Voa-Khilafah.co.cc - Persatuan Sekolah Kristen Belanda mengusulkan, khusus untuk mata pelajaran tertentu, seperti bahasa dan matematika, kelas antara perempuan dan laki-laki dipisah. Organisasi ini beralasan, anak laki-laki butuh waktu lebih lama untuk menyerap materi pelajaran dibanding siswa perempuan.
Menteri pendidikan Belanda menyambut positif usulan. "Asal prestasi murid meningkat, saya tidak keberatan," ujarnya sebagaimana dikutip Radio Nederlands.
Di Belanda dan negara-negara sekitarnya, prestasi pendidikan siswa lelaki lebih buruk dibandingkan perempuan. Mereka sering tidak naik kelas, putus sekolah, atau memilih tingkat pendidikan yang lebih rendah.
Bahasa dan Matematika
Menurut ketua perkumpulan sekolah-sekolah Kristen di Belanda, perkembangan otak antara lelaki dan perempuan usia 12 hingga 16 tahun berbeda, karena selama puber perkembangan otak laki-laki terlambat dua tahun dari perempuan.
Menurutnya, ini menerangkan mengapa siswa laki-laki lebih sulit belajar bahasa. Tetapi anak laki lebih cepat menyerap pelajaran matematika daripada perempuan.
Pakar pendidikan Indonesia, profesor Conny Semiawan, tidak melihat perbedaan kognitif yang besar antara kedua jenis kelamin. Memang laki-laki punya kekurangan dan kelebihan di bidang tertentu, tapi tidak berarti mereka belajar lebih lamban. Anak perempuan biasanya lebih rapi dan teliti. Dalam pelajaran kimia mereka lebih cepat menyerap. Tapi anak laki punya kelebihan di bidang lain, misalnya apa yang disebut multiple-intelligences yang terkait dengan ruang, lokasi dan arah.
Menurut Sita van Bemmelen, pakar gender Belanda dari Vrije Universiteit Amsterdam, kurangnya prestasi juga disebabkan masalah eksternal.
"Anak laki yang puber sering mencari kesibukan lain di luar sekolah. Memang di SD dan SMP mereka kelihatan lebih lambat, tapi kalau sudah 16 tahun ke atas mereka malah cenderung menyamai. Prestasi anak perempuan justru menurun," jelas pakar yang sudah tinggal lama di Indonesia ini.
Kembali ke Abad 19 Sedang Nan Dodde, guru besar emeritus sejarah pendidikan di Universitas Utrecht, Belanda menentang usulan pemisahan kelas ini.
"Ide ini datang dari perkumpulan sekolah Kristen. Jadi saya agak curiga. Apakah motif mereka murni demi perkembangan prestasi anak atau berdasarkan agama. Saya seakan dilempar kembali ke abad-17. Ketika itu di Belanda, baik Kristen maupun Katholik berpendapat, anak perempuan dan laki-laki harus sebisa mungkin dipisah. Dengan susah-payah ide ini disingkirkan pada abad ke-19. Jadi kita tidak boleh kembali ke masa lalu," ujarnya.
Pendapat bahwa anak laki agak kurang berprestasi, menurutnya, muncul 10 tahun belakangan di Belanda. Tapi itu bukan hal baru.
"Dulu waktu saya masih mengajar di kelas, anak perempuan memang kelihatan lebih dewasa. Mereka mencari pacar di kelas yang lebih tinggi, karena teman sekelas dianggap masih kecil."
Menurut Dodde, ketertinggalan itu bisa dikejar walaupun mereka sekelas. Caranya, dengan memberi lebih banyak perhatian, mengawasi lebih baik dan kalau perlu memisahkan mereka di pojok kelas agar bisa lebih berkonsentrasi.
Alasan bahwa anak laki-laki cepat di-drop out atau tidak naik kelas, bukan alasan legitim untuk mendirikan kelas terpisah, "Saya pernah mengajar di sekolah khusus laki-laki. Prestasi mereka tidak lebih baik."
Di Belanda, memang saat ini tidak ada sekolah khusus laki-laki atau khusus perempuan. Menteri pendidikan Belanda bersedia memikirkan kemungkinan pemisahan kelas, asalkan itu berarti peningkatan prestasi.
Berbeda dengan di Indonesia. Sekolah terpisah cukup banyak. Contohnya Tarakanita, Santa Ursula, Kanisius dan Pangudi Luhur.
"Di Indonesia saya lihat sekolah terpisah ini kebanyakan sekolah swasta atau berlatar-belakang agama seperti sekolah katolik atau pesantren," ujar Sita van Bemmelen. Tapi pemisahan ini, menurutnya, tidak berdasarkan prestasi melainkan kebiasaan dan anggapan bahwa tidak pantas anak perempuan dan anak laki duduk bersama di bangku sekolah. (hid/voa-khilafah.co.cc)