Voa-Khilafah.co.cc - Tanpa sadar, seringkali keberpihakan kita terhadap suatu pemikiran atau ide disandarkan kepada konsistensi pengikut ide itu dalam berpegang teguh kepada ide-idenya. Kita seringkali mencemooh suatu ide atau pemikiran, ketika kita melihat para pengembannya sudah tidak lagi konsisten (inkonsistensi) terhadap ide atau pemikiran tersebut. Bahkan, seringkali kita malah antipati terhadap suatu ide, ketika pengikut atau pengusung idenya tidak lagi konsisten memegang ide tersebut, atau ketika mereka kesulitan mengimplementasikan ide-idenya di ruang realitas; padahal ide itulah yang benar sesuai dengan syari’at.
Contohnya, ide Khilafah Islamiyyah. Banyak orang menolak ide khilafah, atau mencemooh ide ini, atau tidak mau memperjuangkannya, ketika para pengikutnya sudah tidak lagi konsisten, atau karena mereka sudah berbelok tidak lagi memperjuangkan ide tersebut karena adanya tekanan dan kesulitan; atau karena ide ini dianggap sulit untuk diperjuangkan dan diimplementasikan; atau kurang marketable. Sebaliknya, banyak orang berbondong-bondong memperjuangkan ide sesat ala demokrasi, dengan alasan ide ini lebih mudah diterapkan, atau karena banyak orang dan kelompok yang memperjuangkannya. Akhirnya, tanpa pikir panjang banyak kaum Muslim terperangkap dengan cara berfikir yang keliru dan menyesatkan ini. Semestinya, keberpihakan kita terhadap suatu ide tidak boleh diukur berdasarkan banyak tidaknya pengikutnya, atau mudah tidaknya ide itu diterapkan dan diterima masyarakat, namun; harus tetap diukur berdasarkan asumsi, “apakah ide atau pemikiran tersebut sejalan dengan al-Qur’an dan as-sunnah atau tidak?”
Memperjuangkan khilafah dan syari’ah Islam adalah jargon yang sudah benar, dan bahkan inilah yang harus diperjuangkan dan dislogankan oleh setiap kaum Muslim, lebih-lebih lagi partai-partai Islam. Sesulit apapun tantangannya, dan sebesar apapun hambatannya, ide ini tetap harus dijadikan konsens utama oleh kaum Muslim dan gerakan Islam. Begitu pula mengenai “thariqah atau manhaj” yang digunakan untuk memperjuangkan ide ini, harus bersandar kepada “thariqah atau manhaj” Rasulullah Saw; dan hal ini sudah menjadi keharusan bagi setiap gerakan Islam.
Sebenarnya, masalah keikutsertaan kaum Muslim dalam aktivitas pemilu dan parlemen sudah jelas hukumnya; yakni hukum asalnya mubah selama di dalamnya tidak ada syarat-syarat yang melanggar aqidah dan syari’at Islam. Selama syarat-syarat pemilu dan keikutsertaan kaum Muslim di dalam parlemen tidak melanggar aqidah dan syari’at Islam, maka seorang Muslim diperkenankan ikut serta di dalamnya. Namun, jika syarat-syaratnya jelas-jelas melanggar syari’at, maka seorang Muslim dilarang berkecimpung di dalamnya. Untuk itu, kita tinggal melihat syarat-syarat yang ada di dalamnya; apakah ada yang bertentangan dengan syari’at atau tidak. Jika ada maka kita tidak boleh melanggarnya.
Sesungguhnya, haramnya memberikan loyalitas kepada sistem kufur merupakan perkara pasti yang tidak boleh diperselisihkan oleh kaum Muslim. Nash-nash qath’i telah melarang kaum Muslim memberikan loyalitasnya kepada kaum kafir, maupun paham dan sistem-sistem kufur mereka. Sesungguhnya, seorang Muslim yang memberikan loyalitas dan menyakini nasionalisme, sekulerisme, kapitalisme, dan demokrasi (dalam pengertian hakiki) jelas-jelas telah keluar dari Islam (murtad). Pasalnya, paham nasionalisme, sekulerisme, kapitalisme, dan demokrasi adalah paham kufur yang bertentangan dengan Islam. Sedangkan hukum menerapkan dan menjalankan sistem-sistem yang lahir dari paham tersebut adalah haram. Adapun kecintaan seorang Muslim terhadap bangsa, negara, dan kampung halamannya, bukanlah sesuatu yang diharamkan di dalam Islam; dan juga tidak termasuk ‘ashabiyyah yang dilarang. Ini didasarkan sebuah riwayat bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah! Adakah daripada ‘ashabiyyah seseorang cinta akan kaumnya?” Sabda Beliau, “Tidak! Tetapi setengah daripada ‘ashabiyyah adalah seseorang menolong kaumnya atas kedzaliman.” [HR. Ahmad dan Ibn Majah]. Dari Watsilah bin Asqa’, ia berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah Saw, “Apa yang dikatakan ‘ashabiyyah?” Sabdanya, “Bahwa engkau menolong kaummu dalam kedzaliman.” [HR. Abu Dawud]. Namun, memberikan loyalitas kepada penguasa yang menerapkan hukum kufur, beserta keyakinan dan sistem kufurnya jelas-jelas tindakan haram, bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam.
Adapun mengenai kasus-kasus semacam membuka rekening bank di bank konvensional, menjadi pegawai negeri, atau membuat KTP; sesungguhnya masalah-masalah seperti ini adalah masalah kasuistik yang harus diselesaikan secara kasuistik pula. Kita tidak boleh menggeneralisir sebuah hukum untuk berbagai macam kasus yang memiliki fakta yang berbeda. Satu hukum berlaku untuk satu kasus, dan hukum itu tidak berlaku pada kasus lain yang memiliki fakta yang berbeda. Hukum atas pembuatan KTP tidak boleh diberlakukan pada kasus membuat rekening bank, atau menjadi pegawai negeri. Masing-masing kasus itu harus diselesaikan secara terpisah dan tidak boleh dianalogkan satu dengan yang lain hanya karena ada kemiripan parsial. Jika anda sudah memahami hal ini, maka, marilah kita kupas satu persatu kasus membuat rekening di bank konvensional, KTP, dan menjadi pegawai negeri.
1. Hukum Membuat KTP
Sesungguhnya, menjadi warga negara Indonesia, bukanlah sesuatu yang dilarang. Sama seperti halnya, kita tidak dilarang mencintai negara dan bangsa Indonesia. Yang tidak boleh adalah menyakini, mencintai, melibatkan diri, atau menerapkan keyakinan dan sistem kufur yang ada di Indonesia. Setahu saya, tidak ada syarat-syarat yang bertentangan dengan syari’at ketika kita hendak membuat KTP. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak berdosa ketika ia membuat KTP. Lebih-lebih lagi, KTP merupakan sarana administratif yang sangat penting dan dibutuhkan oleh seorang Muslim dalam melakukan urusan-urusan kemasyarakatan. Sehingga, akan sangat menyulitkan dirinya jika ia tidak memiliki KTP. Bahkan, ia bisa dijebloskan ke dalam penjara bila tertangkap tidak memiliki KTP.
2. Hukum Menjadi PNS di Pemerintahan Kufur
Hal ini perlu dirinci lebih lanjut. Pasalnya, tidak semua jabatan PNS memiliki hukum yang sama. Ada PNS yang lingkup kerjanya membuat kebijakan-kebijakan, ada pula yang bertugas melaksanakan suatu kebijakan; ada pula yang hanya melakukan tugas-tugas administratif. Fakta pekerjaannya akan menentukan pula status hukum atas PNS tersebut. Pada dasarnya, PNS (pegawai negeri sipil) termasuk dalam lingkup pembahasan ijarah (bekerja). Islam membolehkan seorang Muslim mengontrak seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan; maupun dikontrak untuk melakukan suatu pekerjaan selama pekerjaan tersebut tidak melanggar syari’at. Seseorang sah mendapatkan kompensasi atas pekerjaan yang ia lakukan, jika ia telah menunaikan dan menyelesaikan pekerjaannya. Sebab, ijarah (bekerja) adalah ‘aqd ‘ala manfa’at baina al-âjir wa al-musta’jir bi ‘iwadl (aqad atas suatu manfaat antara pekerja dan orang yang mempekerjakannya dengan disertai sejumlah kompensasi). Seorang Muslim yang menjadi PNS, sesungguhnya ia sedang dikontrak oleh pemerintah untuk melakukan sejumlah pekerjaan. Dosen, misalnya, ia dikontrak oleh pemerintah untuk mengajar mahasiswa di perguruan tinggi, sesuai dengan bidang dan kompetensinya. Di dalam sistem pemerintahan demokrasi, bupati dan camat, adalah pegawai yang dipilih rakyat untuk memimpin kabupaten dan kecamatan, dan memerintah kecamatan dan kabupatennya berdasarnya hukum-hukum kufur. Seorang hakim, adalah pegawai yang dikontrak oleh pemerintah untuk menyelesaikan persengketaan di tengah-tengah masyarakat berdasarkan hukum-hukum kufur. Polisi dan tentara dikontrak untuk menjaga negara, aparat negara, maupun sistem kufur yang diberlakukan di negara ini. Fakta-fakta semacam ini tentunya memiliki hukum yang berbeda, alias tidak sama.
Seorang Muslim yang dikontrak oleh pemerintah untuk bekerja pada hal-hal yang mubah, semacam mengajar mahasiswa di perguruan tinggi negeri tidaklah berdosa jika ia menerima kontrak tersebut dan mendapatkan imbalannya. Sebab, aqad ijarah antara dirinya dengan pemerintah telah sah, dan pekerjaannya termasuk pekerjaan halal –selama ia mengajarkan mata kuliah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syari’at Islam. Jika ia dikontrak untuk mengajar mata kuliah yang bertentangan dengan aqidah dan syari’at Islam, maka ia tidak boleh menandatangani kontrak tersebut. Pasalnya, kontrak tersebut bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam. Namun, jika sejak awal ia berani menyampaikan kepada team screaning pegawai negeri, bahwa jika ia akan mengkritisi mata kuliah yang tidak Islami itu dengan Islam, kemudian team screaning tidak mempersoalkan masalah tersebut, maka ia sah menjadi PNS untuk mata kuliah tersebut. Namun, ketika ia menyampaikan perkuliahan, wajib mengkritisi dan mengungkap kesalahan mata kuliah tersebut dengan Islam.
Adapun jika pemerintah memberikan sejumlah syarat kepada seseorang sebelum ia masuk menjadi PNS, misalnya, syarat pemberian loyalitas kepada sistem kufur maupun syarat-syarat lain yang bertentangan dengan syari’at, maka sejak awal ia harus berani menyampaikan bahwa ia tidak menerima syarat itu, atau mengusulkan agar syarat-syarat itu diubah. Jika, usulnya diterima, maka sahlah aqad ijarah dia dengan pemerintah. Namun, jika pemerintah sebagai pihak yang mengontrak bersikukuh dengan syarat itu, dan dia tidak mau mengubah syarat-syarat tersebut, maka, seorang Muslim dilarang menandatangani aqad kerja tersebut. Sama seperti jika anda hendak bekerja di dalam sebuah perusahaan, kemudian, perusahaan itu mensyaratkan anda untuk berbohong kepada publik, maka anda tidak boleh bekerja di perusahaan tersebut, hingga perusahaan tersebut mengubah syarat-syaratnya.
Namun, jika seorang Muslim dikontrak untuk membuat policy atau melaksanakan kebijakan yang bertentangan dengan syari’at Islam, maka ia tidak boleh menerima pekerjaan tersebut, atau menduduki jabatan tersebut. Misalnya, menjadi mentri, presiden, gubernur, bupati, atau pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan urusan kekuasaan maupun pembuatan keputusan-keputusan yang bertentangan dengan aqidah dan syari’at Islam. Demikianlah, anda sudah kami jelaskan secara jernih dan mendalam hukum menjalin aqad ijarah dengan pemerintahan kufur.
3. Hukum Mengurus Paspor untuk Haji dan lain sebagainya
Sebenarnya hal ini juga tidak berkaitan dengan penerimaan seorang Muslim terhadap syarat-syarat kufur. Pasalnya, fakta kepengurusan paspor tidak mensyaratkan adanya pemberian loyalitas kepada sistem dan pemerintahan kufur. Syarat-syarat kepengurusan paspor biasanya hanya berkaitan dengan syarat-syarat yang bersifat administratif belaka. Di dalamnya tidak ada syarat, harus memberikan loyalitas kepada sistem dan pemerintahan kufur. Oleh karena itu, sah-sah saja seorang Muslim mengurus paspor, atau KTP. Adapun pernyataan bahwa setiap warga negara harus memberikan loyalitas dan mentaati setiap perundang-undangan negara, maka syarat ini tidak dilekatkan pada pembuatan KTP maupun paspor, atas dasar itu, kepengurusan KTP dan paspor tidaklah bertentangan dengan aqidah dan syari’at Islam.
4. Membuat Rekening di Bank Konvensional
Sesungguhnya, kasus hukumnya sama dengan pembuatan KTP. Selama, di dalamnya tidak ada syarat-syarat yang bertentangan dengan Islam maka sahlah membuat rekening di bank. Adapun ketika bank dengan secara sepihak menambahkan bunga ke dalam rekening bank kita, maka bunga itu tidak boleh diambil, sebab riba bertentangan dengan Islam.
Sesungguhnya perjuangan menegakkan syari’ah dan khilafah adalah perjuangan seluruh kaum Muslim. Seorang Muslim tidak boleh merasa ragu, enggan, ogah-ogahan memperjuangkan syari’ah dan khilafah, seraya malah memperjuangkan demokrasi kufur nan sesat yang terbukti telah menghancurkan umat Islam. Fakta juga menunjukkan, bahwa masuknya kaum Muslim di pemerintahan kufur dan parlemen kufur itu, tidak memberikan kontribusi perbaikan yang signifikan, bahkan masyarakat semakin menderita akibat kebijakan-kebijakan yang mereka telorkan. Wallahu A’lam bi ash-Showab
(Hayatulislam)