Minoritas Non Muslim Warga Kelas Dua?


Orang-orang non-Muslim belum pernah mendapatkan keistimewaan sebagaimana keistimewaan yang mereka dapatkan ketika mereka hidup di bawah naungan Islam, dalam masyarakat Islam, baik dalam sistem, wilayah maupun negara manapun. Sebab, hubungan yang dibangun antara Muslim dan non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Islam adalah hubungan yang adil. Allah SWT berfirman: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil..” (Q.s. al-Mumtahanan [60]: 9)
Ayat ini menjelaskan prinsip moral dan legal yang harus dijadikan pijakan oleh kaum Muslim, yaitu kewajiban bersikap baik dan adil kepada siapa saja yang tidak membangun permusuhan dengan mereka. Prinsip-prinsip seperti ini tidak pernah dikenal dalam sejarah umat manusia, sebelum datangnya Islam. Setelahnya, prinsip-prinsip ini pun tetap hidup sepanjang beberapa abad. Ketika ini tidak ada lagi, maka nestapa dan penderitaan pun menyeruak, dan tetap ada hingga sekarang bahkan nyaris punah, karena hawa nafsu, fanatisme dan sektarian. Terutama, ketika Khilafah telah tiada.
Jaminan Kebebasan Beragama bagi Non-Muslim
Islam menjamin hak-hak orang-orang non-Muslim, dan memberikan keistimewaan kepada mereka. Yang terpenting adalah jaminan kebebasan beragama. Mereka dijamin untuk tetap memeluk agamanya, dan tidak boleh dipaksa. Allah SWT berfirman: “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam.” (Q.s. al-Baqarah [02]: 256).
Kebijakan ini juga tampak dengan jelas dalam surat Rasulullah saw kepada Ahli Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani Yaman yang diserukan untuk memeluk Islam: “Siapa saja orang Yahudi atau Nasrani yang telah memeluk Islam, maka dia merupakan orang Mukmin. Dia berhak mendapatkan hak dan kewajiban yang sama dengan orang Mukmin. Dan siapa saja yang tetap dengan keyahudian atau kenasraniannya, maka dia tidak boleh dihasut untuk meninggalkannya.” (Lihat, Abu ‘Ubaid, al-Amwal, hal. 28; Ibn Zanjawih, al-Amwal, Juz I/109; Ibn Hisyam, as-Sirah an-Nabawiyyah, Juz II/588; Ibn Katsir, as-Sirah an-Nabawiyyah, Juz V/146)
Karena itu, mereka diberikan kebebasan untuk memeluk agamanya; beribadah dengan tatacara agamanya; makan dan minum sesuai dengan ketentuan agamanya; kawin dan cerai mengikuti agamanya. Mereka diperbolehkan untuk makan babi dan minum khamer, serta mengenakan pakaian sesuai dengan ketentuan agamanya. Semuanya ini merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Islam kepada mereka. Bahkan, kalau seandainya mereka dengan suka rela melakukan praktik peribadatan sebagaimana kaum Muslim pun tetap tidak diperbolehkan, malah harus dilarang. Karena peribadatan ini merupakan keistimewaan masing-masing agama. Orang non-Muslim tidak boleh melakukan shalat, puasa, zakat dan haji, misalnya. Karena ini merupakan ibadahmahdhah, yang merupakan keistimewaan bagi umat Islam, dan disyaratkan harus Muslim, maka mereka tidak boleh melakukannya.
Namun di luar itu, mereka sama dengan kaum Muslim. Sama-sama harus tunduk kepada sistem Islam. Misalnya, jika kaum Muslim mencuri dipotong tangan, maka orang non-Muslim pun sama. Jika kaum Muslim berzina dicambuk atau dirajam, maka orang non-Muslim pun sama. Jika kaum Muslim tidak boleh mempraktikkan riba, maka orang non-Muslim pun sama. Jika kaum Muslim berhak mendapatkan jaminan kebutuhan dasar, seperti sandang, papan dan pangan, serta kesehatan, pendidikan dan keamanan, maka orang-orang non-Muslim pun sama.
Islam Melarang Berbuat Zalim kepada non-Muslim
Sebagai warga negara Islam, hak-hak orang non-Muslim dijamin oleh Islam. Bahkan Islam mengancam siapa saja yang melakukan kezaliman kepada mereka, atau menciderai hak-hak mereka. Nabi saw bersabda: “Siapa saja yang berbuat zalim kepada orang Kafir Mu’ahad, mengurangi haknya, membebaninya melebihi kemampuannya, atau mengambil hak miliknya tanpa seizin mereka, maka aku akan menjadi pembelanya pada Hari Kiamat.” (H.r. Abu Dawud (3052) dan al-Baihaqi (18511). Albani berkomentar: Hadits ini sahih. Lihat, as-Silsilah as-Shahihah, hal. 445)
Di antara bentuk keindahan sikap Nabi saw dalam konteks ini tampak, antara lain, pada peristiwa yang dialami kaum Anshar di Khaibar, ketika Abdullah bin Sahal dibunuh. Pembunuhan ini terjadi di wilayah orang Yahudi, sehingga kemungkinan besar pembunuhnya adalah orang Yahudi. Namun, tidak ada satu pun bukti yang bisa digunakan untuk mendukung dugaan ini. Karena itu, Nabi saw tidak menjatuhkan sanksi apapun kepada orang Yahudi tersebut. Namun, baginda saw hanya memintanya bersumpah, bahwa mereka tidak pernah melakukan pembunuhan tersebut.
Sahal bin Abi Hatmah menuturkan, bahwa ada beberapa orang dari kaum Anshar bertolak ke Khaibar. Mereka berpencar, tiba-tiba mereka mendapati salah seorang di antara mereka terbunuh. Mereka mengatakan kepada orang-orang yang temukan: “Kalian telah membunuh teman kami.” Mereka menjawab: “Kami tidak membunuh, dan kami tidak tahu, siapa pembunuhnya?” Mereka pun bertolak kepada Nabi, seraya berkata: “Ya Rasulullah, kami berangkat ke Khaibar, lalu kami menemukan salah seorang di antara kami terbunuh.” Nabi bersabda kepada mereka: “Yang paling tua, majulah! Yang paling tua, majulah!” Nabi bertanya lagi kepada mereka: “Kalian bisa mendatangkan bukti, siapa yang membunuhnya?” Mereka menjawab: “Kami tidak mempunyai bukti.” Nabi bersabda:“Kalau begitu, mereka harus bersumpah.” Orang-orang Anshar itu berkata: “Kami tidak bisa menerima sumpah orang-orang Yahudi.” Rasul pun enggan menyia-nyiakan darahnya, maka baginda saw membayar diyat orang tersebut dengan 100 unta sedekah(H.r. Bukhari dan Muslim. Lihat, al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (6502); Muslim, Shahih Muslim (1669).
Dari sini tampak, bahwa Rasulullah saw. telah melakukan apa yang tidak terbayangkan oleh siapapun. Bahkan, Nabi saw. telah membayarkan sendiri diyat-nya dari harta kaum Muslim agar bisa meredam kemarahan kaum Anshar, dan tidak menzalimi orang-orang Yahudi. Dalam kondisi seperti ini, Negara Islamlah yang justru mengambil alih tanggung jawab tersebut, sehingga tidak ada satu sanksi (jinayah) yang diterapkan kepada orang Yahudi tersebut  sementara di dalamnya masih terdapat syubhat.
Negara Melindungi Harta Non-Muslim
Harta non-Muslim benar-benar dijamin oleh Islam. Islam mengharamkan harta mereka diambil atau dikuasai dengan cara yang batil, baik dicuri, dirampas, dirampok atau bentuk-bentuk kezaliman yang lain. Secara nyata, kebijakan tersebut tampak pada zaman Nabi saw kepada penduduk Najran: “Penduduk Najran dan keluarga mereka berhak mendapatkan perlindungan Allah, dan jaminan Muhammad utusan Allah, baik harta, agama maupun jual-beli mereka, serta apa saja yang ada dalam kekuasaan mereka, baik kecil maupun besar.” (H.r. al-Baihaqi. Lihat, al-Baihaqi, Dalailu an-Nubuwwah, Juz V/485; Abu Yusuf, al-Kharaj, hal. 72; Ibn Sa’ad, at-Thabaqat al-Kubra, Juz I/288)
Bahkan, di antara kebijakan yang sangat menakjubkan terhadap hak minoritas non-Muslim yang dijamin oleh Negara Islam dari Baitul Mal, ketika kondisi mereka lemah, tua atau miskin. Kebijakan ini bertolak dari sabda Nabi saw: “Tiap-tiap kalian adalah penggembala, dan tiap penggembala harus bertanggungjawab terhadap gembalaan (rakyat)-nya.” (H.r. Bukhari dan Muslim. Lihat, al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (2426); Muslim, Shahih Muslim (1829). Dengan asumsi, bahwa mereka adalah rakyat Negara Islam, yang mempunyai hak yang sama dengan kaum Muslim.  Karena itu, negara bertanggungjawab kepada mereka semua di hadapan Allah SWT. Dalam hal ini, Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyab, dia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah telah memberikan sedekah untuk keluarga orang Yahudi, yang dikirimkan kepada mereka.” (Abu ‘Ubaid, al-Amwal, hal. 613. Albani berkomentan: “Sanadnya hingga sampai ke Sa’id bin al-Musayyab ini sahih.” Lihat, Tamam al-Minnah, hal. 389)
Di antara bukti-bukti yang menggambarkan keagungan Islam dan menusiawinya peradaban Islam dalam konteks ini telah dibukukan dalam kitab-kitab hadits. Antara lain, ketika ada jenazah lewat di hadapan Nabi, baginda saw pun berdiri untuk menghormatinya. Ada yang bertanya kepada baginda: “Dia orang Yahudi.” Nabi menjawab: “Bukankah dia juga manusia?” (H.r. Muslim dari Qais bin Sa’ad bin Hanif. Lihat, Muslim, Shahih Muslim (961); Ahmad, Musnad Ahmad (23893)
Begitulah semua hak-hak minoritas non-Muslim di dalam Islam dan peradaban Islam. Ada kaidah yang menyatakan, tiap jiwa manusia harus dihormati, selama tidak melakukan kezaliman atau permusuhan. Dengan melihat fakta-fakta di atas, bagaimana mungkin orang-orang non-Muslim yang hidup di bawah naungan Khilafah bisa dianggap warga kelas dua, sementara mereka mempunyai hak-hak yang sama dengan kaum Muslim.
Mengenai fakta, bahwa mereka tidak boleh menjadi kepala negara, wakil kepala negara, wali dan jabatan sejenisnya, ini tidak bisa dijadikan bukti, bahwa mereka adalah warga kelas dua. Sebab, negara yang mereka diami adalah negara Islam, yang berideologikan Islam dan menerapkan hukum-hukum Islam. Di negara seperti ini, tidak mungkin orang non-Muslim bisa menjadi kepala negara dan sejenisnya, yang bertugas untuk menjalankan semuanya tadi, sementara itu bertentangan degnan keyakinan mereka. Karena itu wajar, jika kemudian mereka tidak diperbolehkan untuk menjadi kepala negara dan sejenisnya. (hti/voa-khilafah.co.cc)
Oleh: Hafidz Abdurrahman

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers