TRAGEDI PALESTINA: MASALAH AKIDAH, BUKAN SEKADAR MASALAH KEMANUSIAAN

“It’s not about jews nor muslim nor christian. It’s about humanity (Ini bukan masalah Yahudi, Muslim atau Kristen. Ini masalah kemanusiaan).” Itulah di antara kalimat yang diusung oleh salah satu organisasi mahasiswa Islam saat berdemo menyikapi tragedi paling mutakhir di Palestina.

Pernyataan tersebut boleh jadi mewakili sebagian kaum Muslim saat ini dalam menyikapi penyerangan pasukan Israel terhadap para relawan di Kapal Marvi Marmara–satu dari 6 kapal Armada Kebebasan (Freedom Flotilla)–yang menewaskan puluhan relawan pada hari Senin (31/5).

Memang, dengan hanya melihat tragedi mutakhir ini, siapapun akan menilai bahwa ini masalah kemanusiaan. Alasannya, Israel menyerang para relawan dari berbagai negara dan lintas agama. Korban serangan Israel pun tak hanya Muslim, tetapi juga non-Muslim.

Namun, ini tentu bukan satu-satunya alasan. Pasalnya, setiap kali Tragedi Palestina berulang, termasuk pembantaian besar-besaran oleh institusi Yahudi sekitar dua tahun lalu yang menewaskan ribuan Muslim Palestina, hal yang sama juga mengemuka. Intinya, semua itu tidak terkait dengan masalah agama (baca: Islam), tetapi semata-mata masalah kemanusiaan. Dengan demikian, ada faktor lain mengapa sebagian kaum Muslim memandang Tragedi Palestina semata-mata sebagai masalah kemanusiaan. Salah satunya, karena kesadaran politik umat Islam yang lemah. Akibatnya, mereka tidak sadar, bahwa Barat imperialis selalu berusaha menggeser isu Palestina semata-mata sebagai masalah kemanusiaan, bukan masalah agama. Pasalnya, musuh-musuh Islam itu amat paham, sekali kaum Muslim mengaitkan isu Palestina dengan masalah agama (Islam), mereka akan dengan mudah menyuarakan jihad (perang) melawan institusi Yahudi penjajah Palestina itu. Inilah yang tentu amat ditakuti institusi Yahudi dan ‘induk semangnya,’ yakni Barat imperialis.

Akar Masalah Palestina

Bagi kaum Muslim, akar persoalan Palestina (sejak Yahudi menjajah Palestina tahun 1948 hingga hari ini) sesungguhnya bersinggungan paling tidak dengan tiga aspek: (1) akidah/syariah Islam; (2) sejarah; (3) politik.

1. Aspek akidah/syariah.

Dalam pandangan Islam, Tanah Palestina (Syam) adalah tanah milik kaum Muslim. Di tanah ini berdiri al-Quds, yang merupakan lambang kebesaran umat ini, dan ia menempati posisi yang sangat mulia di mata kaum Muslim. Ada beberapa keutamaan dan sejarah penting yang dimiliki al-Quds. Pertama: tanah wahyu dan kenabian. Rasulullah saw. bersabda, “Para malaikat membentangkan sayapnya di atas Syam dan para nabi telah membangun Baitul Maqdis (Al-Quds).” Ibnu Abbas menambahkan bahwa Rasulullah saw. juga bersabda, “Para nabi tinggal di Syam dan tidak ada sejengkal pun kota Baitul Maqdis kecuali seorang nabi atau malaikat pernah berdoa atau berdiri di sana.” (HR at-Tirmidzi).

Kedua: Tanah kiblat pertama. Arah kiblat pertama bagi Nabi Muhammad saw. dan kaum Muslim setelah hijrah ke Madinah adalah Baitul Maqdis (al-Quds) sampai Allah SWT menurunkan wahyu untuk mengubah kiblat ke arah Ka’bah (QS al-Baqarah [2]: 144).

Ketiga: Masjid al-Aqsha adalah tempat suci ketiga bagi umat Islam dan satu dari tiga masjid yang direkomendasikan Nabi saw. untuk dikunjungi. Beliau bersabda, “Tidaklah diadakan perjalanan dengan sengaja kecuali ke tiga masjid: Masjidku ini (Masjid Nabawi di Madinah), Masjidil Haram (di Makkah), dan Masjid Al-Aqsha.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah saw. pun bersabda, “Sekali shalat di Masjidil Haram sama dengan 100.000 shalat. Sekali shalat di Masjidku (di Madinah) sama dengan 1000 shalat. Sekali shalat di Masjid al-Aqhsa sama dengan 500 shalat.” (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar).

Kelima: tanah ibukota Khilafah. Yunus bin Maisarah bin Halbas bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, “Perkara ini (Khilafah) akan ada sesudahku di Madinah, lalu di Syam, lalu di Jazirah, lalu di Irak, lalu di Madinah, lalu di al-Quds (Baitul Maqdis). Jika Khilafah ada di al-Quds, pusat negerinya akan ada di sana dan siapa pun yang memaksa ibukotanya keluar dari sana (al-Quds), Khilafah tak akan kembali ke sana selamanya.” (HR Ibn Asakir).

2. Aspek Sejarah.

Tercatat bahwa Syam (Palestina adalah bagian di dalamnya) pernah dikuasai Romawi selama tujuh abad (64 SM-637 M). Namun, berita akan jatuhnya Syam dari imperium Romawi ke tangan kaum Muslim muncul kala Rasulullah saw. menghancurkan sebuah batu ketika penggalian parit di Madinah dalam rangka menghadapi kaum musyrik dari Makkah. Ketika itu Rasulullah saw. berkata, “Allah Mahabesar. Sungguh telah diberikan kunci Syam kepadaku.”

Cita-cita agung untuk merebut Syam dari imperium Romawi terus digelorakan oleh Rasulullah saw. kepada para Sahabat, di antaranya kepada Muadz pada suatu hari. Beliau bersabda, “Muadz! Allah Yang Mahakuasa akan membuat kalian sanggup menaklukkan Syam, setelah kematianku…”

Tepat pada tahun ke-8 H sebanyak tiga ribu pasukan yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah bergerak menuju Balqa’, salah satu wilayah Syam. Di sana sudah menanti bala tentara Romawi yang berjumlah dua ratus ribu di bawah pimpinan Herqel, seorang kaisar Romawi. Sampailah detik-detik yang menegangkan: tiga ribu pasukan kaum Muslim berhadapan dengan kekuatan besar berjumlah dua ratus ribu pasukan. Saat itu, sebagian Sahabat berharap agar Rasul saw. mengirim tentara tambahan. Namun, seorang sahabat bernama Abdullah bin Rawahah memberikan semangat kepada seluruh pasukan sembari berkata, “Wahai kaum Muslim, demi Allah…bersaksilah bahwa kita tidak berperang karena banyaknya pasukan. Kita tidak berperang melawan mereka kecuali atas nama Islam yang Allah telah memuliakan kita karena Islam. Berangkatlah, berjihadlah! Sesungguhnya hanya ada satu pilihan bagi kita, menang atau syahid!”

Saat pasukan kaum Muslim mendengar seruan ini, mereka segera bangkit melawan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya walau dengan jumlah yang tidak seimbang. Dalam pertempuran itu, panglima perang kaum Muslim, Zaid bin Haritsah syahid, dan diganti oleh panglima kedua, Ja’far bin Abi Thalib. Ja’far pun syahid, lalu tonggak kepemimpinan diserahkan kepada panglima Islam yang ketiga, Abdullah bin Rawahah. Beliau pun syahid. Akhirnya, pasukan Islam dipimpin Khalid bin Walid.

Perjuangan panjang dan melelahkan kaum Muslim itu baru menuai hasil pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. (638 M).

Namun sayang, setelah dikuasai kaum Muslim sekian abad hingga masa Kekhilafahan Abbasiyah, tanggal 25 November 1095, Paulus Urbanus II menyerukan Perang Salib dan tahun 1099 pasukan Salib menaklukkan al-Quds. Mereka membantai sekitar 30.000 warga al-Quds dengan sadis tanpa pandang bulu (wanita, anak-anak dan orang tua).

Namun, alhamdulillah, pada tahun 1187, Salahuddin al-Ayyubi sebagai komandan pasukan Muslim berhasil membebaskan kembali al-Quds dari pasukan Salib yang telah diduduki selama sekitar 87 tahun (1099–1187).

3. Aspek politik.

Aspek politik dari isu Palestina ini tidak bisa dilepaskan dari zionisme dan imperialisme Barat. Zionisme adalah gerakan orang-orang Yahudi untuk mendirikan negara khusus bagi komunitas mereka di Palestina. Theodore Hertzl merupakan tokoh kunci yang mencetuskan ide pembentukan negara tersebut. Ia menyusun doktrin Zionismenya dalam bukunya berjudul Der Judenstaad’ (The Jewish State). Secara nyata, gerakan ini didukung oleh tokoh-tokoh Yahudi yang hadir dalam kongres pertama Yahudi Internasional di Basel (Swiss) tahun 1895. Kongres tersebut dihadiri oleh sekitar 300 orang, mewakili 50 organisasi zionis yang terpencar di seluruh dunia.

Sebagai gerakan politik, zionisme tentu membutuhkan kendaraan politik. Zionisme lalu menjadikan Kapitalisme–yang berjaya dengan imperialismenya–sebagai kendaraan politiknya. Zionisme ternyata berhasil menuai berbagai keuntungan politis berkat dukungan imperialisme Barat sejak dimulainya imperialisme (penjajahan) tersebut hingga saat ini.

Karena kesadaran pengikut zionis akan pentingnya bersandar kepada pihak luar, maka mereka bergabung dengan sentral kekuatan imperialisme yang mampu untuk menjamin perlindungan dan keamanan terhadap mereka. Untuk itu, zionis Yahudi memindahkan kegiatan dan markas mereka ke Amerika, agar terus mendapat jaminan perlindungan dan keamanan Amerika.

Zionis dan Imperialis=Teroris!

Eratnya hubungan zionisme dengan imperialisme AS dapat dilihat dari beberapa fakta berikut. Semasa masih menjadi presiden, Bill Clinton (14/8/2000), misalnya, pernah berkata, “Kami harus menjalin hubungan erat dengan Israel, sebagaimana telah saya lakukan sepanjang kekuasaan saya sebagai presiden dan sepanjang 52 tahun lampau.”

Pada awal-awal kekuasaannya sebagai presiden AS, George W. Bush, ketika mengucapkan selamat kepada Ariel Sharon dalam Pemilu tanggal 6/2/2001, juga menyatakan, “Amerika akan bekerjasama dengan semua pemimpin Israel sejak berdirinya pada tahun 1948. Hubungan bilateral kami sangat kokoh layaknya batu karang…”

Presiden AS saat ini, Barack Obama, sejak awal kampanyenya untuk pemilihan presiden, juga mengungkapkan hal senada: dukungan total dan tanpa syarat terhadap Yahudi-Israel.

Demikianlah sikap resmi pemerintah AS terhadap Israel dari dulu hingga kini. Wajar jika berbagai kebijakan politik yang kotor dan kejam yang ditempuh Israel di Timur Tengah akan selalu mendapatkan dukungan dari AS. Karena itu, baik zionis maupun imperialis seperti AS sesungguhnya adalah teroris!

Sikap Umat Islam

Jelas dari paparan di atas, isu Palestina sesungguhnya akan selalu berkaitan dengan aspek agama, sejarah dan politik; bukan semata-mata masalah kemanusiaan. Karena itu, belum terlambat waktunya bagi kaum Muslim untuk menyadari bahwa musuh mereka saat ini adalah Zionisme Yahudi dan Imperialisme Barat (terutama AS). Kaum Muslim harus sadar bahwa akar masalah Palestina adalah keberadaan negara Israel yang berdiri di atas tanah milik kaum Muslim yang telah mereka rampok. Jadi solusinya jelas, yaitu memobilisasi tentara negeri-negeri Islam untuk menghancurkan negara Israel dan mengusir Yahudi dari tanah Palestina. Sayangnya solusi ini tidak dapat dilakukan selama kaum Muslim terpecah belah dan dipimpin oleh pemimpin yang tuduk di bawah hegemoni Barat. Karena itu, kaum Muslim harus bersatu membangun sebuah institusi yang kuat, yakni sebuah negara yang berbasiskan ideologi Islam. Sebab, ideologi Barat–yakni Kapitalisme yang melahirkan imperialisme dan zionisme–hanya mungkin dilawan dengan ideologi Islam. Begitu pula negara semacam AS dan Israel hanya mungkin dapat dilawan dengan Negara yang menyatukan kaum Muslim, yakni Khilafah Islam.

]Ùˆَاللهُ غَالِبٌ عَÙ„َÙ‰ Ø£َÙ…ْرِÙ‡ِ ÙˆَÙ„َÙƒِÙ†َّ Ø£َÙƒْØ«َرَ النَّاسِ لا ÙŠَعْÙ„َÙ…ُونَ[

Allah SWT berkuasa atas urusan-Nya, namun kebanyakan manusia tidak memahaminya (QS Yusuf [12]: 21).

[Al-Islam edisi 510]
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers