بسم الله الرحمن الرحيم
مستعينا بالله أقول:
Berikut kerangka Kenapa Wanita Saat Ini Wajib Berharokah beserta landasannya.
1. Dakwah adalah Wajib ‘Ain Bagi setiap Muslim (Tanpa memandang Pria atau Wanita)
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [النحل/125]
2. Amar Ma’ruf - Nahi Munkar adalah hasba al-istitha’ah (semampunya) dari sisi individu, dan Fardhu Kifayah dari sisi keseluruhan kaum muslimin
عن أبي سعيد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان . (صحيح مسلم - ج 1 / ص 167)
عن حذيفة بن اليمان عن النبي صلى الله عليه وسلم قال والذي نفسي بيده لتأمرن بالمعروف ولتنهون عن المنكر أو ليوشكن الله أن يبعث عليكم عقابا منه ثم تدعونه فلا يستجاب لكم . (رواه الترمذي)
عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال مثل القائم على حدود الله والواقع فيها كمثل قوم استهموا على سفينة فأصاب بعضهم أعلاها وبعضهم أسفلها فكان الذين في أسفلها إذا استقوا من الماء مروا على من فوقهم فقالوا لو أنا خرقنا في نصيبنا خرقا ولم نؤذ من فوقنا فإن يتركوهم وما أرادوا هلكوا جميعا وإن أخذوا على أيديهم نجوا ونجوا جميعا . (صحيح البخاري - ج 8 / ص 399)
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ [الأنفال/25]
3. Hukum Mendirikan Jama’ah yang melakukan aktivitas Dakwah dan Amar Ma’ruf - Nahi Munkar adalah Fardhu Kifayah
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ [آل عمران/104]
4. Hukum asal Bergabung dengan Jama’ah yang melakukan aktivitas Dakwah dan Amar Ma’ruf - Nahi Munkar adalah Mubah, atau Mandub dari sisi bahwa amal secara berjama’ah adalah amal yang dicintai Allah swt. Baik bagi pria maupun wanita.
وعن عرفجة قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : يد الله مع الجماعة والشيطان مع من خالفهم يركض . رواه الطبراني ورجاله ثقات . (مجمع الزوائد - ج 5 / ص 400)
5. Hukum Bergabung dengan Jama’ah diatas bisa menjadi Wajib demi Kesempurnaan Kewajiban Menerapkan Syari’ah Secara Menyeluruh sampai batas yang mencukupi dalam merubah system Demokrasi menjadi system Islam. Berdasarkan kaidah yang mujma’ ‘alaiha:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
Yang disarikan dari ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ [المائدة/6]
dengan tahqiq:
1) sistem demokrasi yang tidak ada di masa nabi saw. sehingga beliau dahulu melakukan tholabun-nushrah dahulu kepada penguasa yatsrib baru rekrutmen oleh Mus'ab bin 'Umair, bukan rekrutmen baru thalabun-nushrah. karena kekuatan demokrasi berada di tangan rakyat bukan di kepala kabilah sebagaimana di masa nabi saw.
2) wanita jahiliyah di masa Nabi saw dinomor-duakan. misal tidak mendapat warisan, dan keputusannya terikat dengan wali atau suaminya.
Sehingga hukum kebolehan wanita bergabung dengan Jama’ah diatas bisa berubah menjadi wajib selama kifayah kuantitas untuk mendirikan khilafah dan menghancurkan demokrasi tidak atau belum tercukupi.
TANBIH: pendapat yang memubahkan dan yang mewajibkan baru berseberangan pada titik ini. mereka yang memubahkan malakukan takhshish dalam bentuk takhshish munfashil. dan ini menurut kami sangat riskan, karena nash-nash yang diajukan munfashilah dan tidak menyinggung dakwah ini, melainkan aktifitas-aktifitas wajib bagi wanita sebagai ibu dan pengatur rumah. benar, tidak ada wanita yang bermulazamah bersama Nabi, karena Islam melarang ikhthilat dan khulwat. namun yang demikian tetap kami pandang sebagai ro'yun islami, menurut kami salah namun ada kemungkinan benar.
6. Kewajiban Wanita adalah sebagai Ibu dan Pengatur Rumah
عن عبد الله بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته ... والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها ... (صحيح البخاري - ج 3 / ص 414)
Namun tidak menggugurkan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti kewajiban shalat dan zakat yang terikat oleh waktu, ataupun kewajiban dakwah dan menuntut ilmu yang tidak terikat oleh waktu. Sebagaimana pula kewajiban laki-laki atas keluarganya:
عن عبد الله بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته الإمام راع ومسئول عن رعيته والرجل راع في أهله وهو مسئول عن رعيته ... (صحيح البخاري - ج 3 / ص 414)
Juga tidak menggugurkan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti kewajiban shalat dan zakat yang terikat oleh waktu, ataupun kewajiban dakwah dan menuntut ilmu yang tidak terikat oleh waktu.
kami mengakui kaidah:
الأصل في الدليل للإعمال
hukum asal dalil syara' adalah al-i'mal (untuk diamalkan)
إعمال الدليلين أولى من إهمال أحدهما أو إهمالهما معا
mengamalkan dua dalil yang memungkinkan dikompromikan lebih utama dari menelantarkan salah satunya atau menelantarkan keduanya secara bersamaan.
maka seluruh tuntunan syara' selama memungkinkan untuk tidak berbenturan menuntut untuk diamalkan.
Hanya saja, perlu penjelasan lebih lanjut di titik ini terkait awlawiyyat (prioritas) yang diambil dan bagaimana apabila terjadi ta’arudh (benturan) antara kewajiban-kewajiban tersebut. Kewajiban wanita sebagai Ibu dan Pengatur Rumah adalah utama, berdasarkan hadits Ibnu Umar diatas dan hadits Abu Hurairah berikut.
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لو كنت آمرا أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها (سنن الترمذى - ج 4 / ص 386)
Sehingga lebih diutamakan dari kewajiban berdakwah dalam jama’ah. Terkait hak-hak suami juga tidak boleh dilanggar, misal perizinan keluar rumah dll. Ketaatan kepada suami harus berada diatas ketaatan kepada Amir Jama’ah.
Artinya, wanita tidak berdakwah secara berjama’ah terlebih dahulu sebelum tugas-tugasnya sebagai Ibu dan Pengatur Rumah selesai, jika terjadi benturan yang tak terhindarkan maka memilih tugas sebagai Ibu dan Pengatur Rumah daripada sebagai Pengemban Dakwah dalam jama’ah.
7. Jama’ah dakwah yang Shahih
Harus berlandaskan Ideologi yang shahih, yaitu Islam. Sehingga terpancar darinya hukum-hukum atau aturan-aturan administratif yang mampu mengakomodasi para anggotanya dalam segala kondisinya sebagai mukallaf. Khususnya untuk wanita, maka secara administratif jama’ah yang shahih akan meletakkan ketaatan kepada suami melebihi ketaatan kepada pimpinan jama’ah itu sendiri, sehingga ketika wanita memilih ketaatan kepada suaminya daripada kepada pimpinan jama’ah tatkala terjadi benturan, tidak menjadikan pelanggaran sekalipun meski demikian si wanita tidak bersalah. Juga tidak memberi taklif yang bisa mengakibatkan ta'thil terhadap kewajiban pokoknya, misal jam kegiatan yang padat. Juga tidak memberi taklif yang keluar dari tabi'atnya sebagai wanita dan membahayakan, misal mendakwahi laki-laki ajnabi dan thalabun-nushrah dll.
8. Kewajiban jihad, menerapkan hudud, qishash/jinayat, dll, tidak bisa diwujudkan tanpa menegakkan khilafah, maka wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menegakkan khilafah.
9. Mengingat penegakan khilafah harus melalui ‘amal jama’i (aktivitas kelompok), berdasarkan naql dan ‘aql.
a. Naql, adalah bagaimana Nabi saw mendirikan Dawlah secara berjama’ah (sirah beliau saat fase Mekah),
b. ‘Aql, adalah mendirikan Dawlah tidak bisa dilakukan secara individu / seorang diri,
Maka, mendirikan khilafah wajib dengan aktivitas berkelompok.
Pada titik ini lah berlaku kaidah (ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب). Yaitu aktivitas berkelompok yang awalnya tidak wajib (mubah) menjadi wajib karena tanpanya suatu kewajiban (yaitu tegaknya khilafah) tidak bisa diwujudkan, yang untuk selanjutnya berbagai kewajiban diatas tidak bisa dilaksanakan. Dan tidak ada cara lain, karena selain secara berkelompok hanya ada satu alternative yaitu secara individu, dan itu tidak mungkin selain juga tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Apakah kewajiban berkelompok ini berlaku bagi wanita?
10. Macam-macam fardhu kifayah yang membutuhkan dawlah diatas ada yang dikhususkan bagi laki-laki saja, seperti kewajiban Jihad Offensive; ada pula yang bersifat umum, seperti menerapkan hudud dan qishash.
a. Jihad dikatakan fardhu kifayah yang khusus untuk laki-laki, karena nash wajibnya jihad yang umum dalam ayat berikut.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ [البقرة/216]
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [التوبة/41]
Telah ditakhshish dengan adanya nash berikut.
عن عائشة أم المؤمنين قالت : يا رسول الله الا نخرج نجاهد معكم قال لا جهادكن الحج المبرور هو لكن جهاد (مسند أحمد بن حنبل - ج 6 / ص 71)
Menjadikan kwajiban tersebut hanya khusus bagi laki-laki saja. artinya, jika semua laki-laki tidak mau berjihad, atau jumlah laki-laki yang berjihad tidak mencapai batas mencukupi untuk melawan musuh, maka wanita tidak memiliki tanggungan atau kewajiban untuk turun tangan, dan tidak mendapatkan dosa jika berdiam diri.
Hal serupa juga berlaku pada kewajiban shalat berjama’ah di masjid, fardhu kifayahnya khusus bagi laki-laki saja, karena ada nash yang menjelaskan shalatnya wanita di rumah lebih afdhal dari shalatnya berjama’ah di masjid. Hanya saja bedanya, shalat berjama’ah batas kifayah nya adalah 2 orang (1 imam dan 1 makmum) sudah menggugurkan kewajiban, serta penyelenggaraannya tidak memerlukan dawlah, tidak seperti batas kifayah dan kaifiyyah penyelenggaraan kewajiban jihad offensive yang membutuhkan imam/khalifah.
b. Hudud dan Qisash adalah fardhu kifayah yang bersifat umum, karena nash-nashnya umum, selama tidak ada nash yang mentakhshish maka nash-nash tersebut tetap dalam keumumannya. misalnya
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [المائدة/38]
عن ابن عباس قال النبي صلى الله عليه وسلم : من بدل دينه فاقتلوه (صحيح البخاري - ج 10 / ص 211)
عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به (سنن الترمذى - ج 5 / ص 376)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ [البقرة/178]
أبا حازم قال قاعدت أبا هريرة خمس سنين فسمعته يحدث عن النبي صلى الله عليه وسلم قال كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وسيكون خلفاء فيكثرون قالوا فما تأمرنا قال فوا ببيعة الأول فالأول أعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم (صحيح البخاري - ج 11 / ص 271)
Dll.
Seruan (فَاقْطَعُوا), (فاقتلوه), (فاقتلوا الفاعل والمفعول به), (كُتِبَ عَلَيْكُمُ), dan (فوا ببيعة الأول فالأول) dalam nash-nash diatas bersifat umum, meliputi laki-laki dan wanita. Sekalipun dalam pelaksanaannya memang mengharuskan keberadaan khalifah dari kaum laki-laki, namun kewajiban mewujudkan khilafah beserta khalifahnya adalah tanggungan seluruh umat islam, tanpa terkecuali wanita. Demikianlah yang dipahami para ‘ulama selama ini, diantaranya Abu Manshur Al-Baghdadi (w. 429 H), dalam Al-Farq Bayna Al-Firaq:
وقالوا في الركن الثانى عشر المضاف الى الخلافة والامامة ان الامامة فرض واجب على الامة لاجل إقامة الامام ينصب لهم القضاة والامناء ويضبط ثغورهم ويغزى جيوشهم ويقسم الفىء بينهم وينتصف لمظلومهم من ظالمهم . (الفرق بين الفرق - ص 340)
Bahwa mendirikan khilafah dalam rangka menyelenggarakan Al-Qadha’ (hudud dan jinayat di dalamnya), adalah kewajiban wanita juga, karena sebutan “Umat Islam” meliputi muslim dan muslimat.
Jadi kewajiban berkelompok tersebut juga berlaku bagi wanita, karena khithob untuk nash-nash diatas bersifat umum, dimana dalam pemenuhannya memerlukan dawlah, dan metode mendirikan dawlah adalah dengan aktivitas berkelompok, maka wajib juga bagi wanita untuk berkelompok.
Jika mengakui bahwa wanita termasuk dalam fardhu kifayah tersebut, tapi tidak wajib masuk kelompok. Pemahaman semacam ini adalah pemahaman yang benar dari sisi fikrah (konseptual), namun belum tepat dari sisi thoriqoh (metode). Rasulullah mencontohkan metode pendirian dawlah adalah dengan aktivitas berkelompok dan dari surat Ali ‘Imran 104 disimpulkan bahwa hukum asal kebergabungan wanita dalam kelompok adalah mubah sebagaimana laki-laki, maka tidak menutup kemungkinan kebergabungan wanita dalam kelompok yang awalnya mubah (baik berdasarkan fase Mekah maupun Ali ‘Imran 104) tersebut, bisa menjadi wajib untuk sementara ini dalam rangka menerapkan fardhu kifayah yang ada, dan kembali mubah setelah tegaknya Dawlah.
11. Mempertajam pemahaman fardhu kifayah terkait masalah ini
فرض كفاية : وهو الذي إذا قام به من يكفي سقط عن الباقين (معجم لغة الفقهاء - ج 1 / ص 412)
“yaitu kewajiban yang jika telah dilaksanakan oleh siapa-siapa yang mencapai batas kifayah (batas yang mencukupi bagi terlaksananya kewajiban tersebut), maka tanggungan kewajiban itu gugur dari muslim lainnya.”
Menyangkut fardhu kifayah yang sifatnya khusus (bagi laki-laki saja)
jika kewajiban tersebut tidak terwujud atau belum terwujud dengan sempurna, maka kaum wanita tidak wajib untuk turut memperjuangkannya dan mereka tidak berdosa jika berdiam diri.
Menyangkut fardhu kifayah yang sifatnya umum
jika kewajiban tersebut tidak terwujud atau belum terwujud secara sempurna oleh perjuangan sebagian muslim yang sadar, maka wanita tetap ikut menanggung kewajiban tersebut dan berdosa jika berdiam diri.
a. Jika dalam pelaksanaan kewajiban tersebut mengharuskan adanya laki-laki, seperti kewajiban hudud dan jinayat yang mengharuskan adanya khalifah dari kalangan laki-laki maka perjuangan mewujudkannya tetap wajib bagi wanita sebagaimana juga wajib bagi laki-laki, namun jika tidak ada dari kaum laki-laki yang mau menjadi khalifah maka dosa bagi kaum laki-laki, dan telah gugur dosa bagi siapa-siapa wanita yang telah memperjuangkannya.
b. Jika dalam pelaksanaan kewajiban tersebut tidak tergantung pada keberadaan laki-laki, maka wajib bagi kaum wanita melaksanakannya sekalipun tidak ada laki-laki. Misalnya dalam shalat jenazah, tidak ada perbedaan didalamnya. Imam An-Nawawi mengatakan:
إذا لم يحضره الا النساء فانه يجب عليهن الصلاة عليه بلا خلاف ويسقط الفرض بفعلهن حينئذ بلا خلاف (المجموع شرح المهذب - ج 5 / ص 213)
“jika tidak ada yang hadir (di sisi jenazah) kecuali kaum wanita, maka wajib bagi mereka untuk mensholatinya tanpa ada perbedaan dalam hal ini, dan dengan shalat tersebut fardhu kifayah (shalat jenazah) gugur tanpa ada perbedaan pendapat dalam hal ini.”
12. Landasan bahwa metode mendirikan Dawlah dengan aktivitas berkelompok adalah sunnah fi’liyyah Nabi saw pada fase Mekah, sedangkan landasan wajibnya bergabung dengan kelompok adalah Ali ‘Imron 104 disertai tuntutan berbagai fardhu kifayah yang pelaksanaannya membutuhkan dawlah.
Tidak bisa dikatakan bahwa wanita saat ini tidak wajib bergabung dengan kelompok dikarenakan wanita di masa Nabi saw (tepatnya saat periode Mekah) tidak ada yang bergabung ke dalam kelompok bersama Rasulullah saw dan para sahabat beliau, tidak bisa dikatakan demikian tidak lain karena:
Bagi kita saat ini syari’at berkelompok hukum asalnya adalah mubah, dia menjadi wajib semata-mata karena menjadi satu-satunya wasilah mencapai penerapan perkara-perkara fardhu kifayah yang membutuhkan dawlah seperti hudud dan jinayat. Sementara kewajiban hudud dan jinayat adalah ajaran yang baru disyari’atkan oleh Allah swt atas kaum muslimin saat fase Madinah (pasca Hijrah), maka bisa dipahami bahwa hukum bergabung dengan kelompok di fase Mekah adalah mubah, tetap pada hukum asalnya karena tidak ada perintah langsung untuk bergabung ke dalam kelompok, dan saat itu juga belum ada syari’at-syari’at yang sifatnya fardhu kifayah yang mengharuskan para sahabat bergabung hingga tegaknya Dawlah.
Sebagai bukti, kami ajukan beberapa nash:
a. Sebab turunnya ayat An-Nahl [16]: 110. Imam ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya menyatakan:
أن هذه الآية نزلت في قوم من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم كانوا تخلَّفوا بمكة بعد هجرة النبيّ صلى الله عليه وسلم ، فاشتدّ المشركون عليهم حتى فتنوهم عن دينهم ، فأيسوا من التوبة ، فأنزل الله فيهم هذه الآية : فهاجروا ولحقوا برسول الله صلى الله عليه وسلم. (تفسير الطبري – ج 17 / ص 306)
Sahabat Nabi saw yang dikisahkan di ayat ini adalah kaum muslimin yang tidak menyertai kelompok Rasulullah saw, mereka tetap dalam persembunyiannya, atau lebih tepatnya menyembunyikan identitas keislamannya di antara kaum Quraisy. Akan tetapi keadaan “menyembunyikan identitas” itu tidak bisa berlangsung seterusnya, karena setelah tegaknya Dawlah di Madinah mereka diharuskan berhijrah yang akhirnya berbuntut pembantaian oleh orang-orang Quraisy atas mereka, ada yang terbunuh ada yang selamat.
b. Riwayat Imam Muslim dari Abu Umamah.
عن أبى أمامة قال قال عمرو بن عبسة السلمى كنت وأنا فى الجاهلية أظن أن الناس على ضلالة وأنهم ليسوا على شىء وهم يعبدون الأوثان فسمعت برجل بمكة يخبر أخبارا فقعدت على راحلتى فقدمت عليه فإذا رسول الله -صلى الله عليه وسلم- مستخفيا جرءاء عليه قومه فتلطفت حتى دخلت عليه بمكة فقلت له ما أنت قال « أنا نبى » . فقلت وما نبى قال « أرسلنى الله » . فقلت وبأى شىء أرسلك قال « أرسلنى بصلة الأرحام وكسر الأوثان وأن يوحد الله لا يشرك به شىء » . قلت له فمن معك على هذا قال « حر وعبد » . قال ومعه يومئذ أبو بكر وبلال ممن آمن به . فقلت إنى متبعك . قال « إنك لا تستطيع ذلك يومك هذا ألا ترى حالى وحال الناس ولكن ارجع إلى أهلك فإذا سمعت بى قد ظهرت فأتنى ». قال فذهبت إلى أهلى وقدم رسول الله -صلى الله عليه وسلم- المدينة وكنت فى أهلى فجعلت أتخبر الأخبار وأسأل الناس حين قدم المدينة حتى قدم على نفر من أهل يثرب من أهل المدينة فقلت ما فعل هذا الرجل الذى قدم المدينة فقالوا الناس إليه سراع وقد أراد قومه قتله فلم يستطيعوا ذلك . فقدمت المدينة فدخلت عليه فقلت يا رسول الله أتعرفنى قال « نعم أنت الذى لقيتنى بمكة » . قال فقلت بلى . فقلت يا نبى الله أخبرنى عما علمك الله وأجهله .
Dari Abu Umamah berkata, Amru bin ‘Abasah As-Sulamiy berkata: Di masa jahiliyyah dulu aku mengira bahwa seluruh manusia berada dalam kesesatan, dan tidak berada diatas (agama) apa pun, mereka menyembah berhala-berhala. Kemudian aku mendengar ada seorang laki-laki di Mekah memberitakan berita-berita, maka aku segera duduk di atas tungganganku dan mendatanginya, aku menjumpai Rasulullah saw bersembunyi dari (kejaran) para jagoan diantara kaumnya, kemudian aku berlaku ramah dan menemuinya di Mekah, aku katakan kepadanya: apakah engkau ini? Beliau berkata: “Saya seorang Nabi”, aku berkata: Apakah nabi itu? Beliau menjawab: “Allah telah mengutusku”, aku katakan: dengan apa Dia mengutusmu? Beilau menjawab: “Dia mengutuku dengan (perintah) silaturrahim, menghancurkan berhala-berhala, agar Allah diesakan dan tidak disekutukan dengan suatu apapun”, aku bertanya: siapa yang menyertaimu (pengikutmu)? Beliau menjawab: “orang merdeka dan hamba sahaya”. Diantara mereka yang beriman yang menyertai beliau di hari itu adalah Abu Bakar (dari kalangan merdeka) dan Bilal (dari kalangan budak). Kamudian aku berkata: aku sekarang menjadi pengikutmu (menyertaimu), beliau berkata: “kamu tidak bisa melakukan itu hari ini, tidakkah kamu lihat keadaanku dan keadaan orang-orang, tapi pulanglah kepada keluargamu, jika kamu telah mendengar bahwa aku sudah menang maka datanglah kepadaku”, kemudian aku pergi menuju keluargaku, dan saat Rasulullah (hijrah) mendatangi Madinah aku masih bersama keluargaku, lalu aku mencari berita-berita, bertanya kepada orang-orang yang datang ke Madinah hingga datang kepadaku sejumlah penduduk madinah, aku berkata: apa yang dilakukan oleh orang yang datang ke Madinah ini (muhammad)?, mereka menjawab: orang-orang segera menyambut beliau, sungguh kaumnya hendak membunuhnya namun tidak bisa. Maka aku datang ke Madinah kemudian menemuinya, lalu aku berkata: wahai Rasulullah, apakah engkau mengenaliku?, beliau menjawab: “Iya, kamu adalah yang pernah menemuiku di Mekah”, aku berkata: ya benar, wahai rasulullah beritahu aku tentang apa yang diajarkan oleh Allah kepadamu sedangkan aku belum tahu. … (HR. Muslim dari Abu Umamah)
Riwayat ini membuktikan tidak wajibnya berkelompok saat fase Mekah, ditunjukkan oleh ditolaknya keingingan Amr bin ‘Abasah untuk bergabung oleh Nabi saw. peristiwa ini setidaknya menggambarkan dua hal:
1) Belum adanya syari’at yang mewajibkan Amr bin ‘Abasah untuk bergabung. Adapun minat beliau untuk bergabung saat itu sebatas minat saja, bukan perintah dari syara’, bukan pula tuntutan menjadikan kelompok sebagai wasilah dalam menunaikan kewajiban-kewaiban lainnya.
2) Jika memang bergabung dengan kelompok saat itu adalah fardhu kifayah maka tidak mungkin Nabi saw menolaknya, karena Dawlah kala itu belum tegak (bisa dilihat dari kondisi yang digambarkan Rasulullah saw), sementarafardhu kifayah hanya akan gugur jika pelaksananya sudah mencapai batas kifayah. Batas kifayah dalam menegakkan dawlah ditandai dengan tegak nya dawlah dan terangkatnya seorang kepala negara, dan kewajiban baru gugur setelah tegaknya Dawlah tersebut.
Nash ini juga tidak menandakan kekhususan bagi Amr bin ‘Abasah ra, karena di nash nomor 1 (satu) diatas telah jelas menunjukkan adanya sebagian muslim di Mekah yang juga tidak turut serta dalam kelompok Nabi saw.
Fakta ini juga ditegaskan oleh Syaikh Taqyuddin dalam kitab beliau, Dawlah Islamiyyah:
فصدع -صلى الله عليه وسلم- بأمرالله ، وأظهر أمر التكتل علنا للناس جميعا ، وان كان قد بقي بعض المسلمين مستخفين ، ومنهم من بقي مستخفيا حتى فتح مكه
“kemudian Rasulullah saw berdakwah secara terang-terangan atas perintah Allah swt, dan menunjukkan keberadaan kelompok tersebut secara terang-terangan pula kepada seluruh manusia, meski sebagian kaum muslimin ada yang masih bersembunyi, dan (bahakan) diantara mereka ada yang tetap dalam persembunyiannya sampai terjadi peristiwa pembebasan kota Mekah.” (An-Nabhani, Ad-Dawlah Al-Islamiyyah, hlm 9)
Jadi, landasan kewajiban bergabung dengan kelompok dalam bahasan ini adalah Ali ‘Imran 104 serta tuntutan berbagai macam fardhu kifayah yang penerapannya memerlukan Dawlah (yang semuanya itu turun dan disyari’atkan di Madinah), bukan fakta ketergabungan sahabat ke dalam kelompok Nabi saw pada fase Mekah (yang belum mendapatkan semua kewajiban yang membutuhkan dawlah tersebut). Untuk selanjutnya, tidak bisa menggunakan fakta ketidak bergabungan shahabiyah ke dalam kelompok pada fase Mekah untuk mengatakan bahwa wanita saat ini tidak wajib berkelompok, sebagaimana tidak bisa menggunakan fakta shahabat yang tidak bergabung ke dalam kelompok para fase Mekah untuk mengatakan bahwa laki-laki saat ini tidak wajib berkelompok.