merebut kekuasaan, sedangkan yang merebut kedudukan mendapat dukungan dari pemilik modal (kapitalis).

Sebab itu yang berhasil merebut kekuasaan, bukan merasa berhutang budi pada para pemilih (rakyat) tapi kepada pihak kapitalis yang telah mendanai pertarungannya.

Karena watak demokrasi sesungguhnya proses merebut kekuasaan, maka mana mungkin berlaku tanpa ketegangan, kebohongan, paksaan serta tipu daya yang licik.


Para pemuja demokrasi memandang bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. Padahal sesungguhnya mereka paling merugi dengan perbuatannya yang sia-sia.


Itulah cacat demokrasi dari sudut budaya. Cacat demokrasi dari sudut agama jauh lebih parah.


Pertama, semboyan demokrasi “suara rakyat suara Tuhan” dapat membawa orang pada perbuatan syirik tanpa sadar. Bagaimana bisa disamakan suara rakyat (makhluk) dengan suara Tuhan, sebab rakyat adalah yang diciptakan sedangkan Tuhan adalah pencipta alam semesta.


Inilah yang memberi jalan kepada pihak legislatif menentukan hukum. Padahal hak menentukan hukum itu semata-mata hak Allah, bukan manusia. Melalui demokrasi manusia jadi angkuh, mencampakkan hukum Allah, lalu menggantinya dengan hukum menurut selera hawa nafsu.


Dengan hukum buatannya sendiri, manusia sudah terbukti semakin bangkrut dan sengsara. Padahal hukum Allah akan memberikan kesejahteraan, bukan hanya sebatas dunia, tapi malah sampai akhirat yang kekal.


Kedua, demokrasi yang memakai topeng suara rakyat, dengan dukungan uang serta tipu daya media, telah membuka jalan, yang menang bukanlah pihak yang benar (baik) tapi yang punya uang lagi cerdik.


Sistem ini juga membuka jalan pihak minoritas menindas mayoritas. Juga sebaliknya mayoritas menindas minoritas. Maka, mana mungkin sistem ini mampu menampilkan pemimpin yang amanah.


Demokrasi bukan berpihak kepada kebenaran tetapi kepada suara terbanyak. Sedangkan suara terbanyak nyatanya dapat dibeli. Sistem ini hanya menampilkan orang-orang yang serakah.


Ketiga, sistem demokrasi telah melahirkan partai-partai politik. Partai-partai itu ternyata bukan berlonba-lomba untuk berbuat kebajikan, semisal membasmi kemungkaran dan kemiskinan.


Partai didirikan hanya untuk merebut kekuasaan. Sementara tujuan kekuasaan bukan pula untuk menegakkan yang hak (benar) serta memberantas yang batil, yang sejatinya amat diperlukan oleh rakyat.


Kekuasaan digunakan pertama-tama untuk mencari uang (kekayaan). Ini terjadi, karena dalam arena merebut kekuasaan lewat demokrasi, masing-masing partai memerlukan dana yang besar agar partainya menang dalam pertarungan Pemilu maupun Pemilukada.


Karena itu partai melalui anggotanya yang berkuasa, juga tidak segan-segan melakukan kecurangan seperti menjual kekayaan alam melalui kontrak karya, membuat undang-undang menguntungkan pihak kapitalis, yang akibatnya rakyat tertindas. Inilah yang melahirkan politisi busuk alias munafik.


Dengan demikian, dalam alam demokrasi sebenarnya tujuan seorang pejabat atau wakil rakyat meraih kedudukan, bukan pertama-tama untuk memperbaiki nasib rakyatnya sebagaimana pernah dijanjikannya dalam kampanye.


Yang terpikir pertama-tama baginya ialah mendapatkan uang. Setelah itu dengan uang (kekayaan) itu dia harus segera menyusun siasat lagi, agar dapat menang dalam pertarungan berikutnya.


Dalam pertarungan berikutnya, jika dia dibatasi oleh undang-undang, maka peluangnya akan diberikan kepada pihak yang paling dekat kepadanya. Pokoknya kekuasaan tetap di tangannya.


Jadi, dengan demokrasi semacam itu hanya apa yang dapat dinanti oleh rakyat? Rakyat hanya sekadar mendapat janji-janji dari para pembual.***


UU Hamidy, Budayawan

Sumber: www.riaupos.co.id (19 September 2011)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers