Oleh : Fatih Mujahid, Joko Prasetyo, dan Ali Mustofa
Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Intelijen dalam rapat paripurna hari ini, Selasa, 11 Oktober 2011, meski berbagai kontroversi masih menyelimuti rancangan undang-undang ini.
Beberapa minggu yang lalu, Media Umat mewancarai beberapa tokoh mengenai Bom Solo dan RUU Intelijen. Berikut Petikannya.
Mahfudz Siddiq, Ketua Komisi I DPR RI
RUU Intelijen sudah disetujui oleh rapat kerja Komisi I. Sekarang tinggal diajukan ke badan musyawarah untuk dijadwalkan pengambilan keputusan tingkat II di paripurna, insya Allah sebelum tanggal 28 Oktober ini.
Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Intelijen dalam rapat paripurna hari ini, Selasa, 11 Oktober 2011, meski berbagai kontroversi masih menyelimuti rancangan undang-undang ini.
Beberapa minggu yang lalu, Media Umat mewancarai beberapa tokoh mengenai Bom Solo dan RUU Intelijen. Berikut Petikannya.
Mahfudz Siddiq, Ketua Komisi I DPR RI
RUU Intelijen sudah disetujui oleh rapat kerja Komisi I. Sekarang tinggal diajukan ke badan musyawarah untuk dijadwalkan pengambilan keputusan tingkat II di paripurna, insya Allah sebelum tanggal 28 Oktober ini.
Pembahasan pengesahan RUU intelijen ini tidak terkait bom Solo. RUU ini sudah dibahas Januari lalu dan berdasarkan jadwal semestinya sudah selesai pada Juli yang lalu. Tetapi karena masih banyak hal-hal yang perlu dibahas dan disepakati, maka baru Oktober ini disahkan. Jadi tidak ada kaitan sama sekali dengan bom Solo. RUU ini dalam penyusunannya didasari karena ketiadaan undang-undang intelijen. Sebenarnya bagi intelijen, intelijen senang kalau tidak ada undang-undang yang membatasi.
Justru kehadiran RUU intelijen ini akan sangat penting agar semua fungsi dan operasi intelijen ada dalam koridor undang-undang. Ada kewenangan yang jelas, ada pagar batasan yang jelas. Kalau kekhawatiran, akan menjadi alat penguasa untuk mencekal lawan politiknya, saya kira undang-undang ini tidak bertujuan itu bahkan menegaskan kalau intelijen itu merupakan alat negara bukan alat pemerintah. Klausul-klausul dalam RUU ini betul-betul diarahkan untuk membentuk lembaga intelijen yang profesional yang fungsi dan operasinya itu sejalan dengan HAM, Demokrasi, dan menjaga kepentingan nasional dan terkait pandangan masyarakat. Proses pembahasan itu juga sudah melewati rapat dengar pendapat umum dengan berbagai kalangan yang pro dan kontra.
Yang jelas, kasus-kasus teror di Indonesia ini memang masih banyak dan potensi-potensinya juga masih cukup besar. Untuk menjaga kepentingan nasional terutamanya kepentingan masyarakat memang diperlukan lembaga aparat intelijen yang betul-betul efektif sehingga memberikan deteksi dini terhadap potensi tindak kekerasan seperti terorisme, separatisme, dan kejahatan-kejahatan yang akan membahayakan negara dan bangsa ini.
Abdurrahim Ba'asyir, Jubir Jamaah Ansharut Tauhid (JAT)
Kita melihat ada agenda dari pihak pihak selain Islam. Jika dilihat dari makna yang tersirat dari pemboman yang terjadi, tidak ada keuntungan untuk Islam. Maka dari itu kalau dikatakan bahwa pemboman itu karena faktor untuk memperjuangkan Islam terus terang kita tidak bisa mempercayai hal itu. Apalagi mudaratnya malah lebih banyak dan tidak ada manfaatnya untuk Islam.
Kita melihat pemboman ini siapa dan bagaimana, apa motif dan sebagainya. Kita upayakan untuk meluruskan. Pertama, kita melihat bahwa Polri seperti tidak memverifikasi data mentah dari lapangan. Sekarang yang tahu tentang anggota JAT itu siapa, itu semua ada di markas JAT. Tapi Polri tidak memverifikasi itu. Ketika kita bantah, Polri seakan kebakaran jenggot. Kita berdasarkan data base, bahwa nama tersebut tidak terdaftar sebagai anggota JAT.
Ada upaya pembusukan opini tentang JAT di kalangan umat. Upaya-upaya untuk menggambarkan kepada umat bahwa JAT sebuah kelompok teroris dikesankan secara aktif untuk menggerakkan seseorang mengebom. Ini memang suatu upaya sistematis dari kalangan-kalangan yang anti terhadap gerakan-gerakan pro-syariat JAT. Maka dimanfaatkanlah anak-anak muda seperti pelaku ini, yang masih polos-polos bersemangat lalu mereka berusaha mencoreng nama baik JAT. Mereka juga berupaya keras untuk menggambarkan Ust Abu Bakar Ba'asyir sebagai sosok yang berbahaya. seperti kasus bom Solo ini, mereka seperti mau bikin 'serep' kalau bukan JAT maka sasarannya Ngruki, itu sepihak sekali. Ada beberapa pihak yang memaksakan kalau mereka bersekolah di Ngruki.
Sidarto Danusubroto, Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDI-P
Sikap PDI-P tidak melunak. Pasal-pasal yang penting sudah kita pagari, bahwa penangkapan-penangkapan tidak ada dalam penggalian informasi.
Setiap undang-undang yang kita hasilkan itu, ada kompromi politik. Tidak ada undang-undang yang menyenangkan semua orang. Bahwa ada kelompok yang ingin memperkarakan pasal-pasal tertentu silakan saja di uji materi ke MK. Tidak ada dalam sejarah undang-undang memuaskan semua orang. Karena undang-undang itu selalu ada tawar menawar politik dalam artian fraksi ini minta gini, fraksi ini minta gini. Untuk menjadi suatu undang-undang ada kompromi dari fraksi itu.
Tidak bisa kita mau menang sendiri, kelompok sana juga mau memaksakan. Pasal-pasal kontroversi itu kita sudah pagari misalkan penangkapan dan penyadapan kita sudah pagari. Misalnya penggalian informasi itu tidak diwenangkan melakukan penangkapan dan penahanan. Harus jelas siapa yang disadap teroris, separatis dll. selalu saya bilang kalau undang-undang ini jangan jadi alat kekuasaan pemerintah, harus untuk kepentingan bangsa.
AM Fatwa, Anggota DPD RI
RUU Intelijen yang sekarang sudah mengandung kompromi. Sejak Sembilan tahun lalu RUU ini menjadi pembahasan di DPR. Paska Bom Bali I September 2002 pemerintah mengajukan RUU ini namun ditolak oleh DPR karena dianggap mengandung banyak unsur-¬unsur represif. Belakangan DPR malah yang mengajukan RUU ini. Melalui kompromi-kompromi sudah banyak perubahan dalam drat yang akan disahkan sekarang ini.
Saat ini masih ada sekitar 25 persen pasal yang represif. Karena memang pasal-pasal yang represif ini saya kira sudah dihilangkan keseluruhan dari RUU ini. Cuma yang perlu diantisipasi juga bahwa pelaksanan RUU ini masih orang-orang yang berparadigma Orde Baru. Sebaik apa pun UU-nya kalau para pelaksana intelijen lapangan itu produk lama itu agak sulit meninggalkan kebiasaan lamanya.
Intelijen saat ini kan masih banyak dari hasil didikan paradigma intelijen Orde Baru. Saya sendiri termasuk korban produk intelijen lama. Saya ditangkap sewenang-wenang tanpa surat penangkapan. Saya sampai pernah diadili dituntut penjara seumur hidup lantas dijatuhi hukuman penjara 18 tahun. Barulah setelah mau disidangkan dibuatkan surat penangkapan dengan tanggal dimundurkan. semua itu sulit saya tentang karena posisi saya lemah sebagai seorang tahanan.
Makanya ketika eksekusinya saya tidak mau tanda tangan. Itu saya lakukan sebagai bentuk perlawanan. Tetapi eksekusinya tetap jalan saja. Dan dulu, akibat kerja intelijen di masa Orde Baru dengan paradigma otoriter itu kan korbannya banyak sekali. Banyak orang meninggal di dalam tahanan tanpa ada proses itu.Ya kalau saya memang tidak sampai meninggal tetapi percobaan pembunuhan yang saya alami itu terjadi. Penyiksaan fisik terhadap saya itu terjadi.
Saharuddin Daming, Komisioner Komnas HAM
Intelijen itu perlu dan UU tentang Intelijen itu penting. Tetapi saya sangat menyayangkan kalau proses pemberantasan terorisme selalu dikait-kaitkan dengan intelijen. Saya termasuk orang yang tidak pernah percaya bahwa maraknya terorisme di Indonesia karena lemahnya intelijen.
Jadi harusnya ada instropeksi terhadap kebijakan politik negara. Setiap kali ada gerakan-gerakan yang mereka sebut terorisme itu haruslah dimaknai, katakanlah, sebagai anak-anak negeri yang aspirasinya tidak terwadahi. Mereka ini kan berbeda dengan gerakan¬-gerakan demonstran di jalanan yang juga menuntut beberapa agenda perubahan.
Nah, dari dulu saya selalu bilang mengapa terorisme itu harus dilawan dengan kekerasan atau intimidasi? Saya kira, kebijakan represif seperti tidak akan pernah menyelesaikan persoalan-persoalan konflik. Malah menurut saya, Setiap kali ada kebijakan represif apalagi dengan payung UU Intelijen yang represif itu justru makin menimbulkan benih-benih radikalisme.
Jadi saya berharap negara jangan memprovokasi rakyat untuk mengambil jalan militan untuk menghadapi segala sesuatu yang menghambat dinamika menuntut ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Karena semakin dipersempit atau bahkan ditutup maka risiko mereka mengambil jalan sendiri-sendiri semakin besar.
Oleh karena itu, negara harus menghentikan semua kebijakan pemberantasan terorisme dengan cara represif. Bukalah ruang dialog dengan anak-anak bangsa tersebut. Kita kan sudah punya pengalaman konflik Aceh. Bela kebijakan represif terus digulirkan mana pernah ada perdamaian di Aceh. Tapi dengan membuka jalur dialog di berbagai forum maka kedua belah pihak bisa didamaikan.
Oleh karena itu saya menyerukan adanya cooling down. Masing-masing pihak mundurkan sifat arogansinya, bersiaplah untuk berdialog. Undanglah tokoh-tokoh yang dianggap militan untuk berdiskusi tentang negeri ini. siapa tahu dari dialog itu justru mereka dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kemajuan bangsa.
Yang kedua, saya juga berharap politik negara, terutama hubungan-hubungan internasional, misal dengan Amerika Serikat dan negara lainnya yang dianggap sebagai biang masalah timbulnya terorisme itu juga perlu ditinjau.
Menurut saya tidak fair juga kalau selalu melimpahkan semua kesalahan kepada kelompok-kelompok militan. Jadi harus dilihat juga, bahwa militansi itu sebagai bentuk protes dari kelompok-kelompok yang membawa aspirasi, sebut saja misalnya, komunitas Islam yang selalu diperlakukan tidak adil, diabaikan dan tidak diberi ruang untuk menyampaikan aspirasi yang konstruktif di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Prof. Zainal Arifin, Ketua MUI Solo
Bom Solo sangat disayangkan, dari sudut manapun hal itu tidak bisa dibenarkan. Dalam pandangan Islam, itu
bukan jihad, sebab bukan karena perang. Kita tidak tahu apa motivasinya. Kita juga tidak tahu siapa yang bermain di belakangnya. Kota Solo selama ini tidak ada masalah dengan kerukunan antar umat beragama.
Maka adu domba adalah salah satu kemungkinan, di samping ada 1001 macam kemungkinan lainnya, seperti pengalihan isu, memuluskan proyek deradikalisasi, dll. Ini merupakan umpan kecil, maka jangan sampai dibuat besar. Kita hendak diadu domba, tapi kita tidak mau.
Anehnya obyek yang dipilih untuk pemboman itu adalah gereja yang tenang, tidak pernah ada gejolak, bahkan gereja tersebut juga memiliki sistem pengamanan yang cukup bagus, ada satpam, CCTV, kenapa yang dipilih adalah gereja itu?
Setelah terjadi bom Solo, presiden SBY bereaksi keras, namun tidak untuk kasus sebelumnya di Ambon ketika banyak umat Islam yang menjadi korban. Itulah yang namanya ketidakadilan dan tidak jujur. Sehingga seringkali pemimpin kita hanya menjadi guyonan oleh para budayawan dan seniman di televisi. Untungnya rakyat sekarang ini sudah pandai, apa yang diutarakan (oleh pemirnpin-red) benar atau tidak benar, rakyat sudah pandai menilai. (gm/voa-khilafah.co.cc)