Polisi Masa Depan NKRI (Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah)

Voa-Khilafah.Blogspot.Com - Terbongkarnya makelar kasus di tubuh kepribadian semakin menambah persepsi negatif tentang lembaga Negara yang satu ini. Hal demikian semakin memperburuk citra polisi dan memperlemah kepercayaan masyarakat ketika berurusan dengan polisi. Sebagai contoh yang pernah dialami oleh 2 orang mahasiswi FKIP Unlam Banjarmasin, ketika itu kedua mahasiswi tersebut sedang terburu-buru pergi ke tempat teman mereka mengerjakan tugas kuliah. Tanpa sengaja mereka menerobos lampu merah, terang saja polisi langsung memberhentikan mereka. Polisi langsung membawa mereka ke kantor polisi untuk menyelesaikan semua dan mempertanggung jawabkan perbuatan mereka yang melanggar aturan lalu lintas. Di kantor polisi tersebut polisi marah-marah kepada kedua mahasiswi tadi, akhirnya polisi memberikan dua pilihana jika mereka ingin kasus ini selesai. Yang pertama mereka harus datang ke pengadilan pada hari yang ditentukan dengan membawa orang tua/wali atau mereka membayar denda sebesar Rp 90.000. Karena tidak ingin ribet dan berhubung juga bertabrakan dengan jadwal kuliah akhirnya kedua mahasiswi tersebut memilih untuk membayar uang Rp 90.000 kepada polisi untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Polisi pun menyetujuinya, tapi kejadian uniknya adalah ketika salah satu dari mahasiswi tadi memberikan uang Rp 100.000, otomatis masih ada kembaliannya Rp 10.000, tapi oleh mahasiswi tersebut langsung dikatakan “ambil saja Pak kembaliannya” kepada Pak polisi. Mendengar itu Pak polisi yang tadinya marah-marah berbalik menjadi ramah tamah bahkan ketika pulang kedua mahasiswi tadi sampai diseberangkan ketika menyeberang ketika menyeberang jalan.
Sungguh ironis sikap polisi tersebut, sikapnya langsung bisa berubah hanya karena uang 10rb, apalagi jika diberikan uang milyaran rupiah, bisa ditebak apa yang akan terjadi? Wajar jika markus (makelar kasus) pun bersarang di tubuh Polri. Polisi yang selama ini dipercaya masyarakat untuk menyelesaikan masalah mereka justru berbalik menimbulkan masalah dan keresahan bagi masyarakat. Inilah bukti dari lembaga keamanan yang berada di bawah Negara bersistem kapitalis, semua dapat dibeli dengan uang tak terkecuali itu adalah keadilan. Sehingga ketika orang miskin yang meminta keadilan maka hanya menjadi mimpi yang takkan terwujud.

Berbeda halnya dengan polisi dalam Islam. Polisi (syurthah) bertugas menjaga keamanan di dalam negeri, di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri (DKDN). Departemen ini mempunyai cabang di setiap wilayah/daerah yang dipimpin oleh kepala polisi (syahib as-syurthah) di wilayah/daerah tersebut.


Polisi (syurthah) dalam Negara Islam (Khilafah) ada 2 yakni polisi militer dan polisi yang berada di bawah otoritas Khalifah/kepala daerah. Adapun yang boleh menjadi polisi adalah pria dan wanita balig, dan warga Negara Khilafah. Mereka mempunyai seragam tersendiri, dengan identitas khusus untuk menjaga keamanan.

Adapun yang layak menjadi kepala polisi (syahib as-syurthah), menurut Ibn Abi ar-Rabi’ dalam Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, adalah orang yang sabar, berwibawa, tidak banyak bicara, berpikir panjang dan mendalam, tegas, cerdas, hidupnya bersih, tidak grasa-grusu, sedikit senyum dan tidak mudah memberi ampun.

Tugas utama polisi adalah menjaga keamanan di dalam negeri. Selain itu, mereka juga ditugasi untuk menjaga system, mensupervisi keamanan di dalam negeri dan melaksanakan seluruh aspek teknis/eksekusi. Adapun maksud polisi berada di bawah otoritas Khalifah/kepala daerah (wali/’amil), mereka akan malaksanakan apa saja yag dibutuhkan oleh Khalifah/kepala daerah sebagai pasukan eksekusi untuk mengeksekusi pelaksanaan hukum syari’ah, menjaga system, keamanan, patrol, ronda malam hari, mengintip pencuri, mencari pelaku criminal dan orang yang dikhawatirkan keburukannya (Ajhizat Daulah al-Khilafah, hal 95, 96 dan 99; Anwar ar-Rifa’I, al-Insan al-‘Arabi wa al-Hadharah, hal 235).

Polisi juga bertugas menghukum orang-orang yang dicurigai (ahl ar-raib), karena bekerja sama dengan kafir Harbi fi’lan (musuh umat Islam). Orang-orang yang seperti ini bisa muslim maupun ahli Dzimmah, bisa individu maupun organisasi. Kalau sekarang, mereka itu seperti aktifis liberal, LSM komprador, dan antek-antek AS, Inggris maupun sekutunya yang lain yang memusuhi Islam. Dalam kasus ini negara bisa memata-matai mereka dengan alasan bahwa memata-matai kafir Harbi fi’lan hukumnya wajib dan kafir Harbi hukman dalam kondisi normal boleh, tetapi bisa juga wajib ketika membahayakan Negara.begitupun dengan orang-orang yang dicurigai juga boleh untuk memata-matai mereka.

Dalam kasus murtad, ketika vonis hukuman mati sudah dijatuhkan oleh pengadilan (qadha’ khushumah), maka polisilah yang mengeksekusi hukuman mati tersebut. Dalam kasus terror, merompak, merampok harta masyarakat dan menghilangkan nyawa mereka, Negara bisa mengirim polisi untuk mengikuti gerak-gerik mereka, menangkap dan menjatuhi hukuman bunuh dan disalib, atau dibunuh, dipotong tangan dan kakinya secara menyilang, atau dibuang di suatu tempat terpencil. Sementara terhadap tindakan mencuri, merampok, korupsi, menyerang orang, baik dengan memukul, melukai, membunuh maupun menyerang kehormatan mereka, dengan mencemarkan nama baik dan menuduh zina, kepolisian bisa mencegahnya dengan deteksi dini, pengawasan dan control. Dalam kasus ini, polisi juga bertindak sebagai eksekutor, ketika vonis telah dijatuhkan oleh pengadilan.

Inilah fakta kepolisian dalam system pemerintahan Islam. Tugas dan tanggung jawab mereka memang berat, tetapidengan ketakwaan dan tsaqofah Islam yang ditanamkan secara mendalam kepada mereka, maka tugas berat itu pun bisa mereka jalankan dengan keikhlasan sebagai ibadah kepada Allah.

Sosok polisi yang seperti inilah yang umat dambakan di masa akan datang yang mampu memberikan penyelesaian masalah benar-benar ikhlas menolong masyarakat tanpa melihat kaya dan miskin, tinggi dan rendah derajat mereka karena polisi tersebut bekerja berdasarkan kesadaran akan amanah dari Allah swt. (Rusma)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers