Kupang (voa-khilafah.co.cc) – Dalam kunjungan voa-islam ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) selama lima hari, seorang tokoh masyarakat muslim asal Lamakera, Flores Timur (Flotim) menyampaikan protesnya kepada Pemerintah Flores Timur terkait sikap dan tindakan diskriminasinya kepada masyarakat Lamakera yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Tokoh masyarakat asal Flotim itu kecewa, kenapa pemerintah hanya menyebut Lamalera (bukan Lamakera) sebagai nelayan pemberani pemburu ikan paus, yang kemudian menjadi ikon parawisata di NTT. Padahal, sejatinya masyarakat Muslim Lamakera lah awal mula historical itu dimulai dan berasal.
“Pemerintah FloresTimur telah bersikap diskriminatif terhadap Lamakera. Apakah karena masyarakat Lamakera itu muslim? Saya tidak tahu,” kata Syukur kepada voa-islam di Kampung Airmata, Kupang, NTT.
Adapun Lamalera terletak di pantai selatan Pulau Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat ini Pulau Lembata sudah menjadi kabupaten sendiri yang sebelumnya gabung dengan Kabupaten Flores Timur. Mayoritas penduduk di Lamalera beragama Kristen (Protestan dan Katolik). Upacara ritual masyarakat Lamalera sebelum memburu paus, dilakukan secara Kristiani, sedangkan Lamakera yang muslim tidak.
Keyakinan Syukur, seorang mantan PNS NakerTrans itu, sangat beralasan jika Lamakera adalah tempat para nelayan pemburu ikan paus itu berasal. Hal itu diperkuat oleh Dahlan Paing Ebang, seorang tokoh Flotim yang menulis buku “Sejarah Pahlawan Flores Timur Melawan Kolonialisme dan Imperalisme”.
Menurut Dahlan Paing Ebang yang juga pensiunan PNS Departemen Penerangan RI Kabupaten Flores Timur, nelayan Lamakera ini memiliki keahlian khusus atau keunikan tersendiri, yaitu menangkap ikan paus sejak zaman dahulu, yaitu jauh sebelum 1225 Masehi.
“Pekerjaan menangkap ikan paus ini membawa resiko tinggi yang selalu menelan korban jiwa, tetapi pelaut Solor (Lamakera) tidak gentar menghadapinya. Mengingat pekerjaan ini menghasilkan pendapatan keluarga untuk menyekolahkan anak-anak mereka,” tulis Dahlan, mantan Ketua Bidang Da’wah dan Pendidikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Flores Timur (1973-1985).
Nelayan Ulung Penentang Badai
Cara tradisional menangkap Paus biasa disebut Kotoklema. Kotoklema itu adalah bahasa Lamakoholot yang terdiri dari dua kata yang digabung menjadi satu. Kotok artinya kepala, kelema artinya melekuk ke dalam. Jadi Kotoklema adalah kepala yang melekuk kedalam.
Perahu layar yang digunakan untuk memburu ikan paus tersebut dilengkapai dengan alat tikam/harpun tangan yang disebut tempuling, tali panjang (tali leo), yang diikatkan pada mata tombak (tempuling), dan ditambah bambu sepanjang 4 meter sebagai alat bantu tikam. Dalam satu peledang (perahu) biasanya di muati oleh 7 crew dan orang yang khusus memegang peranan dalam menikam paus adalah juru tikam yang disebut balafaing (lamafa).
Sejarawan asal Portugis dan Belanda memberi gelar kepada nelayan asal Lamakera sebagai nelayan ulung penentang badai. "Jadi nenek moyang kami di Lamakera sudah memburu ikan paus. Tapi yang diekspos malah Lamalera. Pemerintah harus memperhatikan hal ini. Masyarakat Muslim Lamakera punya hak budaya dari nenek moyang mereka, jangan dianaktirikan,” ungkap Syukur.
Syukur kembali menegaskan, ikan Paus biru yang menurut sejarah adalah ikan paling besar di Lamakera tidak pernah diekspos oleh Pemerintah Flotim. “Ada apa? Apakah karena kami muslim? Disini, ada kesan diskriminatif untuk tidak mempromosikan Lamakera segai ikon parawisata dalam perburuan ikan Paus dari dulu hingga sekarang,” tandasnya.
Yang menarik, adalah ketika badan PBB (FAO) memberi hadiah berupa sebuah speed boad warna merah sekitar tahun 1968. Di sekitar lambung kapal tersebut tertulis Lamakera. Tapi yang disesalkan kemudian, kata Lamakera tiba-tiba menjadi Lamalera. Huruf K diganti menjadi L, sehingga menjadi Lamalera. Jadi kenapa kapal itu tidak diberikan kepada masyarakat Lamakera.
Syukur juga mempertanyakan sejarah yang menulis sejak kapan orang Lamalera membunuh ikan paus berabad-abad lamanya. Dulu orang tidak berani memburu ikan paus dengan cara melompat, di tahun 200o saja mereka baru berani melompat. Cara mendayung orang Lamakera juga ditiru oleh orang Lamalera, punggung menghadap ke haluan.
Penjelasan Pak Syukur ini terkait Lamakera ini tentu sangat berpengaruh bagi ikon parawisata di NTT. Sayangnya Pemerintah Flotim tidak satupun menyebut Lamakera, yang sering disebut adalah Lamalera. Apakah masyarakat Lamakera, tidak dianggap sebagai orang NTT, atau memang sengaja dilupakan. Wallohu’alam. “Sejarah mencatat, perahu orang Lamakera sejak tahun 1.600 sudah sampai ke Batavia. Ini menunjukkan nelayan Lamakera adalah yang pemberani.”
Waktu untuk memburu ikan paus itu biasanya pada saat bulan ke-4 atau ke-5, atau bulan ke-9 atau ke-10, itu tanda yang bagus. Lebih baik lagi, jika terlihat awan halus menyerupai perut ikan paus yang putih, maka inilah saatnya melaut untuk memburu ikan paus. “Dulu, hanya dua orang saja bisa berburu, bahkan anak kecil usia 14 tahun sekalipun,” tukas Syukur menjelaskan.
Syukur membantah jika orang Lamakera dianggap menurunkan populasi ikan paus. Ia mengatakan, nelayan Lamakera dalam setahun hanya menangkap dua ikan paus. Bagi masyarakat Lamakera, ikan paus itu bukan untuk tujuan industri. Jadi, tidak benar kalau orang Lamakera banyak menangkap ikan paus.
Setidaknya, Pemerintah Flores Timur mau mendengar aspirasi tokoh Flotim ini yang mempertanyakan, kenapa masyarakat Lamakera yang muslim itu terkesan dianaktirikan (diskriminasi). Ikon Parawisata nelayan yang memburu ikan paus itu sesungguhnya ada di Lamakera. (Des, voa-islam/voa-khilafah.co.cc)