oleh Muhammad Afwan
Voa-Khilafah.co.cc - Dai yang mengedepankan popularitas hanya akan melahirkan umat yang menjadikan dakwah sebagai tontonan, bukan tuntunan. Seorang dai harus ikhlas berjuang, meski sepi dari riuh rendah sanjung dan pujian. Cahaya dakwah tak boleh kalah oleh silau gemerlap keduniaan.
Suatu ketika, seorang mubaligh muda datang bersilaturrahim ke rumah Syaikh Ahmad Soorkati, pendiri organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah. Sebagai seorang alim, Syaikh Soorkati diminta nasihatnya tentang perjuangan di jalan dakwah. Dengan bahasa yang sangat menyentuh, Soorkati mengatakan, “Jalan yang engkau pilih ya waladi (wahai anakku) adalah jalan kefakiran dan kepapaan…tapi agung, karena itu adalah jalan yang ditempuh para anbiya dan mursalin,”ujarnya lembut.
Cerita tentang Syaikh Soorkati dan mubaligh muda di atas dikisahkan oleh KH Mohammad Isa Anshari, tokoh Masyumi yang dikenal piawai dalam berdakwah. Dalam buku “Mujahid Dakwah” yang ditulisnya, dai yang terkenal sebagai singa podium ini menulis, “Akidah Islamiyah yang kita jadikan pegangang hidup, kita serukan kepada manusia, kita bela dengan segala cara, kita perjuangkan dengan segala kepenuhan hati dan kesungguhan, tidak pernah menjanjikan kesenangan dunia…” tulis Isa Anshari.
Karena itu, Isa Anshari menegaskan, sebagai seorang Muslim, sebagai seorang dai, idealisme yang harus dikedepankan bukanlah materi dan kesenangan duniawi. Seorang mujahid dakwah, katanya, adalah seorang yang menyerahkan dirinya tanpa syarat kepada tegaknya kalimatullah. Isa Anshari mengatakan, seorang dai harus sadar bahwa tampilnya ia sebagai juru dakwah bukan karena sanjung dan pujian. Seorang dai harus mawas diri bahwa segala pujian adalah hak AllahSubhanahu wa Ta’ala.
Puja dan puji kepada seorang dai adalah “racun berbisa” yang bisa merusak gerak dakwah dan menciptakan kultus individu. Dengan bahasa yang menggugah, ulama asal Maninjau, Sumatera Barat, itu menuturkan, “Dakwah bukanlah jalan yang mengantarkan kita kepada kesenangan hidup dan kemewahan dunia, tapi justru kesengsaraan badan yang akan menjadi nasib, yang akan menjadi bahagian diri sebagai tunangan dari keyakinan dan perjuangan. Tenaga badan terasa lemah, tetapi tenaga iman bertambah kuat, tegap, dan segar,” tuturnya.
Dalam buku “Fiqhud Dakwah” pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Allahyarham Mohammad Natsir mengatakan, kekuatan seorang dai bukan pada pesona pribadinya, tapi pada kekuatan dakwahnya, kekuatan dalam menyampaikan hujjahyang bisa diterima oleh akal sehat, dan daya panggilnya yang bisa menjemput jiwa dan rasa. Natsir menegaskan, jiwa seorang dai harus merdeka dari sifat ananiyah (egois pribadi) yang bisa menjerumuskan sang dai pada sikap takabbur, riya’ dan ujub.
“Dakwah bukanlah jalan yang mengantarkan kita kepada kesenangan hidup dan kemewahan dunia, tapi justru kesengsaraan badan yang akan menjadi nasib, yang akan menjadi bahagian diri sebagai tunangan dari keyakinan dan perjuangan. Tenaga badan terasa lemah, tetapi tenaga iman bertambah kuat, tegap, dan segar.”
Jika sikap takabbur sudah bersemayam dalam niat tempat bertolak, kata Natsir, maka akan muncul sikap hendak memenuhi selera orang banyak, yang ujungnya kembali pada selera “aku” pribadinya. Diantara bentuk sikap ananiyah yang bisa hinggap pada seorang dai adalah hubbul maal (cinta harta), hubbul jaah (cinta pangkat dan jabatan), ingin dilihat dan dipuji banyak orang. Semua itu, menurut Natsir, bersumber pada keinginan memperoleh balas jasa dalam arti lahir maupun batin.
Natsir mengingatkan, “Di bawah kekuasaan hawa ananiyah ini seorang mubaligh mudah sekali melakukan bermacam-macam pantangan dakwah, seperti berteras keluar, menjual tampang, berpantang rujuk (kembali pada kebenaran), menghela surut, walaupun sudah nyata keliru fatwa. Kemudian tajammul, mencari muka dengan mendekatkan diri pada orang yang berkuasa. Kalau sudah begitu, seorang mubaligh akan kehilangan harga diri, yang menjadikan lidahnya kaku, jiwanya kecut,” kata Natsir.
Penerus Natsir, Ustadz Syuhada Bahri yang kini menjabat sebagai Ketua Umum DDII mengatakan, dai yang bisa melahirkan pengikut adalah dai yang memiliki ilmu. “Yang ia berikan ilmu. Tapi kalau yang melahirkan penggemar, ia hanya punya kemampuan entertaint. Ilmunya hanya diputar-putar di situ saja. Kalau yang lahir penggemar, jika dainya berbuat sesuatu yang tidak disetujui penggemarnya, maka dakwahnya akan bubar. Tapi kalau dai yang melahirkan pengikut tidak. Sebab ukurannya nilai, bukan orangnya,” terang dai yang mengalami asam garam dakwah di pedalaman terpencil ini.
Tokoh pergerakan internasional, Syaikh Fathi Yakan menyebutkan, diantara karakteristik dakwah dan dai yang harus diterapkan para kafilah dakwah adalah melakukan uzlah dalam pengertian maknawi, yaitu mengisolasi diri dari hawa nafsu duniawi dan sistem jahiliyah. Seorang dai, kata Fathi Yakan, adalah orang yang membawa prinsip-prinsip dakwah rabbaniyah, yaitu segala konsep, hukum, akhlak, tradisi, dan ide-ide yang bersumber dari dienullah dan risalah Rasul-Nya. Prinsip-prinsip ini tak boleh dikotori oleh kepentingan duniawi.
Sunatullah dakwah adalah penuh onak dan duri, bukan sanjung dan puji. “Berharap senang dalam berjuang…bagai merindukan rembulan di tengah siang,” begitu senandung nasyid mengalun merdu. Sunatullah dakwah juga dijalani oleh para Nabi dan Rasul. Habib Muhammad Rizieq Syihab, Ketua Umum Front Pembela Islam, mengatakan, “Jika perjuangan dakwah yang kita jalani selama ini lancar dan aman-aman saja, kita justru perlu bermuhasabah, jangan-jangan ada yang salah dalam dakwah kita.”
Berdakwah menegakkan kalimatullah adalah panggilan tugas dan perjuangan seorang Muslim. Karena itu, seorang dai harus siap berjuang di tengah sunyi senyap sanjung dan pujian. AllahSubahanahu wa Ta’ala berfirman, ”Beramallah kalian, dan Allah pasti akan melihat amalan kamu, dan Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada-Nya, yang Maha Tahu hal yang gaib dan yang nampak, dan Dia memberi tahu kamu apa yang telah kamu perbuat.” (At-Taubah:105).
(Voa-Islam/Voa-Khilafah.co.cc)