Oleh : Letjend (Purn) Z.A. Maulani
(Mantan Kepala BAKIN)
Tugas Intelijen adalah Pengabdian Mutlak Tanpa Pamrih
Kemampuan dan kualitas kinerja intelijen ditentukan oleh kehandalan dan kualitas dari sistem pendidikan dan pelatihan yang merupakan wujud upaya untuk menjadikan seseorang cakap dan matang melalui pembekalan kemampuan profesional dan pemberian pengalaman secara sistematik.
Pertanyaan :
Untuk menjadikan BIN sebuah lembaga intelijen yang profesional dengan kinerja yang profesional, bagaimana sistem rekrutmen calon-calon petugas intelijen kita?
Sisi kedua adalah efisiensi sistem pembinaan karier yang memungkinkan seseorang menjadi matang melalui pemberian pengalaman yang sistematik. Para master-spy dunia yang ada pada awalnya terbentuk dari para cantrik (apprentice). Melalui kedua sistem tersebut yang dibina secara serasi, bertahap dan berlanjut, para cantrik intelijen yang semula masih hijau dibangun keterampilan, kepercayaan diri, kemampuan, dan kepemimpinannya, dengan rajutan antara pelatihan kejuruan dan keahlian berbagai lika-liku seni intelijen dengan penugasan, dari tugas magang, tugas lapangan (field operative), lalu agen handler, kemudian middle analyst, sampai kepada senior analyst. Hasil dari itu semua akan melahirkan master-spy.
Pertanyaan :
Bagaimana sitem pendidikan dan pelatihan professional baik yang berupa ‘in-house’ maupun ‘out-house training’ ?
Bagaimana pola ‘tour of area’ dan tour of duty’ (mutasi dan promosi) para pejabat BIN ?
Akibat iklim politik yang serba tidak menentu, bidang pembinaan karier kepegawaiaan yang belum mengacu kepada prestasi, yang juga berlaku pada aparat intelejen, telah mengendala kaidah itu. Para petugas dan pejabat intelejen, terutama yang berasal dengan latar belakang non militer berdasarkan ketentuan pemerintah harus mengikuti ‘pendidikan karier’ berjenjang regular pegawai negeri, seperti SPAMA, SPAMEN, dan SPATI, untuk mengapatkan kenaikan jabatan yang mengandung juga kenaikan tanggung jawab, sementara sebagaimana dinaklumi, sistem pendidikan karier pegawai negeri tersebut tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan peningklatan keterampilan profesionalisme intelijen yang seharusnya mereka peroleh dalam sistem pendidikan karir mereka. Sebaliknya, in-house training yang dilakukan oleh lembaga intelijen selama ini di bidang tradecrafts mereka ternyata tidak memiliki efek karier, belum mendapatkan pengakuan dari badan administrasi pembinaan kepegawaian negara, BAKN, kecuali sekedar sebagai credit points semata.
Sosok Intelijen
Bagian terpenting dari rangkaian pembinaan sumber-daya manusia untuk menjadikan seseorang sisik intelijen dalam rajutan pembinaan pendidikan dan pembinaan karier atas tadi bermula pada tahapan awal, yaitu recruitment.
Kekeliruan pada tahapan awal ini akan berdampak panjang. Pencarian bibit (talent-scouting) menjadi pengalaman penting dari usaha recruitment. Dari sederet panjang tuntutan yang mutlak ada pada tiap calon rekrut ialah integritas pribadi, loyalitas dan kemampuan profesional (professional competence).
Integritas pribadi merefleksikan sosok seorang yang jujur, dapat dihandalkan, satu kata dengan perbuatan, memikiki keberanian moral, adil dan bijaksana. Kesemuanya mutlak diperlukan, mengingat pekerjaan intelijen akan lebih banyak dilaksanakan dengan mengandalkan pribadi demi pribadi. Pengetahuan, analisis, dan laporan dari seorang sosok intelijen akan sangat tergantung pada judgement dari pribadi yang bersangkutan. Dengan kata lain, keberanian mengambil keputusan pada saat-saat kritis yang terkait erat dengan integritas pribadi seseorang.
Loyalitas menjadi tuntutan mutlak yang kedua. Loyalitas, atau kesetiaan, mengandung keteguhan akan komitmen seseorang kepada misi yang diembannya, kepada etika profesinya, kepada organisasinya, dan terutama kepada bangsa dan negaranya, diatas segala-galanya tanpa pamrih. Sosok dan lembaga intelijen tidak boleh menyimpangkan kesetiaannya kepada kelompok atau golongan, atau kepentingan-kepentingan sempit di luar kepentingan nasional.
Pertanyaan : Bagaimana mengawasi loyalitas para petugas intelijen dalam tugasnya kepada misinya dan sumpahnya?
Pengalaman keterlibatan badan-badan intelijen di masa silam dalam konflik-konflik yang bernuansa kepentingan kelompok dan politik aliran dari sejak awal sejarah republik sebagaimana dituturkan pada riwayat lembaga BRANI, KP V, PBI dan sebagainya, cukup menjadi pelajaran yang telah menorehkan trauma ke dalam tubuh bangsa, yang telah menjadikan badan-badan intelijen kita tidak terlepas dari trauma masa lalu, di mana sosok intelijen kerap cenderung memperlihatkan subjektifitas politik alirannya, primordialisme yang kental, sehingga tidak dapat menghindari diri dari perlibatan dengan kegiatan politicking dalam politik praktis.
BIN sebagai badan koordinasi intelijen negara, tidak peduli siapa pun yang memimpin dan kapan pun, pada dasarnya harus senantiasa terikat kepada misinya, yaitu menyampaikan informasi yang objektif dan faktual --pertimbangan tentang apa yang sepatutnya dilakukan atau tidak dilakukan-- kepada presiden/kepala negara dalam rangka mengamankan segala upaya untuk “melindungi segenap rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahterahan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan keterlibatan dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Pertanyaan : Bagaimana usaha Kepala BIN untuk menjamin agar badan-badan intelijen kita, khususnya BIN, tidak menjalankan politik kelompok, politik aliran dan atau primodialisme, yang selama ini telah menjadi trauma besar di kalangan masyarakat Indonesia?
Kemampuan profesional menjadi syarat mutlak ketiga menuju terbinanya sosok intelijen yang profesional. Professionalisme tidak terbatas hanya pada penguasaan teknis dari trade-craft intelijen. Di dalamnya terkandung kewajiban dan kemampuan untuk menegakkan etika profesi yang menjadikan intelijen menjadi profesi yang disegani dan terhormat, bukan pekerjaan yang menimbulkan rasa takut dan jijik. Profesionalisme menuntut dalam kegiatan intelijen penghormatan kepada hukum dan ketentuan yang berlaku, hak-hak asasi manusia, nilai-nilai budaya yang ada, karena negara yang kita impikan bukanlah negara polisi (police state) atau negara kekuasaan (machts staat) yang kekuasaannya didukung oleh polisi rahasia semacam Kempetai, Gestapo, GRU, atau Stazei. Badan-badan intelijen fungsional, diharapkan oleh rakyat agar “berhenti melakukan hal-ihwal di luar fungsi dan misi intelijen, dan terutama dengan kegiatan yang menzalimi rakyat.” Jangan sampai berlaku pemeo, “sukses di semua bidang, terkecuali di bidang intelijen.”
(Catatan : Oleh karena itu dalam upaya melakukan profesionalisasi sosok intelijen, dalam rekrutmen calon petugas intelijen di luar tiga tuntutan dan persyaratan tersebut diatas, badan-badan intelijen strategis mensyaratkan tenaga didik serendah-rendahnya strata-1; berkepribadian hangat dan menyenangkan-bukan yang berpenampilan sangar; mudah dan enak bergaul dalam berbagai lingkungan ; menguasai paling tidak satu bahasa asing, yaitu bahasa inggris, dengan fasih; mampu membangun struktur berpikir logis dan analitik; serta mampu menyampaikannya secara jernih baik secara lisan maupun tertulis).
Menengok perkembangan intelijen ke belakang dan memandang gelagat perkembangan lingkungan dalam dan luar negeri ke masa depan, usaha untuk melakukan reposisi kedudukan dan peran intelijen dalam kehidupan negara merupakan langkah yang perlu dan harus diambil, dengan secara jujur berusaha menarik pelajaran dari masa lampau serta dari kekurangan-kekurangan objektif yang masih ada di masa kini.
Acuan missi intelijen di masa depan harus terkait dengan usaha untuk mendukung komitmen bangsa, yaitu turut mengamankan terbentuknya, 1) masyarakat madani yang demokratik; 2) yang menghormati supremasi hukum; 3) mendukung terbentuknya pemerintahan yang bersih; 4) serta menjunjung tinggi pluralitas bangsa dalam wujud penghormatan kepada perbedaan dengan tetap berada dalam pigura Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pertanyaan : Untuk mewujudkan hal tersebut di atas, apakah Saudara Kepala BIN sepakat akan perlunya melegislasikan suatu ‘Undang-undang tentang Intelijen’, yang isinya menetapkan secara tegas tugas pokoknya (‘mission’), fungsi-fungsinya, bidang-bidang yang menjadi lahan garapannya, jenis tugas (‘tasks’) agar badan-badan intelijen kita tidak terjebak menjadi “polisi rahasia” yang bertentangan secara mendasar dengan prinsip negara kita sebagai negara hukum (‘recht-staat’); undang-undang itu perlu menetapkan kepada siapa ia bertanggung-jawab, bagaimana hubungannya dengan DPR, dari mana sumber alokasi anggaran belanja bagi lembaga intelijen, dan hal-ihwal yang berkaitan dengan tanggung-jawab administratif badan-badan intelijen.
Tantangan Baru – Cakrawala Baru
Tantangan masa depan bukan hanya berwujud ancaman fisik. Runtuhnya Tembok Berlin pada 1985 bukan hanya meniadakan dua kubu yang bersaing, yang nyaris akan meluluh-lantakkan dunia. Berakhirnya Perang Dingin dengan kemenangan blok Barat telah membuka pintu bendungan yang tak tertahankan, munculnya suatu fenomena baru, yakni globalisasi. Globalisasi, atau proses pensejagatan, terjadi berkat berlangsungnya revolusi dahsyat di bidang teknologi transportasi, telekomunikasi, dan informasi. Revolusi tersebut telah mengubah secara total konsep tentang ruang dan waktu. Dunia dibuatnya makin menciut. Kenichi Ohmae menyebutnya –a new borderless world– suatu dunia yang tidak lagi mengenal tapal-batas. 7) Tanpa tapal-batas gelombang informasi dalam era globalisasi mendorong proses uniformisasi umat manusia. Uniformisasi itu terutama berkiprah dalam visi dan aspirasi, seperti tampak pada gerakan perjuangan untuk menghormati hak-hak asasi manusia, demokratisasi, hidup yang lebih ramah lingkungan. Terhadap gejala uniformisasi tampak gerakan regionalisme yang kini tumbuh bak cendawan di musim hujan dan kian menguat, di Amerika Utara, Eropa, dan Asia (Timur, termasuk Tenggara), serta munculnya entitas non-negara yang ditujukan untuk kerja-sama ekonomi seperti WTO, APEC, ASEM, dan sebagainya.
Gejala yang memerlukan kewaspadaan dalam uniformisasi ini ialah terbentuknya entitas non-negara, di mana yang terpenting adalah menguatnya kesadaran kesetia-kawanan diaspora etnis Cina secara mondial maupun regional, yang kini bangkit menjadi kekuatan ekonomi dunia yang harus diperhitungkan. Di negara-negara tepian Pasifik, di luar RRC dan Taiwan, jumlah etnis Cina yang hanya 25 juta jiwa memiliki pendapatan 30 triliun dolar setahun, yang berarti delapan kali lipat GDP Cina Daratan yang berpenduduk 1,3 milyar jiwa.
Jaringan etnis Cina perantauan tersebut sangat rumit, terdiri dari jaringan-di-dalam-jaringan, baik jaringan berdasarkan she (marga), perkongsian, maupun negara, dimana mereka bertempat tinggal, yang terkait rumit satu dengan yang lain. Sudono Salim masih salah seorang ketua organisasi dari she Lim sedunia. Bersama-sama dengan Mochtar Riyadi keduanya menjadi anggota dewan penasehat dari perhimpunan etnis Cina perantauan sedunia yang bermarkas-besar di Chinese Heritage Center Singapura.
Dalam hubungan ini Lee Kuan Yew, menteri senior Singapura, dan para pemimpin Singapura, mengidap impian menjadikan Singapura sebagai ibukota para Hoa Xiao di dunia. Ketika terjadi Tragedi Mei 1998 menjelang tumbangnya Presiden Suharto, kerusuhan besar yang menimpa etnik-Cina di Jakarta, adalah Singapura yang paling kencang suaranya mengecam Indonesia dalam rangka memberikan kesan Singapura sebagai negara yang paling peduli dengan nasib etnik Cina Hoa Xiao.
Lalu apa kaitannya dengan solidaritas diaspora etnis Cina ini? Kekuatan duit mereka. Siapa saja yang ingin berpolitik butuh duit. Tetapi juga sebaliknya, duit menjadi basis dari kekuatan politik. Artinya, sewaktu-waktu kepentingan ekonomi dan atau keuangan dari kelompok etnis Cina perantauan terancam di salah satu atau beberapa negara klien, sudah dapat dipastikan akan ada reaksi berupa ramifikasi politik. Terpuruknya moneter, ambruknya perbankan, dan rusaknya ekonomi Indonesia, merupakan salah satu contoh dari kekuatan sistem senjata ekonomi. Tumbangnya rejim Orde Baru bukan karena ada divisi berlapis-baja menggelinding di jalan-jalan Thamrin atau Sudirman di Jakarta, atau penerjunan pasukan payung di lapangan Monas, atau berjatuhannya peluru-kendali di Cilangkap. Presiden Soeharto tumbang karena jatuhnya nilai rupiah, yang membuka pintu kepada krisis moneter dan kemudian ekonomi yang akut. Minat intelijen nasional harus disesuaikan dan dilebarkan antara lain dengan adanya tantangan berupa ancaman baru tersebut.
Duit juga menjadi faktor kuat yang mempengaruhi perumusan kebijakan nasional. Dalam hal ini contoh konkrit adalah ketika melalui tokoh-tokoh Hoa Xiao seperti Tong Joe, Tommy Winata, dan James Riyadi, Presiden Megawati mengeluarkan kebijakan R & D (Release and Discharge), kepada para obligor yang pada umumnya adalah konglomerat keturunan Cina yang melarikan diri ke Singapura, pembebasan dari kewajiban mengembalikan hutang-hutang mereka yang mencapai angka sampai 170 trilyun rupiah yang berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) bermasalah. Bersama dengan penjualan Indosat kepada Singapura Telecommunications, dan keputusan untuk menaikkan tarif bahan bakar minyak (BBM), listrik dan telepon, kesemuanya telah menjadi pemantik demonstrasi-demonstrasi besar-besaran yang dilancarkan oleh mahasiswa, pemuda, buruh, pengusaha, kaum miskin dan ibu-ibu rumah tangga di Jakarta pada awal Januari 2003.
Kemudian masalah lain yang memerlukan perhatian adalah runtuhnya imperium Uni Sovyet pada tahun 1989 yang telah menampilkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya super-power di dunia. Menanggapi peristiwa tersebut Amerika Serikat telah memutuskan untuk mempertahankan dan meningkatkan peran tersebut sebagai pemimpin dunia yang dipandangnya “lebih efektif ketimbang pemimpin Perserikatan Bangsa-bangsa.” Untuk itu, berdasarkan doktrin Bush yang disampaikan di depan kongres Amerika Serikat pada tanggal 20 september 2002, di dalam dokumen sebanyak 31 halaman derngan berjudul “The National Security Strategy of United States of Amerika”, Amerika Serikat harus meningkatkan upaya untuk memperluas kehadiran militer Amerika Serikat ke seluruh kawasan Eropa dan Asia, dengan membangun pangkalan yang semula hanya ada di 120 negara, diperluas menjadi 160 negara, untuk menjamin kedudukan dan peran White Americana, perannya sebagai pemelihara perdamaian dunia di bawah kekuaaan Amerika Serikat untul mengamankan kepentingan itu Amerika Serikat membentuk sebuah organisasi super-intelligence bernama ‘Proaktive Pre-Empitiv Organization Group’ (P2OG), dengan tugas melakukan operasi-operasi intelijen atas dasar ‘Pukul dahulu urusan belakang’. Prinsip ini sesuai dengan ancaman presiden Bush kepada semua negara, “if you’re not with use, you’re against us” (kalau tidak mendukung kami, anda adalah musuh kami). Serangan Bom Bali pada 12 Oktober 2002 dan Makasar pada 6 Desember 2002 merupakan bentuk dari kampanye intelijen proactive yang baru dari Amerika Serikat sebagaimana kata Menteri Pertahanan Donald Rumfield operasi semacam itu berjuang untuk memancing keluarnya ”tikus-tikus muslim radikal dari sarangnya.”
Peran Intelijen Asing Di Indonesia
Makin meningkatnya operasi intelijen asing, terutama intelijen Barat di Indonesia, terlihat dengan munculnya propaganda hitam di situs internet TIME.com edisi 17 September 2002, yang menurunkan berita menarik tentang Omar Al-Faruq, sebagai awal dari suatu operasi intelijen yang sistemik untuk mengubah Indonesia tidak lagi menjadi “Mata rantai paling lemah di Asia Pasifik dalam rangka upaya memerangi jaringan terorisme international”. Munisinya adalah tentang hadirnya gerakan islam fundamentalis yang digerakkan oleh suatu organisasi, Jama’ah Islamiyah, yang gerakannya oleh kaum fundamentalis muslim warga negara Indonesia untuk mendirikan “super-state” Islam di Asia Tenggara. Tujuan akhir dari kampanye intelijen ini adalah untuk menguasai negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Kampanye anti-terorisme Amerika Serikat di Indonesia seluruhnya hanya didasarkan pada pengakuan Al-Farouq segera diikuti dengan pernyataan-pernyataan yang sifatnya menekan Indonesia dari para proxy Amerika, seperti “sheriff Amerika” John Howard dari Australia, “jurubicara” menteri senior Singapura Lee Kuan Yew, yang menuduh melalui majalah the Far Eastern Economic Review Hongkong, bahwa ada “ratusan gerakan Islam radikal di Indonesia yang berpotensi sebagai organisasi teroris.” Pernyataan Lee Kuan Yew itu menggebyah-uyah semua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam di Indonesia adalah organisasi teroris.
Konon menurut CIA Al-Faruq adalah tokoh kakap Al Qaedah di Asia Tenggara yang berhasil diciduk, dikesankan sebagai prestasi terpenting CIA di Asia Tenggara. Mengapa? Karena ia dinyatakan sebagai tangan kanan Usamah bin Ladin, yang mendapat tugas untuk mengkoordinasikan gerakan Islam radikal di Asia Tenggara. Ia tokoh penting terutama dengan kegiatan untuk mendirikan sebuah “super-state” Islam di Asia Tenggara. Ia disebutkan banyak menjalin hubungan drngan tokoh-tokoh Islam radikal Indonesia, antara lain dengan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, pemimpin pondok pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo. Ia juga adalah Amir Majelis Mujahidin Indonesia, yang dituduh sebagai “sayap” Al Qaedah di Indonesia.
Dalam dokumen CIA itu ada banyak nama Arab tokoh-tokoh Al-Qaedah yang berada dalam jaringan korespndensi Al Farouq. Antara lain, ada nama-nama Dr. Ayman Al Zawayhiri dan Mohammad Atef. Kedua tokoh puncak Al Qaedah itu dilaporkan pernah mengujungi Poso dan Ambon pada tahun 2000, dua tempat bergolak yang oleh CIA dituduh akan dijadikan sebagai basis baru Al Qaedah, sebagai Afghanistan kedua.
Dari laporan-laporan CIA yang dibocorkan melalui media massa, Amerika Serikat ingin membangun kesan bahwa jaringan Al Qaedah di Indonesia merupakan serius. Laporan itu juga mengatakan Al Qaedah berhasil membangun sebuah “kamp latihan militer” di Poso. Selain Poso ada tiga buah lagi di Kalimantan, antara lain sebuah di Balikpapan. Tanggal 18 Januari 2002 melalui juru bicara BIN Muchyar Mara mengulang kembali bahwa di Poso ada pusat kamp pelatihan teroris Islam meski berkali-kali dibantah oleh pejabat setempat.
Sekedar sebaagai contoh, pusat latihan militer kaum Islam radikal di Kalimantan yang disebut-sebut dalam laporan CIA itu ternyata pondok pesantren Hidayatullah, yang ada di desa Gunung Tembak, Balikpapan. Kampus pondok pesantren Hidayatullah itu terdiri dari suatu hamparan seluas 30 hektar dengan bangunan masjid, gedung pertemuan unum, ruang belajar, bedeng-bedeng perbengkelan mesin dan alat-alat pertanian, hamparan lahan ladang tempat para santri praktek bertani, sebuah danau buatan yang asri sebagai reservoir air bagi kawasan desa Gunung Tembak, dan asrama bagi santri putra maupun putri serta kawasan perumahan para ustadz. kawasan ini, karena design lengkapnya, pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru karena jasa-jasa Hidayatullah mengubah tanah gersang di sana menjadi lahan subur.
Bertetangga dengan pesantren Hidayahtullah di desa Mandar berdiri tegak pangkalan Yonif 600 Lintas-Udara, pasukan cadangan pemukul dari Kodam VI/Tanjungpura, dan agak ke selatan lagi berdiri basis kompi Kopasgat TNI AU yang bertugas mengamankan kawasan bandara internasional Sepinggan, Balikpapan. Di antara pangkalan-pangkalan ini dengan pesantren, yang dahulunya hanyalah hutan dan semak belukar, berkat bimbingan pesantren Hidayatullah. Itulah “pusat latihan militer” di Balikpapan menurut versi CIA.
Pertanyaan : bagaimana keterrangan dari kepala BIN tentang informasi tentang adanya kamp-kamp latihan kaum teroris di Poso dan Kalimantan yang dinyatakan oleh juru-bicara BIN Machya Mara?
Yang termasuk dalam daftar “wanted”- orang yang dicari di Indonesia menurut versi Amerika Serikat kalau diteliti ternyata adalah mereka yang turut memperjuangkan berlakunya syariat islam di Indonesia. Sebagai contoh, Agus Dwi Karna yang bersama-sama Tamsil Linrung mestinya sudah dibebaskan oleh pengadilan Manila, ternyata keputusan itu dicabut kembali dan tidak berlaku bagi Agus Dwi Karna, karena dia adalah ketua dari Laskar Jundullah, organisasi yang bernaung di bawah “panitia persiapan pelaksanaan Syari’at Islam Sulawesi Selatan”. Dosa dari ustadz Abu Bakar Ba’asyir, karena ia menyatakan mendukung gagasan ”berlakunya syari’at Islam bagi para pemeluknya” di Indonesia. Sebenarnya Agus, ustadz Ba’asyir, tidak sendirian. Banyak orang Indonesia dan bahkan beberapa Partai politik di Indonesia, masih terus memperjuangkan gagasan berlakunya syari’at Islam ”bagi para pemeluknya” di Indonesia, dan aspirasi itu sudah menjadi publik dan legal-konstitusional sejak bulan Juni 1945 dalam debat-debat terbuka di sidang Dokuritsu Zyoonbi Choosa-kai, kemudian di sidang konstituante pada tahun 1959, dan terakhir di sidang MPR 1999. Jadi apa salah mereka? Dan sampai dengan hari ini gagasan pemberlakuan syari’at Islam “bagi para peneluknya” di Indonesia masih menjadi wacana terbuka di tengah-tengah publik di Indonesia.
Pertanyaan :Sampai dengan hari ini pihak kepolisian belum juga berhasil mengungkapkan bukti-bukti keterlibatan dari Al Ustadz Abu Bakar Ba’syir dengan kegiatan terorisme sebagaimana yang dituduhkan oleh pihak keamanan selama ini. Bagaimana keterangan dari kepala BIN tentang tuduhan terhadap Al Ustadz Abu Bakar Ba’syir yang hanya berdasarkan testimoni tunggal ’in absentia’ dari seorang tokoh Omar Al-Faruq?
Pada tanggal 12 Oktober 2002 pukul 23.05 sebuah ledakan bom di Bali yang begitu dasyat, konon dilihat dari jumlah korban yang jatuh adalah yang kedua terbesar sesudah serangan terhadap gedung WTC New York. Bom yang meledak di depan Sari Night Club menewaskan 184 jiwa mencederai berat dan ringan 300-an orang, seratusan lagi hilang, menghancurkan atau merusak 47 buah bangunan, dan membakar seratusan kendaraan berbagai jenis.
Para pengamat dan para ahli demolisi pada umumnya berpendapat bahan-ledak yang digunakan di pantai Legian-Kuta itu bukan dari bahan konvensional. Tim investegasi gabungan Polri dan Australia berusaha melunakkannya dengan menyebutkan bahwa bahan ledaknya, yang semula dikatakan dari bahan C-4, kemudian diturunkan menjadi RDX, kemudian di turunkan lagi menjadi HDX, kemudian TNT, lalu bahan ledak yang diimprovisasi dari bahan pupuk dan akhirnya dari bahan karbit. Ada kesan perubahan keterangan tentang bahan-ledak agaknya dimaksudkan untuk meniadakan tudingan bahwa bom itu ulah dari kekuatan luar.
Ledakan bom Bali itu harus dibaca sebagai coup de grace kepada Indonesia yang melengkapkan hegemoni Amerika Serikat di Asia Tenggara. Bom Bali sengaja dibuat sedemikian hebatnya, bukan termasuk kategori bom lokal agar gaungnya mengglobal, sebagai pretext bahwa bangsa dibelakang peledakan itu adalah Muhammad Khalifah, adik-ipar Usamah bin Ladin, dari Al Qaidah. 8)
Ketika Presiden Bush mengancam negara-negara termasuk Indonesia dengan dalil “If you not with us, you’re against us”, ancaman itu tidak menyisakan alternatif lain, kecuali “ikut, atau menjadi musuh Amerika”. Terima wortel atau mau pentungan. Kebijakan satu arah semacam itu tidak membuka peluang bagi negara lain untuk mengembangkan politik nasional yang netral, politik yang bebas-aktif. Sikap Amerika itu telah menjadi ancaman terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan nasional Indonesia selama ini yang bebas dan berkedaulatan baik dalam pengembangan kebijakan dalam-negeri, luar-negeri maupun keamanan, yang tidak selalu searah dengan selera Amerika Serikat. Seorang Indonesianis, Daniel Lev, memberikan saran kepada pemerintah Indonesia, agar tidak terseret pada kepentingan asing jangka-pendek, dan lebih baik memberikan perhatiannya kepada kepentingan nasional Indonesia jangka-panjang.
Menghadapi dilema seperti itu, maka tidak ada pilihan lain bagi pemerintah dan badan intelijen nasional kita kecuali melaksanakan tugasnya dengan tetap mengacu kepada amanah konstitusi, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” [SELESAI]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)