Voa-Khilafah.co.cc - Khuntsa adalah istilah yang digunakan oleh para fuqaha' untuk menyebut orang yang mempunyai alat kelamin ganda, yang dalam bahasa Inggris disebut hermaphrodite, bisexual, androgyne, gynandromorph dan inter-ex (al-Ba'albakki, al-Maurid, bab Khuntsa). Dalam Mu'jam Lughat al-Fuqaha', karya Prof. Dr. Rawwas Qal'ah Jie, disebutkan bahwa Khuntsa adalah al-ladzi lahu alat ad-dzakari wa alat al-untsa (orang yang mempunyai kelamin pria dan wanita) (Qal'ah Jie, Mu'jam Lughat al-Fuqaha', h. 179). Karena itu, khuntsa ini merupakan qadha' (ketetapan) yang diberikan oleh Allah yang tidak bisa dipilih oleh manusia. Kondisi ini berbeda dengan waria. Umumnya waria adalah kaum pria yang menyerupai wa-nita, baik dalam hal tutur kata, pakaian, gaya berjalan hingga penampilan fisik. Di antara mere-ka, bahkan ada yang telah mela-kukan operasi plastik untuk men-dapatkan wajah yang mirip dengan perempuan; buah dada yang besar sebagaimana lazim-nya perempuan; pinggul yang aduhai hingga operasi ganti kelamin. Kelamin mereka yang asalnya laki-laki dipotong, kemu-dian diganti menjadi perem-puan. Fakta waria seperti ini jelas berbeda dengan khuntsa, karena itu dalam fikih Islam pun mereka tidak bisa dihukumi sebagai khuntsa. Karena fakta masing-masing jelas berbeda. Jika khun-tsa ini merupakan bagian dari qadha' yang ditetapkan oleh Allah, maka waria adalah bentuk penyimpangan perilaku. Pe-nyimpangan perilaku ini bukan hanya berlaku untuk kaum pria yang menjadi wanita, tetapi juga berlaku sebaliknya, yaitu kaum wanita menjadi pria. Karena itu, status hukumnya juga berbeda dengan hukum khuntsa. Demikian juga dalam kasus gay dan lesbi. Mereka sebenar-nya bukan ditakdirkan suka ke-pada sesama jenis, karena naluri seksual manusia pada dasarnya bukan hanya membutuhkan pe-menuhan, tetapi pemenuhan tersebut harus benar dan halal. Bagi laki-laki, pemenuhan yang benar tentu bukan dengan laki-laki tetapi dengan perempuan. Demikian sebaliknya, perempu-an juga bukan dengan perem-puan tetapi dengan laki-laki. Itu baru pemenuhan yang benar. Jika tidak, maka mereka diang-gap melakukan penyimpangan seksual (hall[an] syadz[an]). Tetapi, pemenuhan kebutuhan seksual laki-laki dengan perem-puan saja tidak cukup, harus dilakukan dengan cara yang halal, yaitu melalui pernikahan (hall[an] shahih[an]). Bukan dengan perzinaan (hall[an] khathi'[an]). Laknat bagi Gay dan Waria Nabi dengan tegas melak-nat para pelaku penyimpangan perilaku dan seksual ini. Ter-hadap kaum waria, yaitu kaum pria yang menjadi wanita, Nabi dengan tegas menyatakan, ”Ra-sulullah melaknat kaum perem-puan yang menyerupai pria, dan kaum pria yang menyerupai wanita.” (HR. Bukhari, Abu Da-wud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibn Majah dari Ibn 'Abbas). Hadits ini tidak hanya berlaku untuk waria, tetapi perempuan yang menyerupai laki-laki. Tidak hanya itu, Nabi pun melaknat kaum pria yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakai-an pria (HR. Ahmad dan Abu Dawud). Tidak hanya melaknat, Nabi pun memerintahkan agar mereka diusir (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah). Nas-nas ini, menurut Imam Nawawi, menegaskan tentang keharaman tindakan penyim-pangan perilaku tersebut (as-Syaukani, Nailu al-Authar, II/107). Adapun tindakan penyimpang-an seksual, seperti Gay dan lesbi, dengan tegas dilaknat oleh Allah, ”Allah melaknat siapa saja yang melakukan tindakan kaumnya Luth, sebanyak tiga kali.” (HR Ahmad dari Ibn 'Abbas). Tidak hanya itu, Nabi juga dengan te-gas memerintahkan agar mem-bunuh pelaku (al-fa'il wa al-maf'ul) (HR Ahmad dari Ibn 'Abbas). Kedua nas ini juga de-ngan tegas menunjukkan ha-ramnya penyimpangan seksual tersebut. Berbeda dengan khuntsa, karena statusnya sebagai qadha' Allah, maka orangnya pun tidak dikenai sanksi apapun. Sebalik-nya, Islam pun mengatur status mereka, apakah dihukumi laki-laki atau perempuan, maka dikembalikan kepada fungsi kelamin mereka yang paling dominan. Setelah status mereka definitif, maka hukum Islam pun diberlakukan kepada mereka sesuai dengan statusnya. Karena jenis kelamin dari pihak yang dikenai seruan hukum (al-mukh-thab) dalam nas hanya ada dua: pria dan wanita. Sanksi Hukum Islam bukan hanya memberantas penyimpangan perilaku dan seksual, tetapi juga mencegah agar penyimpangan tersebut tidak terjadi dan ber-kembang. Untuk mencegah ter-jadinya penyimpangan perilaku, laki-laki menyerupai wanita dan wanita menyerupai laki-laki, maka Islam melarang baik pria maupun wanita mengenakan pakaian lawan jenisnya. Pria tidak diperbolehkan memakai baju perempuan dan perempuan tidak diperbolehkan memakai baju laki-laki. Juga tidak diper-bolehkan memakai sandal, ber-dandan dan bergaya seperti lawan jenisnya. Jika ada yang melakukan penyimpangan perilaku terse-but, maka dengan tegas Islam memerintahkan mereka untuk diusir dari rumah dan negerinya, sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan mengusirnya ke kawasan bernama an-Naqi'. Abu Bakar juga membuang satu orang, begitu juga 'Umar bin al-Khatthab melakukan hal yang sama. Ketika Nabi ditanya oleh 'Umar, mengapa mereka tidak dibunuh, baginda menjawab, ”Aku dilarang membunuh orang yang masih shalat.” (as-Syaukani, Nailu al-Authar, II/107). Demikian halnya terhadap penyimpangan seksual, Islam bukan hanya melarang tetapi juga mencegah agar penyim-pangan tersebut tidak dilakukan. Islam melarang orang dewasa bermain dengan anak-anak dan menyodominya, disertai dengan larangan menikahi ibu anak ter-sebut. Islam juga melarang suami menyetubuhi dubur istrinya. Larangan ini untuk mencegah penyimpangan kepada sesama jenis yang lebih parah. Jika penyimpangan seksual tersebut dilakukan maka sanksi untuk mereka pun sangat keras. Mereka wajib dibunuh, sebagian ulama ada yang menyatakan dirajam; ada yang menyatakan dijatuhkan dari atas bangunan yang tinggi hingga mati. Sanksi ini bukan hanya berlaku untuk pelaku, tetapi orang yang diso-domi juga dikenai sanksi yang sama. Kecuali, bagi yang dipaksa untuk disodomi. Selain hukuman yang ke-ras, Islam juga mengharamkan tayangan atau apa saja yang bisa mempromosikan penyimpang-an di atas, baik dalam bentuk fes-tival film, kontes waria maupun yang lain. Karena semuanya ini bisa mempromosikan dan me-nyuburkan penyimpangan yang diharamkan Islam. Bahkan kalau ada kedutaan atau atase kebuda-yaan negara penjajah, seperti Perancis, mensponsori kegiatan tersebut, maka bukan hanya wajib dilarang dan dihentikan, tetapi bisa ditutup dan diusir dari negeri kaum Muslim. Tindakan Hukum dan HAM Terhadap pelaku penyim-pangan seksual, seperti gay, lesbi, dan sejenisnya, juga ter-hadap pelaku penyimpangan perilaku, seperti waria atau seje-nisnya, tindakan hukum dalam Islam sangat keras dan tegas. Tindakan hukum seperti itu harus dilakukan karena sesung-guhnya mereka jelas-jelas telah melakukan penyimpangan peri-laku dan seksual. Penyimpangan perilaku dan seksual ini tidak bisa dianggap sebagai hak asasi manusia. Dengan berlindung di balik HAM, tidak boleh penyim-pangan seperti ini dipelihara, karena justru penyimpangan seperti ini merusak kehidupan dan generasi umat manusia, termasuk diri pelakunya sendiri. Alasan dan dalil-dalil HAM tidak diakui di dalam Islam dan sama sekali tidak ada nilainya. Justru alasan dan dalil-dalil seperti ini harus dibuang jauh-jauh dari kehidupan umat Islam. Karena jelas bertentangan de-ngan argumen dan dalil-dalil syariah. Selain itu, harus disadari bahwa penggunaan alasan dan dalil HAM ini hanyalah justifikasi untuk memelihara penyimpang-an yang jelas dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya ini. Wallahu a'lam.[gm/voa-khilafah.co.cc] |
Posting Komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)