PENGELOLAAN ZAKAT DI MASA KHALIFAH UMAR

Voa-Khilafah.com - Pada era pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab selama 10 tahun, di berbagai wilayah (propinsi) yang menerapkan Islam dengan baik, kaum Muslim menikmati kemakmuran dan kesejahteraan. Kesejehteraan merata ke segenap penjuru. Buktinya, tidak ditemukan seorang miskin pun oleh Muadz bin Jabal di wilayah Yaman.

Muadz adalah staf Rasulullah saw. yang diutus untuk memungut zakat di Yaman. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan (Al-Amwal, hlm. 596) bahwa Muadz pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Khalifah Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Khalifah Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Khalifah Umar kembali menolaknya dan berkata, “Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti. Saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga.” Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepada Anda.”

Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Khalifah Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan oleh Khalifah Umar. Muadz berkata, “Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut.” (Al-Qaradhawi, 1995).

Subhânallah! Betapa indahnya kisah di atas. Bayangkan, dalam beberapa tahun saja, sistem ekonomi Islam yang adil telah berhasil meraih keberhasilan yang fantastis. Jangan salah, keadilan ini tidak hanya berlaku untuk rakyat yang muslim, tetapi juga untuk yang non-Muslim. Sebab, keadilan adalah untuk semua, tak ada diskriminasi atas dasar agama. Suatu saat Umar sedang dalam perjalanan menuju Damaskus. Umar berpapasan dengan orang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Keadaannya amat menyedihkan. Khalifah Umar pun kemudian memerintahkan pegawainya untuk memberinya dana yang diambil dari hasil pengumpulan sedekah dan juga makanan yang diambil dari perbekalan para pegawainya (Karim, 2001).

Tak hanya Yaman, wilayah Bahrain juga contoh lain dari keberhasilan ekonomi Islam. Ini dibuktikan ketika suatu saat Abu Hurairah menyerahkan uang 500 ribu dirham (setara Rp 6,25 miliar)1 kepada Khalifah Umar yang diperolehnya dari hasil kharaj propinsi Bahrain pada tahun 20 H/641 M. Pada saat itu Khalifah bertanya kepadanya, “Apa yang engkau bawa ini?” Abu Hurairah menjawab, “Saya membawa 500 ribu dirham.” Khalifah pun terperanjat dan berkata lagi kepadanya, “Apakah engkau sadar atas apa yang engkau katakan tadi? Mungkin engkau sedang mengantuk. Pergi, tidurlah hingga subuh.” Ketika keesokan harinya Abu Hurairah kembali maka Khalifah berkata, “Berapa banyak uang yang engkau bawa?” Abu Hurairah menjawab, “Sebanyak 500 ribu dirham.” Khalifah berkata, “Apakah itu harta yang sah?” Abu Hurairah menjawab, “Saya tidak tahu kecuali memang demikian adanya.” (Karim, 2001; Muhammad, 2002).

Selama masa Kekhalifahan Umar (13-23 H/634-644 M), Syria, Palestina, Mesir (bagian kerajaan Byzantium), Irak (bagian kerajaan Sassanid) dan Persia (pusat Sassanid) ditaklukkan. Khalifah Umar benar-benar figur utama penyebaran Islam dengan dakwah dan jihad. Tanpa jasanya dalam menaklukkan daerah-daerah tersebut, sulit dibayangkan Islam dapat tersebar luas seperti yang kita lihat sekarang ini (Karim, 2001, Ash-Shinnawy, 2006). Dari sudut pandang ekonomi, berbagai penaklukan itu berdampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat.

Ghanîmah yang melimpah terjadi pada masa Umar. Setelah Penaklukan Nahawand (20 H) yang disebut fath al-futûh (puncaknya penaklukan), misalnya, setiap tentara berkuda mendapatkan ghanîmah sebesar 6000 dirham (senilai Rp 75 juta), sedangkan masing-masing tentara infanteri mendapat bagian 2000 dirham atau senilai Rp 25 juta. (Ash-Shinnawy, 2006). Meski rakyatnya sejahtera, Khalifah Umar tetap hidup sederhana. Khalifah mendapatkan tunjangan (ta‘wîdh) dari Baitul Mal sebesar 16.000 dirham (setara Rp 200 juta) pertahun atau hanya sekitar Rp 17 juta perbulan (Muhammad, 2002).

Ini berkebalikan dengan sistem Kapitalisme-demokrasi sekarang, yang membolehkan penguasa berfoya-foya—dengan uang rakyat—padahal pada waktu yang sama banyak sekali rakyat yang melarat dan bahkan sekarat.

Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz

Khalifah Umar yang ini juga tak jauh beda dengan Khalifah Umar yang telah diceritakan sebelumnya. Meskipun masa kekhilafahannya cukup singkat, hanya sekitar 3 tahun (99-102 H/818-820 M), umat Islam akan terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat.Ibnu Abdil Hakam (Sîrah Umar bin Abdul ‘Azîz hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikan-nya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya.” (Al-Qaradhawi, 1995).

Kemakmuran itu tak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Abu Ubaid (Al-Amwâl hlm. 256) mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, Gubernur Irak, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, “Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitul Mal masih terdapat banyak uang.” Khalifah Umar memerintahkan, “Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya.”Abdul Hamid kembali menyurati Khalifah Umar, “Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang.”

Khalifah memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya.” Abdul Hamid sekali lagi menyurati Khalifah, “Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah. Namun, di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang.”Akhirnya, Khalifah Umar memberi pengarahan, “Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah mereka pinjaman agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih.” (Al-Qaradhawi, 1995).

Sementara itu, Gubernur Basrah pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabbur dan sombong.” Khalifah Umar dalam surat balasannya berkata, “Ketika Allah memasukkan calon penghuni surga ke dalam surga dan calon penghuni neraka ke dalam neraka, Allah ‘Azza wa Jalla merasa ridha kepada penghuni surga karena mereka berkata, ‘Segala pujian milik Allah yang telah memenuhi janji-Nya.’ (QS az-Zumar: 74). Karena itu, suruhlah orang yang menjumpaimu untuk memuji Allah Swt.” (Al-Qaradhawi, 1995).

Meski rakyatnya makmur, seperti halnya kakeknya (Umar bin al-Khaththab), Khalifah Umar bin Abdul Aziz tetap hidup sederhana, jujur, dan zuhud. Bahkan sejak awal menjabat khalifah, beliau telah menunjukkan kejujuran dan kesederhanaannya. Ini dibuktikan dengan tindakannya mencabut semua tanah garapan dan hak-hak istimewa Bani Umayyah, serta mencabut hak mereka atas kekayaan lainnya yang mereka peroleh dengan jalan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan Khilafah Bani Umayyah. Khalifah Umar memulai dari dirinya sendiri dengan menjual semua kekayaannya dengan harga 23.000 dinar (sekitar Rp 12 miliar) lalu menyerahkan semua uang hasil penjualannya ke Baitul Mal (Al-Baghdadi, 1987).

Subhanallah!

Penutup

Begitulah gambaran kemakmuran dan kesejahteraan di bawah sistem ekonomi Islam yang adil. Semua individu rakyat mendapatkan haknya dari Baitul Mal dengan tanpa perlu mengemis, menangis, mengeluh, dan memohon. Bandingkan itu dengan realitas yang mengiris-iris hati saat ini. Betapa banyak rakyat jelata yang mengemis-ngemis, meraung-raung, dan bahkan melolong-lolong hanya untuk mendapat kesempatan mengais sesuap nasi dan seteguk air. Bukankah Anda sering melihat aparat penguasa yang zalim lagi arogan menggusur dengan kejam pedagang kaki lima yang melarat? Inilah kekejaman sekaligus kegagalan sistem kapitalisme yang diterapkan detik ini. Sistem kafir ini wajib segera kita hancurkan untuk kemudian kita ganti dengan sistem ekonomi Islam yang adil di bawah naungan Khilafah Islamiyah. Wallâhu a’lam.***

Catatan Kaki 1 . 1 dirham kurang lebih senilai Rp 12.500 (per akhir Januari 2007). Standar 1 dirham = 2,975 gram perak. Harga perak 26 Januari 2007 (http://www.analisadaily.com/6-3.htm) adalah $13,27 per ounce (1 ounce = 28,35 gram).
Dengan asumsi $1 = Rp 9.000,- akan diperoleh 1 dirham = Rp 12.532,-

*) dirangkum dari beberapa sumber
Sumber: http://sadarzakat.multiply.com/journal/item/4/TIADA_KESEJAHTERAAN_TANPA_PENGELOLAAN_ZAKAT

(imankosasih/Voa-Khilafah.com)

1 komentar:

memang jika zakat dikelola dengan benar maka kemakmuran dan kesejahteraan uamt akan tercapai

www.ayozakat.wordpress.com

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers