Kepemimpinan Islam Satu-satunya tumpuan harapan bangsa ini..

Voa-Khilafah.Blogspot.Com - Sehari-hari publik di Indonesia dapat menyaksikan semakin meningkatnya keluhan masyarakat atas pelayanan yang miskin dan mengecewakan dari kepemimpinan pemerintahan. Melalui berbagai media massa atau pengamatan langsung kita dapat menyaksikan minimnya perhatian pemimpin terhadap rakyat. Lambannya penyelesaian korupsi juga selalu menjadi sorotan. Persoalan TKW tak kunjung selesai.
Belum lagi penyalahgunaan kekuasaan (power abuse) yang kian tampak secara telanjang. Korupsi dan kolusi antara penguasa dan pengusaha masih terus berlangsung. Para konglomerat pun tak tersentuh hukum bahkan mendapat surat bebas utang. Kelalaian pemerintah melakukan pengawasan atas kegiatan bisnis berskala besar yang melibatkan uang negara dan uang masyarakat (seperti kasus perbankan) menunjukkan rendahnya kualitas kepemimpinan. Suap dalam mengegolkan perundang -undangan juga menjadi omongan sehari-hari mayoritas para anggota dewan. Penegakkan hukum pun penuh dengan ketidakadilan. Para koruptor kelas teri dijebloskan ke bui, sementara koruptor kelas kakap berkeliaran pulang-pergi keluar negeri. Dengan tekanan dari pihak asing, seorang K.H. Abu Bakar Ba’asyir harus mendekam lagi di penjara sekalipun tanpa bukti yang jelas, sementara Koruptor bebas berkeliaran.
Banyak lagi persoalan lain yang terus bermunculan. Intinya, di Indonesia kini sedang terjadi persoalan kepemimpinan pemerintahan.
Solusi Keliru dalam Masalah Kepemimpinan
Berdasarkan kenyataan di atas, muncullah berbagai upaya untuk mewujudkan kepemimpinan yang berhasil. Intinya, bagaimana menghasilkan kepemimpinan yang memiliki komitmen sebagai pelayan (servant leaders) dan tanggung jawab kepada masyarakat (public accountability). Namun, dalam implementasinya, solusi-solusi yang diberikan tidaklah memberikan keberhasilan. Solusi-solusi keliru tersebut di antaranya:
Pertama, terlalu bergantung kepada figur dan kurang memperhatikan pentingnya sistem. Figur memang diperlukan, tetapi ia tidak dapat berdiri sendiri. Sebab, figur menyatu dengan sistem yang hendak diterapkannya. Ketika yang dipentingkan hanyalah persoalan figur maka yang terjadi adalah status quo: pergantian figur pemimpin terlaksana, tetapi perubahan sistem dan perbaikan masyarakat tidak terjadi.
Sebagai contoh, kepemimpinan nasional Indonesia berganti-ganti tetapi persoalan kepemimpinan pemerintahan hingga saat ini tetap sama. Dulu, pada zaman Soeharto, yang bahkan dijuluki sebagai Bapak Pembangunan dan sangat dielu-elukan, diharapkan terjadi perubahan signifikan. Realitasnya, selama 32 tahun berkuasa yang ada adalah otoritarianisme, militerisme, penumpukkan kekayaan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Hukum pun bersikap mendua: pada pihak lemah diterapkan secara konsisten, sementara pada pihak penguasa dan konglomerat tak berdaya. Karena itu, mafia peradilan pun menjadi fenomena.
Figur pemimpin lalu berganti: Habibie, Abdurrahman Wahid, kemudian Megawati. Habibie dipandang figur teknokrat, Abdurrahman Wahid didudukkan sebagai figur tokoh agama yang humanis, dan Megawati dianggap sebagai figur yang diharapkan akan membela wong cilik. Namun, sekalipun telah terjadi pergantian figur, dilihat dari pelayanan terhadap masyarakat tak ada perubahan berarti: keberpihakkan pun tetap pada konglomerat, tidak bergeser pada kaum melarat dan umumnya rakyat; persoalan hukum juga tetap hanya milik orang berada. Kejadian minyak tanah langka, harga listrik dan telepon yang terus naik secara berkala, privatisasi BUMN yang hakikatnya milik rakyat ke tangan swasta (dalam negeri dan asing), penggusuran rumah penduduk untuk pembangunan mal, bebasnya terdakwa korupsi dengan kasasi Mahkamah Agung, dan lain-lain menunjukkan hal tersebut. Ini karena sistem yang mereka jalankan, yang dibuat oleh MPR/DPR maupun pemerintah tetap seperti sebelumnya, yakni semuanya dibangun di atas sistem kapitalisme-sekular yang sejak awal berpihak pada yang kuat.
Kedua, lebih menuruti keinginan rakyat yang direpresentasikan oleh para wakil rakyat. Padahal, keinginan tersebut tidak selalu benar. Apalagi sebenarnya terdapat keterputusan hubungan antara rakyat dan wakilnya. Begitu juga dengan pemilihan kepala negara secara langsung. Karenanya, pada saat mereka membuat aturan, tidak selalu aturan yang dihasilkan mencerminkan suara rakyat. Andaikan mencerminkan suara rakyat, itupun tidak selalu benar. Contohnya adalah referendum tentang Timor Timur yang berakhir dengan lepasnya daerah tersebut dari negeri Muslim Indonesia.
Ketiga, membentuk koalisi kepemimpinan atas dasar nasionalisme-religius, Jawa-Luar Jawa, dan sipil-militer. Koalisi jenis ini bukanlah koalisi yang didasarkan pada kesamaan pemahaman dan ideologi, tetapi pada kepentingan. Karenanya, tidak mengherankan jika produk hukum/aturan dan pelayanan terhadap publik pun bergantung pada hasil kompromi yang melindungi kepentingan partai masing-masing, para elitnya, pengusaha pendukungnya, dan konstituen partai masing-masing. Setelah itu, barulah berbicara tentang kepentingan rakyat.
Berdasarkan perkara di atas, teranglah bahwa ketiga solusi tersebut tidaklah mendatangkan kepemimpinan yang berhasil.
Akar Persoalan Kegagalan Kepemimpinan Nasional Dunia Islam
Allah Yang Mahaperkasa berfirman:
]كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ[
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; melakukan amar makruf nahi mungkar, dan mengimani Allah. (QS Ali Imran [3]: 110).
Dalam ayat di atas, Allah SWT menegaskan dua perkara. Pertama, umat Mumammad saw. adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Artinya, kaum Muslim sejatinya menjadi umat terbaik bukan hanya bagi bangsa Arab atau sebatas kaum Muslim saja, melainkan juga untuk kaum Muslim maupun non-Muslim di seluruh dunia. Sebab, frasa linnâs menunjukkan makna bagi seluruh manusia, tanpa kecuali. Umat terbaik tentu bukanlah umat yang dijajah, pemimpinnya diciduk bahkan dibunuh, rakyatnya dibantai, kekayaannya dirampas, ekonominya dikuasai, perjanjiannya dikhianati, dijadikan bulan-bulanan, dan lain-lain.
Kedua, kaum Muslim sebagai umat memiliki karakter selalu melakukan amar makruf nahi munkar. Yang dimaksud tentu saja bukan sekadar amar makruf nahi munkar terhadap perilaku individual, tetapi juga terhadap perilaku masyarakat, dan pemerintah; termasuk terhadap negara-negara besar. Untuk itu, umat Islam perlu memiliki kekuatan dan kekuasaan yang mampu menghentikan kejahatan negara-negara besar tersebut.
Faktanya, kini hampir di seluruh dunia, negara-negara di Dunia Islam termasuk ke dalam kelompok Dunia Ketiga, yang rata-rata sedang berkembang bahkan terbelakang. Umat Islam belum menjadi umat terbaik bagi manusia. Kepemimpinan nasional yang ada gagal memajukan kaum Muslim dan membentuknya menjadi khaira ummah. Setidaknya ada tiga sebab mengapa hal ini terjadi, yaitu penerapan sistem sekular, pemimpin yang tidak bertakwa, dan menjadi kaki tangan asing.
Secara i‘tiqâdî, penerapan sistem sekular, yang berarti mengatur kehidupan atas dasar bukan Islam, akan mendatangkan penghidupan yang sempit, baik material maupun nonmaterial. Allah SWT berfirman:
]وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124).
Fakta menunjukkan bahwa dengan penerapan sekularisme berarti hukum dibuat oleh manusia atas dasar suara mayoritas. Jadilah yang berkuasa adalah mereka yang kuat. Terjadilah homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Atas dasar inilah, muncul berbagai persoalan lanjutan.
Sekularisme melenyapkan nilai-nilai kemanusiaan dan menumbuhkan praktik-praktik ‘ekonomi’ gelap seperti judi, pemabukan, perdagangan film porno, dan pelacuran. Sebab, selama ada orang yang menginginkan, menurut pandangan kapitalisme, barang atau jasa yang diinginkan tersebut menjadi barang atau jasa yang bernilai ekonomis. Sistem ini pun terbukti telah menghasilkan penguasa yang pro konglomerat. Di AS kasus Lippogate dan Enrongate merupakan bukti nyata. Di Indonesia, kasus divestasi BCA, dana BLBI, dan PKPS juga bukti tak terbantahkan. Bukti lainnya adalah kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menganga. Di Indonesia, pada tahun 1998 saja 80% kekayaan Indonesia dikuasai oleh 200 orang konglomerat. Pada aspek lain, atas dalih kebebasan pemilikan dan kedaulatan rakyat, ‘dipaksakanlah’ aturan internasional tentang perdagangan bebas ke semua negara. Akibatnya, negara-negara berkembang hanya menjadi pasar bagi produk negara Barat maju. Perusahaan asing pun menguasai negara-negara miskin.
Selain penerapan sistem sekular, pemimpin yang tidak bertakwa pun menyebabkan kegagalan kepemimpinan. Ketika kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berpihak kepada Islam dan umatnya, konsekuensi logisnya kepemimpinan tersebut sejatinya dipegang oleh orang yang bertakwa. Melalui kepemimpinannyalah umat Islam dimajukan. Sebaliknya, pemimpin yang tidak bertakwa rela untuk mendustai rakyatnya, menjual aset milik rakyat kepada asing, membuat perjanjian yang melepaskan tanah kaum Muslim kepada kaum kafir seperti kasus Palestina, dan menggunakan tentara untuk mempertahankan kekuasaan sekalipun yang dihadapi adalah rakyatnya sendiri. Itulah yang kini terjadi di Dunia Islam.
Kedua perkara tersebut diperparah dengan kemauan para penguasa menjadi kaki tangan asing. Pada saat penguasa menjadi kaki tangan asing maka pada saat itulah kepemimpinan berada di tangan asing tersebut. Segala perkara yang dipandang merugikan mereka akan ditentang, jika perlu mengganti penguasa di negeri Muslim tersebut. Karenanya, pemimpin seperti ini memandang rakyat yang tidak setuju dengan kebijakannya yang berpihak kepada asing sebagai musuh. Hingga kini kenyataan ini masih berlangsung.
Cukup menyedihkan ketika sebagian calon kepala negara, termasuk Indonesia, meminta restu dari AS, seperti yang pernah diungkap William Lidle beberapa waktu lalu. Di sisi lain, pasca peledakan WTC, AS dalam surat permintaannya ke berbagai negara menyatakan, “Anda mendukung AS atau berada di pihak teroris?” Melalui hal ini, AS membagi dunia ini menjadi dua: AS dan negara yang mendukungnya di satu pihak, negara teroris di lain pihak. Jadi, terorisme itu didefinisikannya sebagai pihak-pihak yang tidak mendukung atau melawan AS. Pendukung AS diberi wortel (carrot), sedangkan penentangnya atau ‘netral’ diberi tongkat (stick). Dunia Islam pun ramai-ramai membuat UU Antiterorisme yang diarahkan kepada kaum Muslim. Selain itu, muncul pula UU yang membolehkan asing menguasai saham media massa 51%; begitu pula dalam perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti Indosat, bank, dan perusahaan air minum.
Ketiga faktor tersebut secara simultan telah mendatangkan kegagalan kepemimpinan di negeri-negeri Muslim. Akibatnya, negeri-negeri Muslim pun terus bergantung pada negara asing.
Solusi Islam dalam Kepemimpinan
Kepemimpinan yang dikehendaki Islam adalah kepemimpinan yang berpegang pada Islam yang dibawa Rasulullah saw. dalam menyelesaikan berbagai persoalan, menjadi benteng untuk menjaga dan memelihara umat Islam dalam segala seginya, dan menyatukan segenap umat Islam di dunia. Kepemimpinan yang dapat mewujudkan semua itu dinamai oleh Nabi saw. dengan istilah khilafah/imamah. Di antara hadis yang menegaskan hal ini adalah:
«اَوَّلُ هَذَا اْلاَمْرِ نُبُوَّةٌ وَ رَحْمَةٌ ثُمَّ يَكُوْنُ خِلاَفَةً وَ رَحْمَةً ثُمَّ يَكُوْنُ إِمَارَةً وَ رَحْمَةً»
Awal urusan ini (Islam) adalah kenabian dan rahmat, kemudian khilafah dan rahmat, kemudian imarah dan rahmat. (HR at-Thabrani).
Setelah wafat Nabi saw., kepemimpinan dalam sistem yang dibangunnya tersebut dilanjutkan oleh para pemimpin yang ketika beliau masih hidup dinamakan khilafah. Rasul saw. bersabda:
«سَيَكُوْنُ بَعْدِي خُلَفَاءٌ يَعْمَلُوْنَ بِمَا يَعْلَمُوْنَ وَ يَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ وَ سَيَكُوْنُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلَفَاءٌ يَعْمَلُوْنَ بِمَا لاَ يَعْلَمُوْنَ وَ يَفْعَلُوْنَ مَا لاَ يُؤْمَرُوْنَ»
Akan ada setelahku para khalifah yang melakukan apa yang mereka ketahui dan mengerjakan apa yang diperintahkan pada mereka. Akan ada pula setelah mereka para khalifah yang melakukan apa yang tidak mereka ketahui dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka (HR Abu Ya‘la).
Rasul saw. juga bersabda:
«عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ»
Kalian haruslah berpegang pada jalanku dan jalan para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan hidayah. (HR at-Tirmidzi).
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, Allah Swt. dan Rasul-Nya telah menggariskan konsepsi dasar pembangun kepemimpinan. Hal-hal tersebut adalah:
Pertama: pemimpin yang baik. Dalam wacana Islam, pemimpin sering disebut imâm (pemimpin yang diikuti), râ’in (penggembala yang mengurusi, manajer), râis (kepala, yang mengarahkan), mas’ûl (penanggung jawab), dan hâkim (penguasa, yang menerapkan hukum). Karenanya, pemimpin dalam Islam haruslah individu yang dapat menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Pemimpin haruslah mumpuni dalam hal ketakwaan, keamanahan, kejujuran, dan keahlian. Orang-orang yang mengangkat pemimpin yang tidak tepat dianggap telah melanggar amanat dan berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin.
Abu Dzarr r.a. pernah berkata kepada Rasulullah saw., “Ya, Rasulullah, apakah Anda tidak berkenan mengangkat diriku sebagai pemimpin wilayah?”
Rasulullah kemudian menjawab seraya menepuk-nepuk kedua bahunya (yang artinya), “Hai, Abu Dzarr, kamu adalah seorang yang lemah, sedangkan tugas itu adalah suatu amanat yang akan membuat orang menjadi hina dan menyesal pada Hari Kiamat, kecuali jika ia mampu menunaikan hak dan kewajiban yang dipikulkan kepadanya.” (HR Muslim).
Kedua, sistem yang benar. Saat di Makkah Nabi saw. pernah ditawari kekuasaan dan dipersilakan untuk menjadi pemimpin Arab asal menghentikan dakwah Islam. Namun, beliau menolaknya. Padahal, secara individual beliau adalah orang terbaik di kalangan Arab, bahkan digelari al-Amin. Karena dakwah Islam (apalagi penerapannya) tidak diperkenankanlah beliau membuat penolakan tersebut. Berbeda dengan itu, pasca hijrah ke Madinah, beliau langsung menjadi kepala negara dan segera membuat konstitusi yang dikenal dengan Piagam Madinah. Realitas ini menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak cukup mengandalkan orang, melainkan juga sistem yang diterapkan oleh pemimpin tersebut.
Dalam Islam, sistem yang wajib diterapkan adalah sistem yang menerapkan syariat Islam dan menyatukan negeri-negeri kaum Muslim di bawah naungan Daulah Khilafah. Sistem itu ditopang oleh empat pilar, yaitu:
a. Kedaulatan ada di tangan Allah SWT yang terdapat di dalam hukum-hukum-Nya. Hanya Allahlah yang berhak menentukan baik-buruk, benar-salah, dan terpuji-tercela. Manusia hanya mengambil dan mencerna apa-apa yang terdapat di dalam wahyu tersebut. Allah SWT berfirman:
]إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ[
Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. (QS Yusuf [12]: 40).
b. Kekuasaan di tangan rakyat. Artinya, rakyatlah yang memilih pemimpinnya dengan rela dan pilihan (ikhtiyar). Kekuasaan yang diberikannya itupun hanyalah untuk menjalankan syariat Islam (kedaulatan syariat) semata, bukan kedaulatan rakyat. Hal ini telah disebutkan dalam banyak hadits terdahulu.
c. Wajib mengangkat hanya satu pemimpin sedunia, satu khalifah. Dunia Islam haruslah menyatu. Rasulullah saw. menegaskan:
«إِذاَ بُوْيِعَ لِخَلِفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْالآخِرَ مِنْهُمَا»
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya (HR Muslim).
d. Hak adopsi hukum syariat untuk diterapkan di tengah masyarakat hanyalah ada pada khalifah. Ijma sahabat menunjukkan hal ini.
Ketiga, hubungan antara rakyat dan penguasa. Hubungan ini didasarkan pada ketakwaan kepada Allah SWT dari kedua belah pihak. Penguasa diangkat untuk menerapkan hukum syariat kepada rakyat. Karenanya, rakyat wajib menaatinya sekaligus memberikan koreksi kepadanya. Dari sini tumbuhlah mekanisme saling koreksi dan pertanggungjawaban antara rakyat dan penguasa. Penghubung antara keduanya adalah syûra, yang tolok ukurnya adalah dalil terkuat (jika berkaitan dengan hukum syariat), pandangan pihak yang ahli (jika menyangkut keahlian tertentu), atau suara mayoritas (jika berkaitan dengan aktivitas yang secara syar‘i hukumnya mubah dan dimaklumi oleh mayoritas mereka).
Jelaslah, pendekatan kepemimpinan haruslah atas dasar individu sekaligus sistem. Kepemimpinan pemerintahan jenis inilah yang dapat mendatangkan keberhasilan baik secara materi maupun rûhi. Itulah kepemimpinan dalam khilafah yang dicatat sejarah tegak selama 12 abad. []
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers