Karena sudah ditetapkan sbg KLB, alias kejadian luar biasa, alias terjadi WABAH penyakit, dan pemerintah sudah menyediakan vaksin secara gratis, alias cuma-cuma, alias bebas biaya, moga-moga ndak ada lagi yg menolak vaksinasi... anyway, tidak ada adopsi soal antivaksinasi dari HTI.
Sekilas dari Ust. M. Shiddiq Al Jawi:
Para ulama berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya berobat dengan suatu zat yang najis atau yang haram. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Beirut : Darul Fikr], 1990, Juz I hal. 384). Dalam masalah ini paling tidak ada 3 (tiga) pendapat :
1. Jumhur ulama mengharamkan berobat dengan zat yang najis atau yang haram, kecuali dalam keadaan darurat. (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz I hal. 492; Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, [Damaskus : Darul Fikr], 1996, Juz IX hal. 662; Imam Syaukani, Nailul Authar, Juz XIII hal. 166).
2. Sebagian ulama, seperti Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama Syafiiyah (bermazhab Syafii) menghukumi boleh (jawaz) berobat dengan zat-zat yang najis. (Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalih Al-Ahkam, [Beirut : Darul Kutub al-Ilmiyah], 1999, Juz II hal. 6; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz VI hal. 100).
3. Sebagian ulama lainnya, seperti Taqiyuddin an-Nabhani, menyatakan makruh hukumnya berobat dengan zat yang najis atau yang haram.( Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz III hal. 116).
Menurut kami, pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah ini adalah pendapat ketiga, yang memakruhkan berobat dengan zat yang najis atau yang haram, karena dalilnya lebih kuat.
Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah (3/116), berobat dengan benda yang najis/haram hukumnya makruh, bukan haram. Dalil kemakruhannya dapat dipahami dari dua kelompok hadis : Pertama, hadis-hadis yang mengandung larangan (nahi) untuk berobat dengan sesuatu yang haram/najis. Kedua, hadis-hadis yang yang membolehkan berobat dengan sesuatu yang haram/najis. Hadis kelompok kedua ini menjadi indikasi (qarinah) bahwa larangan yang ada pada kelompok hadis pertama bukanlah larangan tegas (haram), namun larangan tidak tegas (makruh).
Hadis yang melarang berobat dengan sesuatu yang haram/najis, misalnya sabda Nabi SAW,”Sesungguhnya Allah-lah yang menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia menjadikan obat bagi setiap-tiap penyakit. Maka berobatlah kamu dan janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu Dawud, no 3376). Sabda Nabi SAW “janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang haram” (wa laa tadawau bi-haram) menunjukkan larangan (nahi) berobat dengan sesuatu yang haram/najis.
Namun menurut Imam An-Nabhani, hadis ini tidak otomatis mengandung hukum haram (tahrim), melainkan sekedar larangan (nahi). Maka, diperlukan dalil lain sebagai indikasi/petunjuk (qarinah) apakah larangan ini bersifat jazim/tegas (haram), ataukah tidak jazim (makruh).
Di sinilah Imam An-Nabhani berpendapat, ada hadis yang menunjukkan larangan itu tidaklah bersifat jazim (tegas). Dalam Sahih Bukhari terdapat hadis, orang-orang suku ‘Ukl dan Urainah datang ke kota Madinah menemui Nabi SAW lalu masuk Islam. Namun mereka kemudian sakit karena tidak cocok dengan makanan Madinah. Nabi SAW lalu memerintahkan mereka untuk meminum air susu unta dan air kencing unta… (Sahih Bukhari, no 226; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 1/367). Dalam Musnad Imam Ahmad, Nabi SAW pernah memberi rukhshash (keringanan) kepada Abdurrahman bin Auf dan Zubair bin Awwam untuk mengenakan sutera karena keduanya menderita penyakit kulit. (HR Ahmad, no. 13178).
Kedua hadis ini menunjukkan bolehnya berobat dengan sesuatu yang najis (air kencing unta), dan sesuatu yang haram (sutera). (Fahad bin Abdullah Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Ath-Thabib, hal. 74-75).
Kedua hadis inilah yang dijadikan qarinah (indikasi) oleh Imam An-Nabhani bahwa larangan berobat dengan sesuatu yang najis/haram hukumnya bukanlah haram, melainkan makruh. Maka dari itu, hukum vaksin meningitis andai mengandung zat babi yang najis, hukumnya adalah makruh, bukan haram. Hukum makruh ini berarti lebih baik dan akan berpahala jika seorang jamaah haji tidak disuntik vaksin meningitis. Namun jika disuntik dia tidak berdosa.
Sumber tulisan: http://faridm.com/konsultasi/2009/11/hukum-vaksin-meningitis-untuk-jamaah-haji/
Dari Ustadz Prof. DR. Ing. Fahmi Amhar:
Kekhawatiran ini mirip yang terjadi pada gerakan anti-vaccinationist di Eropa abad-19 yang menolak vaksinasi dengan alasan keagamaan. Namun secara objektif-medis, kekhawatiran ini tidak beralasan. Meskipun Amerika Serikat melakukan politik penjajahan yang keji di negeri-negeri muslim, namun vaksin yang diberikan dalam program PIN itu juga vaksin yang dipakai di AS atau negara-negara maju lainnya. Semua ilmuwan (terutama ahli biokimia atau farmasi) dapat menguji apakah di dalam vaksin tersebut ada zat-zat berbahaya atau tidak. Bahwa di sejumlah negara program vaksinasi tidak lagi dilakukan secara massal, itu karena kasus penyakit tersebut di sana sudah sangat jarang akibat membaiknya mutu gizi, sanitasi dan lingkungan. Namun di sejumlah negara bagian di AS, vaksinasi lengkap masih merupakan syarat seorang anak masuk Sekolah Dasar. Dan di militer, semua prajurit wajib diimunisasi sebelum dikirim ke medan perang.
Karena itu, asal menolak vaksinasi – dengan alasan politis-ideologis semata, dan tidak didasarkan pada kebenaran objektif, justru bukan tindakan syar’i yang tepat, tetapi adalah tindakan gegabah yang tidak bertanggungjawab.
Dalam Daulah Islam, negara harus menjadikan masalah kesehatan sebagai salah satu fokus maqashidus syari’ah, yaitu perlindungan jiwa. Negara harus mengembangkan sistem kesehatan yang komprehensif. Dalam sistem ini, upaya preventif (pencegahan) jauh lebih utama dan juga lebih murah dari upaya kuratif (pengobatan). Vaksinasi atau imunisasi adalah salah satu upaya preventif. Dalam hal apapun. Bahkan juga dalam hal aqidah / ideologi. (Note FB Nurisma Fira/Voa-Khilafah.co.cc)