Benarkah Syaikh Taqiyuddin An-Nabhany pernah menjadi anggota Ikhwanul Muslimin?

Dr. Abdul Aziz Al Khayyath, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin di era 40-an –yang kemudian bergabung bersama Hizbut Tahrir menyatakan bahwa setelah kembali dari Al Azhar Syekh Taqiyuddin beliau aktif melakukan dialog (ittishal) dengan masyarakat. Dialog-dialog tersebut dilakukan dengan sejumlah tokoh-tokoh dan pemuda di wilayah Palestina seperti Namr Mishr dan Daud Hamdan dan Dr. Abd. Aziz sendiri. Di samping itu beliau juga giat melakukan kunjungan ke berbagai negeri-negeri Arab untuk menghubungi para tokoh-tokoh dan ulama-ulama Islam untuk menyampaikan gagasannya untuk membangkitkan kembali ummat Islam. Proses tersebut dilakukan sebelum ia menjadi anggota di Mahkamah Isti’naf (Pengadilan Tinggi) Palestina sekitar tahun 1946.

An Nabhany sendiri –baik sebelum dan setelah mendirikan Hizbut Tahrir– cukup aktif melakukan dialog dengan sejumlah tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin. Abd. Aziz menyatakan bahwa tema pembicaran beliau dengan An Nabhany berkisar pada upaya untuk mewujudkan cara-cara baru untuk menerapkan dan mengembalikan Islam ke tampuk pemerintahan.

Setelah mendapat pencerahan pemikiran dari An Nabhani, Syekh Abd. Aziz –yang pada waktu itu menjadi penanggungjawab tawanan Ikhwanul Muslimin di wilayah Palestina, Suriah, Lebanon dan Yordan tersebut—kemudian menerbitkan majalah yang bernama Al Waie Aljadid bersama dua orang tokoh Ikhwanul Muslimin yakni Abd. Razak Khalifah dan dan Sayyid Kurkur (hal. 16).

Dr. Abd. Aziz kemudian semakin intens melakukan dialog dengan An nabhany termasuk mengenai upaya untuk melakukan reformasi gerakan, uslub, tujuan dan pandangan gerakan Ikhwanul Muslimin. Dengan hal tersebut Abd. Aziz berharap tidak diperlukan lagi pembentukan partai politik baru untuk kembali menerapkan Islam ke tampuk pemerintahan sehingga upaya orang-orang yang berjuang untuk kembali menerapkan Islam tidak berserakan. Menurut Abd. Aziz usaha tersebut nyaris berhasil jika saja ia tidak dihalangi oleh Dr. Said Ramadlan yang merupakan tokoh panutan IM pada masa itu. Setelah upaya untuk membenahi Ikhwanul Muslimin termasuk menyuguhkan pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan baru mengalami kebuntuan, Dr. Abd. Aziz kemudian bersama-sama An Nabhany mendirikan Hizbut Tahrir.

Beliau juga mengaskan bahwa Syaikh Taqiyuddin tidak pernah menjadi bagian dari Ikhwanul Muslimin. Auni judu’ sendiri juga menampik hal tersebut. Alasannya An Nabhany merupakan sosok yang alim yang memiliki sejumlah tulisan-tulisan yang berserakan diberbagai media di tahun 40-an. Andaikata ia menjadi bagian dari Ikhwanul Muslimin maka barang tentu sedikit banyak akan ditemukan gambaran pemikiran-pemikiran beliau yang bersinggunan dengan Ikhwanul Muslimin. Sejumlah terbitan Ikhwanul Muslimin pada masa itu juga tidak ada yang dapat membuktikan hal tersebut.

Syaikh Taqiyuddin beserta orang-orang yang bergabung dengan HT kemudian semakin intens melakukan dialog-dialog dan interaksi pemikiran dengan berbagai tokoh gerakan, ulama, dan masyarakat secara umum termasuk dari kalangan aktivis Ikhwanul Muslimin. Tidak heran jika sebagian anggota Ikhwanul Muslimin termasuk sejumlah tokohnya kemudian bergabung dengan Hizbut Tahrir seperti Sayyid Namir Al Mishr, Syekh Ahmad Daur, dan Sayyid Ghanim Abduh (hal. 126). Meski demikian Dr. Abd. Aziz menegaskan bahwa tidak benar jika seluruh atau sebagian besar anggota awal Hizbut Tahrir berasal dari Ikhwanul Muslimin.

Pada masa itu menurut Syekh Abd. Aziz hubungan antara Hizbut Tahrir dengan Ikhwanul Muslimin sempat mengalami kebekuan akibat adanya diskriminasi sebagian anggota Ikhwanul Muslimin kepada anggota HT yang sebelumnya berasal dari IM seperti yang dialami oleh Almarhum Abu Hisyam yang mengalami intimidasi sebanyak dua kali. Syekh Taqiyuddin sendiri temasuk Dr. Abd. Aziz banyak mendapatakan tuduhan-tuduhan yang tidak benar. Salah satunya adalah tuduhan bahwa Syekh Taqiyuddin menerima sumbangan dana dari salah seorang diplomat AS senilai 80. 000 dollar.

Meski demikian Syaikh Taqiyuddin sendiri masih sering diundang oleh para anggota Ikhwanul Muslimin untuk menyampaikan pemikiran-pemikirannya yang selanjutnya menarik minat sebagian mereka untuk bergabung ke Hizbut Tahrir (hal. 80). Bahkan pada masa Hasana Al Banna sekalipun, An Nabhany banyak menghadiri daurah-daurah yang diadakan oleh Ikhwanul Muslimin untuk menyampaikan gagasan-gagasannya (hal. 126).

Syaikh Taqiyuddin sendiri sebelum mendirikan Hizbut Tahrir sempat bertemu secara langsung dengan Hasan Al Banna diakhir tahun 40-an di Kairo. Upaya dialog untuk mencari persamaan dengan Ikhwanul Muslimin sebenarnya telah dilakukan oleh beliau sebelum mendirikan Hizbut Tahrir. Meski hal tersebut mendapatkan penolakan dari beberapa pihak dari Ikhwanul Muslimin. Bahkan Dr.Said Ramadlan sebagaimana yang dituturkan oleh Dr. Abd. Aziz, melakukan sejumlah distorsi terhadap gambaran aktivitas Islam yang dilakukan oleh An Nabhani termasuk berbagai perjalanan yang dilakukan oleh An Nabhany dan rekan-rekannya ke sejumlah negara Arab khususnya di Yordania untuk menyebarkan gagasan-gagasannya. Bahkan DR. Said membekukan majalah Al Waie Al jadid yang dikeluarkan oleh Dr. Abd. Aziz bersama rekan-rekannya dari Ikhwanul Muslimin.

Sikap An Nabhani terhadap Al Banna

Dalam sebuah wawancara dengan Syaikh Ahmad Daur –salah seorang tokoh senior Hizbut Tahrir, ia mengatakan bahwa sama sekali tidak ada hubungan organisasi antara An Nabhany dengan Ikhwanul Muslimin, meskipun beliau pernah bertemu dengan Hasan Al Banna yang pada masa itu menjadi Mursyid Aam (pimpinan tertinggi—red) Ikhwanul Muslimin. Terhadap Al Banna, An Nabhaniy pernah berujar: “Syekh Al Banna merupakan orang yang alim, cerdas, sungguh-sungguh dan seorang mujtahid (hal. 83).

Salah seorang sumber sebagaimana yang dikutip oleh Al Judu’ mengatakan bahwa sepanjang interaksinya dengan An Nabhany di Lebanon, ia tidak pernah mendengarkan beliau mencela organisasi-organisasi kaum muslimin. Bahkan terhadap Ikhwanul Muslimin sendiri Syaikh Taqiyuddin pernah berkomentar: “Ikhwanul Muslimin merupakan jamaah Islam yang teguh dan tidak ada yang kurang padanya kecuali kajian tentang politik Islam (hal.83).

Sikap Hizbut Tahrir sendiri terhadap gerakan-gerakan Islam lainnya setidaknya tercermin dari pernyataan Amin Nayaf , salah seorang tokoh Hizbut Tahrir –ketika beliau memberikan jawaban atas tuduhan terhadap beliau yang telah menyebarkan pemikiran Mu’tazilah: “Janganlah kalian mencoba untuk mencari permusuhan atau mengarah pada permusuhan terhadap gerakan-gerakan Islam lainnya. Kita harus waspada terhadap pihak-pihak yang mencoba untuk memecah-belah gerakan-gerakan Islam. Kepada merekalah seharusnya serangan itu dilancarkan.

Demikian pula harus ada dialog-dialog yang intensif dengan aktivis gerakan-gerakan Islam untuk melakukan diskusi dengan cara yang penuh hikmah, nasihat yang baik (mauidzah hasanah), dan debat yang baik dimana nash-nash syara dan hukum-hukum syara’ dijadikan sebagai dasar seluruh tindakan dan ucapan. Disamping itu harus dijauhi sikap-sikap pelecehan, penghinaan, serangan atau pembodohan (terhadap gerakan-gerakan Islam lainnya). Kami (aktivis Hizbut Tahrir—pen.) hanya berdiskusi dengan menggunakan dalil untuk mencapai kebenaran dan hukum yang shahih tanpa ada rasa permusuhan sedikit pun (hal. 81).

Referensi tulisan ini didasarkan pada sebuah buku yang ditulis seorang peneliti ‘Auniy Al Judu’ Al ‘Abidy dengan judul: Hizbut Tahrir Al Islamy (1992) yang dipublikasan di situs www.alokab.com. Disarikan oleh Muhammad Fakar.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers