Voa-Khilafah.Blogspot.Com - Kabar soal TKI selalu bikin trenyuh. Belum tuntas urusan Dasem yang harap-harap cemas menunggu hukuman pancung atau bayar denda Rp4,7 miliar, muncul Ruyati binti Satubi, TKI asal Indonesia, Sabtu (18/6/2011) yang dihukum mati setelah mengaku membunuh majikannya Khairiya binti Hamid Mijlid pada 2010.
Dipastikan, ini bukan akhir kisah tragis TKI. Pasalnya, terkuak bahwa ratusan TKI lain di berbagai negara juga terancam hukuman sama: mati. Semua pihak pun geram dan marah mendengar ini. Demo menuntut penghentian pengiriman TKI ke Arab Saudi pun mengalir. Apalagi negara tersebut belum mau menandatangani nota kesepakatan dengan pemerintah RI soal perlindungan TKI. Bahkan, warga mengancam sweeping warga Saudi di Tanah Air.
Persoalan kian melebar, karena keabsahan hukuman mati ikut-ikutan disoal. Apalagi, saat ini 90 negara di dunia sudah menghapuskan jenis hukuman ini. Sebelas negara lainnya menghapus hukuman mati kecuali untuk kejahatan-kejahatan luar biasa dan 32 negara tidak menghapus hukuman mati, namun tak pernah juga menerapkan hukuman mati.
Arab Saudi sebagai representasi negara Islam di dunia saat ini, masih mempertahankan hukuman mati (qishos). Padahal, banyak kalangan menilai hukuman ini tidak manusiawi. Tak ayal, citra (negara) Islam semakin babak belur, setelah isu terorisme dan Negara Islam Indonesia (NII).
Akar Kemiskinan
Kemarahan masyarakat terkait kasus di atas wajar belaka. Sebab, selama ini sudah sangat telanjang, betapa buruknya perlindungan negara terhadap TKI. Mereka terlantar dan terlunta-lunta di negeri orang, sementara tenaganya diperas demi mengalirkan devisa. Sematan “pahlawan devisa” atau “economic hero” hanya pelipur lara, seolah meninggikan derajat mereka. Padahal, hanya duitnya yang dimuliakan. Mereka tak lebih tumbal devisa.
Ironi ini terjadi, karena visi negara untuk menyejahterakan rakyatnya sangat lemah (jika tidak boleh disebut ‘tidak punya’). Semua tahu, persoalan TKI berakar dari kemiskinan, ketidaksejahteraan dan ketidak-adilan. Seandainya masyarakat sejahtera, tercukupi kebutuhan sandang, pangan, papan, disamping pendidikan dan kesehatan murah, niscaya tidak akan ada yang sudi jadi TKI. Ya, seandainya bekerja di dalam negeri gaji cukup, tak akan ada yang rela berpisah bertahun-tahun dengan keluarga serta anak-istri/suami tercinta.
Bukankah masyarakat kita, khususnya pepatah Jawa mengatakan, mangan ora mangan asal ngumpul (makan tidak makan asal kumpul)? Artinya, seandainya boleh memilih, masyarakat kita lebih bahagia berkumpul bersama keluarga, kerabat, tetangga dan komunitasnya, meski istilahnya, tidak makan sekalipun. Inilah akar budaya masyarakat yang terpaksa dilabrak demi sebongkah harapan: perubahan nasib. Dan, karena mengharapkan perubahan nasib di dalam negeri ibarat mimpi di siang bolong, maka berbondong-bondonglah mengadu nasib ke negeri jiran. Padahal, ibarat judi, menjadi TKI bisa untung tapi bisa pula buntung.
Jahatnya, keadaan ini lantas dimanfaatkan para kapitalis yang memberhalakan materi. Dengan 1001 cara, mereka membujuk, merayu dan menjebak orang-orang miskin yang nyaris putus asa ini dengan seribu mimpi. Pemalsuan dokumen, pengiriman TKI ilegal, hingga perdagangan manusia mewarnai praktik kotor pengiriman TKI.
Karena itu, jangan harap episode Ruyati akan berhenti, selama kemiskinan masih bercokol di negeri ini. Juga, selama pemerintah memandang TKI sebagai aset mendulang devisa dan tidak bertindak tegas atas penjualan manusia dengan modus PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia).
Ambigu
Menyoal hukuman mati, sepanjang sejarah selalu debatable. Masyarakat kita pun ambigu. Dalam kasus Ruyati, sebagian elemen masyarakat menggebu-gebu menentang hukuman mati karena dinilai tidak manusiawi. Padahal pada kesempatan yang sama, muncul wacana agar para koruptor dihukum mati saja karena sudah menyengsarakan seluruh rakyat Indonesia.
Demikian pula, jika ditanya apakah setuju dengan hukuman mati pada terpidana Bom Bali, yakni Imam Samudra, Amrozi dan Ali Imron? Mereka tidak akan menolak. Juga, layakkah pembunuh sadis seperti jagal Jombang Ryan, atau Ahmad Suradji alias Dukun AS, atau Sumiarsih yang membantai satu keluarga, dihukum mati? Tentu, sebagian besar masyarakat menganggukkan kepala.
Itulah fakta, mengapa hukuman mati diperlukan. Selain sebagai bentuk hukuman setimpal atas kejahatan luar biasa yang dilakukannya, sejatinya hukuman mati sangat manusiawi karena membela korban semaksimal mungkin. Bukankah nyawa korban yang begitu mudah dihilangkan para pembunuh itu sangat berharga?
Karena itu, kita harus objektif memandang sebuah sanksi atas tindakan kriminal. Terlebih, setiap negara tentu memiliki mekanisme hukum yang harus dihormati. Hukum pancung bagi Ruyati, jika memang terbukti membunuh, sudah proporsional. Karena dalam Islam, hukum qishos memang berlaku.
Meski begitu, sejatinya ada alternatif selain diqishos, yakni memohon ampunan keluarga korban. Terlebih, banyak yang meyakini, Ruyati membunuh bukan tanpa sebab, melainkan upaya membela diri dari kebiadaban majikannya. Sehingga, bisa saja ini akan meringankan hukumannya.
Inilah memang, yang disesalkan banyak pihak, yakni, mengapa dipancungnya Ruyati tanpa pendampingan pihak pemerintah Indonesia. Sebab, bisa jadi, jika pemerintah memang melindungi warga negaranya, lobi kepada keluarga korban c.q pemerintah Arab Saudi untuk memaafkan pelaku berpeluang menyelamatkan nyawa Ruyati. Dan itu yang dialami Dasem saat ini. Bahkan ada TKI juga sudah lolos dari hukum pancung karena mendapat ampunan.
Solusi Ideal
Sangat tidak proporsional jika hukuman mati digeneralisir sebagai bentuk kekejian. Justru, ada saatnya hukuman mati wajib ditegakkan. Pemelintiran soal hukuman mati ini, tak lebih sebagai bentuk islamophobia, yakni ketakutan berlebihan terhadap Islam. Terlebih semangat mendirikan negara Islam, senantiasa terkait dengan upaya penegakan hukum qishos, yang selama ini memang tidak bisa ditegakkan tanpa institusi negara Islam.
Indonesia sendiri, meski tidak sekonsisten Arab Saudi, masih menerapkan hukuman mati. Tak hanya bagi warga negaranya, juga warna negara asing, terutama yang terlibat kasus narkoba. Apakah masyarakat Indonesia protes atas hukuman mati warga asing tersebut? Tidak sama sekali. Bahkan, sangat mendukung, demi harga diri bangsa dan masyarakat.
Terlebih dalam konteks Islam, hukuman mati itu sendiri mengandung pengampunan bagi terdakwanya, dan penghidupan bagi eksistensi manusia. Karena itu, semestinya kita justru meniru Arab Saudi yang tegas dalam menerapkan hukuman, baik bagi warganya sendiri maupun warga asing. Kita tahu, Arab Saudi termasuk negara yang tingkat kriminalitasnya paling rendah di dunia.
Bandingkan dengan kriminalitas di sekitar kita, yang kian hari kian meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya. Berita pembunuhan, perkosaan, perampokan dan penganiayaan sudah menjadi sarapan pagi setiap hari. Begitu pula kemaksiatan, seperti narkoba, pornografi, pelacuran, perzinaan, dan perdagangan manusia, semakin menggila. Semua itu terjadi karena negara kita lebih berkiblat pada Barat (baca: Amerika Serikat) dibanding Timur (negara-negara Islam). Ironi, padahal negara kita mayoritas berpenduduk muslim.
Khatimah
Apapun yang terjadi, nyawa Ruyati sudah terlanjur melayang. Yang bisa kita sebagai sesama muslim adalah turut mendoakan, semoga pengorbanannya diterima Allah SWT. Baik pengorbanannya demi keluarga, maupun keridhoaannya menjemput ajal di tiang gantungan demi menebus dosa. Semoga Ruyati benar-benar bersih, terlebih konon ia dimakamkan di dekat istri Nabi Muhammad, Khodijah. Amin.(*)
Oleh: Kholda Naajiyah, S.Si,
Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia.
Sumber: hizbut-tahrir.or.id
Voice of Al Khilafah
AKHBAR
ANALISIS
ARAB SAUDI
DEMOKRASI
MHTI
MUSLIMAH
RI
TKI
Ruyati dan Hukuman Mati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)